Sawit, Antara Perang Dagang, Penyangga Ekonomi, dan Isu Lingkungan

| Rabu, 24 Desember 2025 | 11.12 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Presiden Prabowo diprotes keras. Ketika statemen: Papua juga akan ditanami sawit. Ada tiga isu besar berkelindan terkait sawit: perang dagang, penyangga ekonomi dan isu lingkungan.


Minyak kelapa sawit telah lama menjadi salah satu komoditas paling strategis bagi Indonesia. Sawit merupakan tulang punggung ekonomi nasional dan sumber penghidupan jutaan rakyat. Pada sisi lain, sawit menjadi sasaran kritik global yang keras, terkait isu lingkungan dan perubahan iklim.

Dinamika global hari ini sulit menafikan isu sawit bukan sekadar persoalan ekologi. Tetapi juga arena perang dagang dan kepentingan ekonomi internasional yang kompleks.

Indonesia merupakan produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Memberi kontribusi sekitar 55–60 persen pasokan global. Luas perkebunan sawit nasional mencapai lebih 15 juta hektar.  Sektor ini secara konsisten menyumbang devisa ekspor tahunan di kisaran USD 30–40 miliar. Menjadikan salah satu penyumbang devisa terbesar di luar sektor migas dan tambang.

Industri sawit—baik hulu maupun hilir—menyerap sekitar 16 juta tenaga kerja. Termasuk petani kecil yang jumlahnya diperkirakan mencapai lebih 2,6 juta kepala keluarga.

Keunggulan sawit tidak hanya pada skala ekonominya, tetapi juga pada produktivitasnya. Sawit mampu menghasilkan rata-rata 3–4 ton minyak per hektare per tahun. Jauh lebih tinggi dibanding kedelai (±0,4 ton/ha), rapeseed (±0,8 ton/ha), maupun bunga matahari (±0,7 ton/ha).

Berdasar teori ekonomi sumber daya, angka ini menegaskan sawit memiliki efisiensi lahan tertinggi di antara minyak nabati global. Secara teoritik justru berpotensi menekan kebutuhan pembukaan lahan apabila dikelola secara optimal.

Industri sawit menjadi penyangga ekonomi wilayah. Terutama di luar Jawa. Di Sumatra dan Kalimantan, kontribusi sawit terhadap ekonomi daerah tercermin dari meningkatnya pendapatan rumah tangga pedesaan. Menjadi pemicu pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru dan meningkatnya indeks pembangunan manusia di wilayah perkebunan.

Pada banyak kasus, sawit berfungsi sebagai mekanisme redistribusi ekonomi berbasis wilayah. Sulit digantikan oleh sektor lain dalam waktu singkat. Bersamaan dengan manfaat ekonomi itu, sawit juga menghadirkan persoalan lingkungan yang nyata. Data menunjukkan ekspansi sawit berkontribusi terhadap deforestasi. Terutama ketika perkebunan berkembang di atas hutan alam dan lahan gambut.

Drainase gambut untuk perkebunan sawit merupakan salah satu sumber emisi karbon terbesar dari sektor penggunaan lahan. Praktik pembukaan lahan dengan pembakaran di masa lalu turut memperparah kebakaran hutan dan kabut asap. Dampaknya lintas negara.

Isu inilah yang kemudian mengangkat sawit ke panggung politik global. Negara-negara maju, khususnya Uni Eropa, menempatkan sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap lingkungan.  Pada saat yang sama, minyak sawit Indonesia secara statistik menguasai pasar global. Biaya produksinya lebih rendah dan produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan minyak nabati Eropa.

Berdasar perspektif ekonomi politik internasional, kondisi ini menciptakan insentif kuat bagi negara-negara Eropa untuk membatasi akses pasar sawit. Menjadikan isu lingkungan tidak sepenuhnya steril dari kepentingan proteksi perdagangan.

Bagi Indonesia, dinamika ini menempatkan Presiden dan pemerintah pada posisi tidak sederhana. Sawit merupakan sektor yang secara empiris menjaga stabilitas ekonomi masyarakat. Khususnya di pedesaan. Ketika harga sawit stabil atau meningkat, daya beli jutaan keluarga ikut terjaga. Ketika sawit ditekan melalui hambatan pasar global, dampaknya langsung terasa pada tingkat akar rumput.

Kompleksitas ini menjadi semakin nyata ketika sawit dikembangkan di Papua. Wilayah ini memiliki potensi lahan amat besar. Secara administratif, izin perkebunan sawit di wilayah ini mencapai lebih 2 juta hektar. Akan tetapi realisasi tanamnya jauh lebih kecil.

Di tengah keterbatasan pilihan ekonomi, sawit menawarkan peluang pendapatan konkret bagi masyarakat adat melalui skema plasma, sewa hak ulayat, dan kesempatan kerja formal.

Secara ekonomi, kehadiran sawit di Papua berpotensi menciptakan arus pendapatan rutin bagi pemilik tanah adat. Sesuatu yang sangat signifikan dalam konteks ekonomi subsisten. Dalam teori pembangunan regional, masuknya investasi padat karya seperti sawit dapat mempercepat integrasi wilayah tertinggal ke dalam ekonomi nasional.

Pengalaman di wilayah lain menunjukkan satu perkebunan sawit dapat memicu terbentuknya ekosistem ekonomi lokal: pasar, transportasi, jasa, dan infrastruktur dasar.

Masalahnya, Papua menyimpan sekitar sepertiga hutan primer tersisa di Indonesia. Tingkat keanekaragaman hayatinya sangat tinggi dan penting bagi ekologis global. Pembukaan hutan di Papua memiliki dampak ekologis jauh lebih sensitif dibandingkan wilayah yang telah lama terdegradasi.

Tanah Papua memiliki dimensi sosial dan kultural yang kuat. Jika tata kelola lemah, keuntungan ekonomi sawit berisiko tidak terdistribusi secara adil. Sementara biaya ekologis dan sosial justru ditanggung oleh masyarakat adat.

Inilah dilema pembangunan yang sesungguhnya. Menolak sawit sepenuhnya berarti menutup peluang ekonomi yang secara statistik terbukti mampu mengangkat pendapatan masyarakat. Membuka sawit tanpa kendali berarti mempertaruhkan hutan terakhir Indonesia dan stabilitas sosial jangka panjang.

Jalan tengah menjadi keniscayaan. Sawit harus ditempatkan sebagai alat pembangunan yang dikendalikan. Melalui peningkatan produktivitas lahan eksisting, pembatasan ketat ekspansi ke hutan primer, perlindungan gambut, dan penguatan posisi petani serta pemilik tanah adat.

Pada kasus Papua, pendekatan ini harus lebih selektif dan berbasis data ekologis. Menempatkan kawasan bernilai konservasi tinggi sebagai wilayah yang tidak dapat ditawar.

Pada tingkat global, Indonesia perlu terus mendorong keadilan perdagangan. Jika standar lingkungan diterapkan, standar tersebut harus konsisten untuk seluruh minyak nabati dunia. Keberlanjutan tidak boleh berubah menjadi instrumen baru ketimpangan ekonomi global yang membebani negara berkembang.

Sawit adalah refleksi dari tantangan pembangunan Indonesia itu sendiri. Ia adalah penyangga ekonomi, objek persaingan global, sekaligus sektor yang harus terus dibenahi.

Kepemimpinan nasional diuji bukan pada kemampuan memilih antara ekonomi dan lingkungan. Tetapi pada kecakapan menyatukan keduanya dalam kebijakan yang adil, rasional, dan berpihak pada masa depan bangsa.

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI