Bernasindonesia.com - Kenapa pemerintah belum menetapkan status bencana nasional untuk Banjir Sumatera. Bukankah korban sudah banyak. Masih banyak pula lokasi yang kabarnya belum tersentuh bantuan. Begitu beragam kritikan beredar di berbagai _flatform_ media sosial.
Kenapa?
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terletak di “Cincin Api Pasifik”, kerap menghadapi bencana alam berskala besar. Mulai dari banjir, tanah longsor, hingga gempa bumi dan tsunami.
Baru baru ini, provinsi provinsi di Sumatera—terutama Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—dilanda bencana banjir dan longsor. Menyebabkan kerusakan infrastruktur, hilangnya korban jiwa, serta gangguan sosial ekonomi yang sangat luas.
Banjir bandang dan longsor yang terjadi sejak akhir November 2025 telah mengguncang berbagai kabupaten dan kota. Seperti Aceh Tamiang, Nagan Raya, Pidie Jaya di Aceh; Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Sibolga di Sumatera Utara; serta Agam dan Padang di Sumatera Barat.
Kondisi terparah dilaporkan terjadi di sejumlah wilayah pedalaman dan pesisir yang terisolasi. Disebabkan oleh putusnya akses jalan dan longsoran besar.
Hingga pertengahan Desember 2025, data resmi BNPB menunjukkan jumlah korban tewas mencapai sekitar 1.006 orang akibat banjir dan longsor di tiga provinsi ini. Rinciannya: 414 jiwa di Aceh, 349 jiwa di Sumatera Utara, dan 242 jiwa di Sumatera Barat. Sementara ratusan lainnya masih dilaporkan hilang. Meskipun angka tersebut terus diperbarui seiring proses pencarian berlangsung. Total pengungsi sempat melampaui 650.000 orang dari berbagai kabupaten/kota terdampak.
Dalam situasi ini, muncul desakan berbagai pihak. Mulai DPR, MPR, Majelis Ulama Indonesia, hingga organisasi masyarakat sipil. Agar pemerintah menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional. Alasannya: skala, dampak, dan jumlah korban, telah memenuhi indikator yang biasanya memicu status nasional.
Namun, pemerintah pusat memilih untuk belum menetapkan status bencana nasional. Secara resmi, Presiden dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menegaskan situasi masih dapat ditangani dukungan pusat kepada pemerintah daerah.
Kepala BNPB menyebut bahwa indikator formal untuk status nasional—seperti lumpuhnya sistem pemerintahan daerah atau ketidakmampuan total pemerintah provinsi—belum sepenuhnya terpenuhi. Pemerintah menekankan percepatan bantuan, distribusi logistik, dan mobilisasi sumber daya manusia tetap berlangsung optimal. Meskipun tidak ditetapkan status bencana nasional.
Alasan pemerintah itu kemungkinan besar tidak sekadar bersandar pada kapasitas daerah. Terdapat dimensi lebih luas dan strategis, yaitu uji kemampuan mandiri dalam menghadapi bencana berskala besar.
Dalam beberapa dekade terakhir, bencana di Indonesia menunjukkan tren eskalasi baik dari sisi frekuensi maupun intensitas akibat perubahan iklim dan faktor geologi. Pemerintah melihat peluang untuk membangun _*resiliensi"_ (ketahanan untuk pulih) nasional melalui pengalaman nyata menangani bencana.
_Pertama_, dengan mengelola krisis besar secara internal, negara dapat mengasah kemampuan koordinasi antar-lembaga. Penanganan bencana besar menuntut sinkronisasi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan lembaga non-pemerintah. Mengelola bencana tanpa status nasional memungkinkan setiap unit pemerintahan mengasah kapasitas manajerial dan operasional.
_Kedua_, menguji efisiensi mobilisasi sumber daya. Tanpa label resmi nasional, pemerintah ditantang untuk mengoptimalkan anggaran, logistik, dan personel yang tersedia. Sehingga tercipta mekanisme tanggap darurat yang lebih adaptif dan cepat.
_Ketiga_, membentuk budaya kemandirian. Kebergantungan pada bantuan asing atau multilateral bisa mengurangi kedaulatan dalam pengambilan keputusan. Dengan menunda penetapan status nasional, pemerintah dapat memastikan penanganan bencana bersifat internal dan mandiri. Sambil tetap membuka kemungkinan bantuan luar negeri secara selektif.
Dimensi geopolitik juga tidak bisa diabaikan. Di tengah ketegangan global dan potensi konflik internasional, keterlibatan asing dalam bencana nasional dapat menimbulkan kecurigaan atau tekanan strategis. Bantuan internasional yang besar, meskipun berniat kemanusiaan, bisa memicu persepsi interferensi politik atau kontrol asing.
Dengan mempertahankan pengelolaan internal, Indonesia menegaskan kedaulatan dan kontrol penuh atas respons bencana. Sekaligus meminimalkan risiko kerentanan di tengah dinamika geopolitik yang tidak stabil.
Teori _resiliency_ dan _disaster management_ mendukung pendekatan ini. Menurut teori _adaptive governance_, sistem yang tangguh bukan hanya yang cepat menerima bantuan eksternal. Tetapi juga mampu menyesuaikan diri, belajar, dan bertahan dari bencana melalui mekanisme internal yang kuat.
Dengan kata lain, bencana besar dipandang sebagai “laboratorium nyata” untuk menguji kapasitas nasional. Labratorium untuk memperbaiki prosedur, dan membangun pengalaman kolektif dalam mitigasi dan penanggulangan bencana.
Selain itu, analisis sejarah penetapan bencana nasional di Indonesia menunjukkan status Bencana Nasional hanya diberikan dalam kondisi ekstrem. Seperti tsunami Aceh 2004 atau pandemi COVID-19. Ketika kapasitas internal benar-benar terlampaui.
Hal ini menunjukkan pemerintah tidak ingin sembarangan menetapkan status nasional. Agar pengalaman internal tetap menjadi prioritas dan kemampuan daerah tetap diasah.
Keputusan pemerintah untuk tidak menetapkan status bencana nasional di Sumatera tentunya bukan berarti menolak bantuan atau meremehkan dampak bencana. Bantuan internasional tetap diterima bila diperlukan, tetapi fokus utama adalah melatih kemampuan nasional untuk menghadapi bencana yang lebih besar dan kompleks. Terutama jika eskalasi bencana meningkat dan dunia sedang menghadapi ketegangan global.
Strategi ini memungkinkan Indonesia membangun sistem tanggap darurat yang lebih mandiri. Adaptif, dan berkelanjutan. Sekaligus menjaga kedaulatan dan mengurangi risiko intervensi asing dalam situasi krisis.
Kombinasi antara fakta tau realitas efektivitas pemerintah daerah, uji kemampuan nasional, dan pertimbangan geopolitik menjelaskan mengapa status bencana nasional belum ditetapkan. Kebijakan ini sejalan dengan prinsip _*resiliency*_ dan _*adaptive governance*_.
Teori itu menekankan pentingnya pengalaman internal dalam menghadapi bencana berskala besar. Sekaligus mempersiapkan negara menghadapi tantangan global di masa depan.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi

