Bernasindonesia.com – Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. menilai sangat urgent Presiden Jokowi membentuk Kementerian atau Lembaga Urusan Legislasi Nasional. Menurut dia, Kementerian atau lembaga tersebut untuk mengurus dan mengelola urusan regulasi, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan, pengundangan, penyebarluasan, evaluasi hingga peninjauan dan rekomendasi perbaikan atau revisi, sehingga tidak terjadi tumpah tindih peraturan perundang-undangan secara nasional.
Hal ini juga dalam rangka menata serta mengendalikan obesitas serta hiper regulasi yang semakin tidak terkendali dan sangat kompleks, maupun program penyederhanaan ribuan peraturan perundang undangan yang bersifat teknis yang secara konvensional berdasarkan sistem ketatanegaraan diselesaikan melalui mekanisme peradilan tata negara semisal judicial review ke Mahmakah Konstitusi (MK) belum menyelesaikan masalah karena menurut Fahri MK tidak mungkin menjangkau berbagai peraturan perundang-udangan sampai pada level yang paling bawah dan teknis.
”Untuk itu menjadi penting dan urgent untuk membuat terobosan hukum tata negara dengan melahirkan sebuah Kementerian atau lembaga khusus yang menagani permasalahan tersebut,” ujar Fahri Bachmid melalui keterangan persnya, Sabtu (26/10/2019).
Fahri menyampaikan argumentasi hukum tata negara perihal betapa urgennya pembentukan Kementerian atau Lembaga urusan legislasi nasional tersebut.
Pertama, Kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional tersebut idealnya diberikan mendat konstitusional penanganan urusan pembangunan hukum (legislasi) mulai dari hulu sampai ke hilir, yaitu mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, perumusan, harmonisasi, sosialisasi, konsolidasi hingga peninjauan serta revisi terhadap perundang-undangan yang berlaku secara positivistik.
”Praktek yang sama dilakukan oleh beberapa negara seperti “The Office Information and Regulatory Affairs (OIRA) di Amerika Serikat; The Office of Best Practice Regulation (OBPR) di Inggris; Cabinet Legislation Bureau (CLB) di Jepang; Ministry of Government Legislation (MoLeg) pada Korea Selatan, serta The Office of Best Practice Regulation di Australia dan gagasan pembentukan lembaga legislasi ini pada tahun 2012 pernah di rekomendir oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sepanjang berkaitan dengan pembenahan komprehensif peta regulasi di indonesia,artinya atensi dan gagasan pembenahan problem regulasi secara hukum telah didebatkan sejak lama,” tandas Fahri.
Kedua, bahwa problem hukum inkonsistensi dan disharmoni peraturan perundang-undangan bukan saja dalam konteks materil (substansi materi hukum) yang sangat “complicated”semata, tetapi dari aspek birokrasi pembentukan perundang-undangan telah menjadi masalah tersendiri, seperti banyaknya pintu yaitu Melalui Kemenkum HAM, Mensesneg, Seskab dan juga DPR melalui Baleg dan sebagainya yang semuanya berurusan dengan Legislasi sehingga secara teknis ketatanegaraan, sangat sulit untuk dapat mengendalikan obesitas dan hiper regulasi secara sistemik sesuai logika dan ilmu perundang undangan.
”Karena setiap lembaga berlomba membentuk perundang-undangan, seolah setiap persoalan bangsa hanya dapat diatasi dengan memproduksi UU, tanpa melihat hasil guna dan berdaya guna. Ini yang menjadi masalah,” katanya.
Ketiga, jika Kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional ini terbentuk nantinya diharapkan akan menjadi “Leading Sector” terhadap semua Kementerian dan Lembaga negara terkait yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dan pada saat yang sama maka presiden dapat membubarkan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada Kemenkum HAM.
”Biar semua lembaga-lembaga itu di Likuidasi saja dan dikonsolidasikan ulang kedalam Kementerian/Lembaga urusan legislasi nasional nantinya yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sebab secara teknis selama ini Kemenkum HAM hanya memiliki satu direktorat yang mengurus seluruh peraturan perundang-undangan. Secara teoritik sangat mustahil dapat menyelesaikan beban berat mengurus dan menata aspek regulasi secara nasional yang sejalan dengan visi pembangunan hukum kita,” tandas Fahri.
Keempat, bahwa tugas pokok yang lain dari Kementerian/Lembaga Legislasi Nasional termasuk mengkosolidasi berbagai informasi maupun data kebutuhan serta akan berlakunya norma suatu perundang-undangan, agar memudahkan aspek evaluasi dari keberlakuan norma hukum tersebut, termasuk diberikan kewenangan untuk mengajukan usul perubahan serta pencabutan UU tertentu, serta rekomendasi pengubahan draft peraturan perundang-undangan.
”Kementerian ini juga diperlengkapi dengan bidang Riset, monitoring serta evaluasi terhadap seluruh jenis peraturan perundang-undangan yang berbasis IT,artinya ada semacam audit norma hukum yang berlaku,dan ada metode mitigasi terhadap keberlakuan norma tertentu ditengah masyarakat,apakah efektif,?bermanfaat atau terjadi konflik norma (contra legem),?,mulai dari level UU sampai dengan Perda,” semua harus dapat di audit secara sitemik, katanya.
Kelima, bahwa untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan negara dibidang pembentukan regulasi dalam rangka melaksanakan pembangunan hukum nasional yang terencana, terpadu dan berkelanjutan yang mencerminkan kedaulatan rakyat dan menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat berdasarkan UUD 1945, serta untuk memperkuat pembentukan peraturan perundang undangan yang berkelanjutan, maka sangat dibutuhkan suatu penataan dan perbaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sejak perencanaan hingga pemantauan dan peninjauan.
”Hal tersebut telah dapat kita lihat dengan telah di undangkannya UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, yang mana telah secara tegas diperintahkan untuk membentuk suatu Kementerian khusus urusan legislasi. Hal ini dapat disimak pada ketentuan norma pasal 99A UU No. 15/2019 . Dengan demikian maka menjadi penting dan urgent untuk mempersiapkan pembentukan Kementerian khusus urusan legislasi Nasional, agar berbagai broblem ketatanegaraan kontemporer dapat segera diatasi,” sepanjang menyangkut dengan penataan norma hukum, katanya.
Keenam, bahwa sebagai konsekwensi ketatanegaraan jika presiden segera membentuk Kemeterian khusus Legislasi Nasional sesuai perintah UU No. 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, maka pemerintah dan DPR segera mengagendakan melakukan revisi atas UU RI No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, khususnya termasuk ketentuan pasal 5 ayat (4) mengenai uraian tentang urusan pemerintahan negara, agar ditambah termasuk meliputi urusan legislasi nesional, serta pasal 15 yang menyebutkan bahwa “ Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, pasal 13, dan pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat).
“Ini segera direvisi untuk menambah satu kemeterian khusus urusan legislasi nasional, dan visi presiden Jokowi untuk penataan problem legislasi nasional dapat di realisir secara baik untuk menuju pembangunan hukum yang berkelanjutan yang bersendikan prinsip negara demokrasi konstitusional,” tutup Fahri. (BSI)
Hal ini juga dalam rangka menata serta mengendalikan obesitas serta hiper regulasi yang semakin tidak terkendali dan sangat kompleks, maupun program penyederhanaan ribuan peraturan perundang undangan yang bersifat teknis yang secara konvensional berdasarkan sistem ketatanegaraan diselesaikan melalui mekanisme peradilan tata negara semisal judicial review ke Mahmakah Konstitusi (MK) belum menyelesaikan masalah karena menurut Fahri MK tidak mungkin menjangkau berbagai peraturan perundang-udangan sampai pada level yang paling bawah dan teknis.
”Untuk itu menjadi penting dan urgent untuk membuat terobosan hukum tata negara dengan melahirkan sebuah Kementerian atau lembaga khusus yang menagani permasalahan tersebut,” ujar Fahri Bachmid melalui keterangan persnya, Sabtu (26/10/2019).
Fahri menyampaikan argumentasi hukum tata negara perihal betapa urgennya pembentukan Kementerian atau Lembaga urusan legislasi nasional tersebut.
Pertama, Kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional tersebut idealnya diberikan mendat konstitusional penanganan urusan pembangunan hukum (legislasi) mulai dari hulu sampai ke hilir, yaitu mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, perumusan, harmonisasi, sosialisasi, konsolidasi hingga peninjauan serta revisi terhadap perundang-undangan yang berlaku secara positivistik.
”Praktek yang sama dilakukan oleh beberapa negara seperti “The Office Information and Regulatory Affairs (OIRA) di Amerika Serikat; The Office of Best Practice Regulation (OBPR) di Inggris; Cabinet Legislation Bureau (CLB) di Jepang; Ministry of Government Legislation (MoLeg) pada Korea Selatan, serta The Office of Best Practice Regulation di Australia dan gagasan pembentukan lembaga legislasi ini pada tahun 2012 pernah di rekomendir oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sepanjang berkaitan dengan pembenahan komprehensif peta regulasi di indonesia,artinya atensi dan gagasan pembenahan problem regulasi secara hukum telah didebatkan sejak lama,” tandas Fahri.
Kedua, bahwa problem hukum inkonsistensi dan disharmoni peraturan perundang-undangan bukan saja dalam konteks materil (substansi materi hukum) yang sangat “complicated”semata, tetapi dari aspek birokrasi pembentukan perundang-undangan telah menjadi masalah tersendiri, seperti banyaknya pintu yaitu Melalui Kemenkum HAM, Mensesneg, Seskab dan juga DPR melalui Baleg dan sebagainya yang semuanya berurusan dengan Legislasi sehingga secara teknis ketatanegaraan, sangat sulit untuk dapat mengendalikan obesitas dan hiper regulasi secara sistemik sesuai logika dan ilmu perundang undangan.
”Karena setiap lembaga berlomba membentuk perundang-undangan, seolah setiap persoalan bangsa hanya dapat diatasi dengan memproduksi UU, tanpa melihat hasil guna dan berdaya guna. Ini yang menjadi masalah,” katanya.
Ketiga, jika Kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional ini terbentuk nantinya diharapkan akan menjadi “Leading Sector” terhadap semua Kementerian dan Lembaga negara terkait yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dan pada saat yang sama maka presiden dapat membubarkan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada Kemenkum HAM.
”Biar semua lembaga-lembaga itu di Likuidasi saja dan dikonsolidasikan ulang kedalam Kementerian/Lembaga urusan legislasi nasional nantinya yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sebab secara teknis selama ini Kemenkum HAM hanya memiliki satu direktorat yang mengurus seluruh peraturan perundang-undangan. Secara teoritik sangat mustahil dapat menyelesaikan beban berat mengurus dan menata aspek regulasi secara nasional yang sejalan dengan visi pembangunan hukum kita,” tandas Fahri.
Keempat, bahwa tugas pokok yang lain dari Kementerian/Lembaga Legislasi Nasional termasuk mengkosolidasi berbagai informasi maupun data kebutuhan serta akan berlakunya norma suatu perundang-undangan, agar memudahkan aspek evaluasi dari keberlakuan norma hukum tersebut, termasuk diberikan kewenangan untuk mengajukan usul perubahan serta pencabutan UU tertentu, serta rekomendasi pengubahan draft peraturan perundang-undangan.
”Kementerian ini juga diperlengkapi dengan bidang Riset, monitoring serta evaluasi terhadap seluruh jenis peraturan perundang-undangan yang berbasis IT,artinya ada semacam audit norma hukum yang berlaku,dan ada metode mitigasi terhadap keberlakuan norma tertentu ditengah masyarakat,apakah efektif,?bermanfaat atau terjadi konflik norma (contra legem),?,mulai dari level UU sampai dengan Perda,” semua harus dapat di audit secara sitemik, katanya.
Kelima, bahwa untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan negara dibidang pembentukan regulasi dalam rangka melaksanakan pembangunan hukum nasional yang terencana, terpadu dan berkelanjutan yang mencerminkan kedaulatan rakyat dan menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat berdasarkan UUD 1945, serta untuk memperkuat pembentukan peraturan perundang undangan yang berkelanjutan, maka sangat dibutuhkan suatu penataan dan perbaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sejak perencanaan hingga pemantauan dan peninjauan.
”Hal tersebut telah dapat kita lihat dengan telah di undangkannya UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, yang mana telah secara tegas diperintahkan untuk membentuk suatu Kementerian khusus urusan legislasi. Hal ini dapat disimak pada ketentuan norma pasal 99A UU No. 15/2019 . Dengan demikian maka menjadi penting dan urgent untuk mempersiapkan pembentukan Kementerian khusus urusan legislasi Nasional, agar berbagai broblem ketatanegaraan kontemporer dapat segera diatasi,” sepanjang menyangkut dengan penataan norma hukum, katanya.
Keenam, bahwa sebagai konsekwensi ketatanegaraan jika presiden segera membentuk Kemeterian khusus Legislasi Nasional sesuai perintah UU No. 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, maka pemerintah dan DPR segera mengagendakan melakukan revisi atas UU RI No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, khususnya termasuk ketentuan pasal 5 ayat (4) mengenai uraian tentang urusan pemerintahan negara, agar ditambah termasuk meliputi urusan legislasi nesional, serta pasal 15 yang menyebutkan bahwa “ Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, pasal 13, dan pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat).
“Ini segera direvisi untuk menambah satu kemeterian khusus urusan legislasi nasional, dan visi presiden Jokowi untuk penataan problem legislasi nasional dapat di realisir secara baik untuk menuju pembangunan hukum yang berkelanjutan yang bersendikan prinsip negara demokrasi konstitusional,” tutup Fahri. (BSI)