Radikalisme atau Deislamisasi?

| Kamis, 31 Oktober 2019 | 13.53 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Terorisme sebagai ideologi global adalah "mainan" Amerika untuk membuat berantakan dunia Islam. Dengan modal 9/11 semua lawan diruntuhkan dengan bahasa "teroris". Negara termasuk Kepala Negara di dunia Islam dikendalikan dengan skim  kerjasama memerangi terorisme. Musuh dalam bentuk organisasi mesti dibuat agar ada kaitan. Munculah Al Qaida dan kemudian ISIS. Diskenariokan model kekekerasan yang dilakukan organisasi ini. Klaim atas peristiwa bom bunuh diri, peledakan atau aksi kekerasan lain dilakukan Al Qaida atau kemudiannya ISIS. Kerusuhan pun dianggap susupan. Dunia Islam lumpuh di bawah kendali dan hegemoni Amerika.

Indonesia mungkin menjadi bagian dari "permainan" tersebut. Muncul nama nama seperti Azhari, Nurdin M Top, Imam Samudera, hingga Abu Bakar Baasyir pun dikaitkan. Butuh figur untuk menakut nakuti. Berbagai aksi terjadi dari mulai Bom Bali hingga Bom Panci. Namanya juga terorisme dan lembaga pun dibentuk dari Densus 88 hingga BNPT. Untuk pencegahan dan penindakan. Tentu besar biaya global yang mesti dibayar. Umat Islam adalah sasaran pelumpuhan karenanya semua berkaitan dengan identitas kemusliman. Doktrin Jihad, "pengantin surga", celana cingkrang, janggut ataupun hijab.

Kita kini memasuki era modifikasi. Terorisme harus dengan ledak ledakan. Yang lebih murah yaitu dengan ledekan atau celotehan. Radikalisme adalah ideologi baru yang dipasarkan gencar. Di kampus Menteri Dikti mengingatkan akan terpaparnya dosen dan mahasiswa oleh radikalisme. Santri dan anak madrasah harus disterilkan sehingga kurikulum yang mengandung sejarah perang dalam Islam harus dihapus. Birokrasi mesti dibersihkan dari anasir anasir radikal. Menteri Agama diberi tugas khusus untuk melawan radikalisme. Radikalisme menjadi "senjata" untuk menaklukan siapa saja. Umat dan agama Islam harus diwaspadai. Ditakut takuti.

Sementara di sisi lain bahaya komunisme dianggap "out of date", liberalisme dan kapitalisme dianggap hanya fenomena ekonomi. Kristen, Budha atau Hindu adalah ajaran baik baik saja yang tidak tergores radikalisme. Hanya Islam yang berbahaya. Untuk ini dinyatakan bahwa radikalisme lebih bahaya dari komunisme. Sejarah "radikalisme" yang berakar pada gerakan liberalisme progresif di Inggris disimpangkan arah kepada (umat) Islam.

Gerakan pemojokkan Islam dengan isu radikalisme hakekatnya adalah gerakan anti Islam. Ketakutan yang sangat  berlebihan terhadap agama Islam. Islamophobia. Tentu pendukung sekularisme, kapitalisne dan komunisme sangat bahagia dengan program ini. Karena sangat menguntungkan misi mereka di Indonesia. Kuda troya sedang bersiap untuk kelak mengeluarkan  pasukan anti Islam yang menyebar di semua ruang. Deradikalisasi menjadi deislamisasi. Rezim yang seperti ini adalah rezim zalim yang tak berkeadilan dan berkeadaban. Agama dianggap perusuh, candu, atau penghambat kemajuan. Cara pandang klasik yang jahat.

Umat Islam tentu tak setuju pada terorisme dan radikalisme dalam makna destruktif. Merusak lingkungan kehidupan. Islam adalah agama keshalehan dan akhlak yang mulia. Berbuat baik untuk sesama manusia merupakan keyakinan dasar agama.

Tetapi jika da"wah mencegah kemungkaran dianggap radikal atau rajin ke Masjid dan menghabiskan waktu untuk memahami Al qur"an dianggap radikal, atau berjihad menegakkan Agama dan hukum Allah pun dianggap radikal pula, maka biarlah umat Islam rela disebut kaum yang radikal.Tapi jangan salahkan jika  umat  dengan pemahaman seperti itu diganggu dan dilarang larang maka umat Islam akan melawan hingga titik darah penghabisan.

Penguasa zalim adalah musuh abadi umat. Pilihan hanya dua, anda wahai penguasa zalim yang hancur atau umat yang akan berguguran syahid membela keyakinan agamanya. Dan Allah lah yang menjadi penolong, bukan para penjilat dunia.

Oleh M Rizal Fadillah

(Mantan Aktivis HMI)

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI