Bernasindonesia.com Ketua MPR Bambang Soesatyo mengingatkan semua aparatur negara, baik di pusat maupun daerah, untuk lebih bersungguh-sungguh menyikapi masalah intoleransi. Kelompok-kelompok intoleran terus menguat dan leluasa melancarkan aksi diskriminatif terhadap kelompok lain, karena negara lamban merespons aksi mereka.
Berita dari Bantul pekan lalu menyita perhatian Ketua MPR. Berita itu bertutur tentang insiden penghentian kegiatan ibadah umat Hindu di Dusun Mangir Lor, Desa Sedangsari, Bantul, Provinsi D.I. Yogyakarta, pada Selasa (12/11). Aksi penghentian ibadah itu dilakukan oleh sekelompok orang yang diklaim sebagai warga desa setempat. Perilaku intoleran seperti ini tidak boleh dibiarkan.
Negara tidak bisa lagi minimalis menyikapi kecenderungan ini. Harus ada inisiatif dari negara untuk menghentikannya. Tentu saja dengan pendekatan yang moderat. Memang, menjadi tidak proporsional juga kalau semua persoalan ini harus diselesaikan oleh aparatur negara. Pilihannya adalah bahu membahu dengan para pemuka agama.
Logikanya sederhana saja. Kalau ada kekuatan yang bisa mengindoktrinasi kelompok-kelompok masyarakat itu menjadi intoleran, negara pun bisa melakukan hal yang sama untuk mengubah dan membalikannya. Persoalannya adalah kemauan dan keberanian politik untuk berinisiatif. Jangan berjudi dengan masalah ini. Ingat bahwa taruhannya adalah masa depan ketahanan nasional bangsa ini.
Selama ini, aksi-aksi intoleran terjadi di sejumlah daerah, baik kota maupun desa. Kesigapan dan sikap tegas pemerintah tingkat kota, kabupaten atau desa untuk mencegah berulangnya kasus intoleran menjadi sangat penting.
Ketua MPR mengingatkan bahwa Pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih dari cukup untuk mengikis masalah intoleransi. Selain wewenang dan kapasitas yang melekat pada struktur organisasi pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, dukungan masyarakat pun tak kalah kuatnya. Ada begitu banyak elemen masyarakat yang terang-terangan menolak aksi-aksi intoleran yang dilakukan oleh orang atau komunitas-komunitas tertentu.
Mengacu pada peristiwa terakhir di Bantul itu, sudah waktunya bagi pemerintah untuk mulai pro aktif mengupayakan langkah atau pendekatan yang diperlukan guna mengikis perilaku intoleran itu. Sudah ada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Indonesia (BPIP), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dan instrumen lain sejenis yang bisa dimaksimalisasi pemberdayaannya untuk mengikis intoleransi.
Keterlibatan para pemuka agama dan komunitas pendidik pun sangat penting dan relevan. Pemerintah, pada akhirnya, harus berani dan at all cost mengorganisir aksi atau kegiatan berskala masif untuk mengikis perilaku intoleran. Sudah waktunya negara bersikap tegas. (BSI)
Berita dari Bantul pekan lalu menyita perhatian Ketua MPR. Berita itu bertutur tentang insiden penghentian kegiatan ibadah umat Hindu di Dusun Mangir Lor, Desa Sedangsari, Bantul, Provinsi D.I. Yogyakarta, pada Selasa (12/11). Aksi penghentian ibadah itu dilakukan oleh sekelompok orang yang diklaim sebagai warga desa setempat. Perilaku intoleran seperti ini tidak boleh dibiarkan.
Negara tidak bisa lagi minimalis menyikapi kecenderungan ini. Harus ada inisiatif dari negara untuk menghentikannya. Tentu saja dengan pendekatan yang moderat. Memang, menjadi tidak proporsional juga kalau semua persoalan ini harus diselesaikan oleh aparatur negara. Pilihannya adalah bahu membahu dengan para pemuka agama.
Logikanya sederhana saja. Kalau ada kekuatan yang bisa mengindoktrinasi kelompok-kelompok masyarakat itu menjadi intoleran, negara pun bisa melakukan hal yang sama untuk mengubah dan membalikannya. Persoalannya adalah kemauan dan keberanian politik untuk berinisiatif. Jangan berjudi dengan masalah ini. Ingat bahwa taruhannya adalah masa depan ketahanan nasional bangsa ini.
Selama ini, aksi-aksi intoleran terjadi di sejumlah daerah, baik kota maupun desa. Kesigapan dan sikap tegas pemerintah tingkat kota, kabupaten atau desa untuk mencegah berulangnya kasus intoleran menjadi sangat penting.
Ketua MPR mengingatkan bahwa Pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih dari cukup untuk mengikis masalah intoleransi. Selain wewenang dan kapasitas yang melekat pada struktur organisasi pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, dukungan masyarakat pun tak kalah kuatnya. Ada begitu banyak elemen masyarakat yang terang-terangan menolak aksi-aksi intoleran yang dilakukan oleh orang atau komunitas-komunitas tertentu.
Mengacu pada peristiwa terakhir di Bantul itu, sudah waktunya bagi pemerintah untuk mulai pro aktif mengupayakan langkah atau pendekatan yang diperlukan guna mengikis perilaku intoleran itu. Sudah ada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Indonesia (BPIP), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dan instrumen lain sejenis yang bisa dimaksimalisasi pemberdayaannya untuk mengikis intoleransi.
Keterlibatan para pemuka agama dan komunitas pendidik pun sangat penting dan relevan. Pemerintah, pada akhirnya, harus berani dan at all cost mengorganisir aksi atau kegiatan berskala masif untuk mengikis perilaku intoleran. Sudah waktunya negara bersikap tegas. (BSI)