Bernasindonesia.com - Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. membedah konstitusi terkait diskursus masa jabatan presiden dan wakil presiden 3 periode akhir-akhir ini. Dipaparkan Fahri Bachmid berdasarkan ketentuan norma pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama yang menjelaskan tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden lima tahun, dan setelah itu dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
“Kemudian secara operatif ketentuan tersebut diatur lebih teknis dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, khusunya ketentuan pasal 169 huruf N,” ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Fahri, ketentuan pasal 169 huruf N tersebut mengatur soal persayaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, sebagaimana rumusannya adalah bahwa, seseorang yang belum pernah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden selama dua kali masa jabatan yang sama.
Disebutkan Fahri, yang dimaksud belum pernah menjabat dua kali masa jabatan yang sama adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun.
“Jika kita membaca secara hati-hati “Memorie van Toelichting” sebagaimana terdapat dalam naskah komprehensif perubahan UUD NRI Tahun 1945 sangat jelas adanya kesadaran dan spirit pembatasan kekuasaan presiden dan masa jabatan presiden hanya untuk dua kali masa jabatan,hal ini dapat tergambar dari perdebatan-perdebatan politik dan akademik pada PAH I BP MPR yang bertugas melakukan perubahan UUD Tahun 1945 sepanjang berkaitan dengan pembatasan masa jabatan presiden, dan sebagaimana terdapat dalam rumusan final sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan pertama itu,” tandas dia,
Fahri menjelaskan bahwa ketentuan tersebut secara historis merupakan rumusan normatif yang diadopsi dari TAP MPR No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan kekuasaan dan masa jabatan presiden.
Lebih Lanjut, Fahri Bachmid mengatakan secara teoritik ada empat konsep pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang dikenal dalam literatur hukum tata negara Pertama, tidak ada masa jabatan Kedua ( no re-election), kedua, tidak boleh ada masa jabatan yang berlanjut (no immediate re-election), ketiga, maksimal dua kali masa jabatan (only one re-election), dan Keempat, tidak ada pembatasan masa jabatan (no limitation re-election).
“Dan dari segi corak pengaturan hukum tata negara modern, tentunya konsep yang keempat atau terahir tidak sejalan dengan ajaran dan prinsip sistem pemerintahan presidensial, yang secara absolut berorientasi pada pembatasan kekuasaan pemerintahan negara,” jelas Fahri Bachmid
Fahri mengatakan, berbagai konsep dan praktek pembatasan kekuasaan presiden tersebut, maka sistem “no re-election”diterapkan oleh negara Filipina dengan membatasi masa jabatan presiden hanya satu kali enam tahun, sedangkan konsep “only one re-election” diterapkan pada sistem pemerintahan Amerika serikat (AS), Pasca amandemen ke-22 konstitusi AS, yang secara tegas membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali masa jabatan/periode. Sedangkan sistem “no limitation re-election pernah terjadi dalam praktek ketatanegaraan Indonesia sebelum periode Presiden Soeharto.
Diketahui, Presiden Soekarno mulai menjabat pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1966. Sedangkan Presiden Soeharto mulai menjabat sejak Periode tahun 1966 sampai dengan tahun 1998. Dan sejak saat itu praktek pengisian jabatan presiden Republik Indonesia secara berkali kali karena terpelihara dalam konvensi ketatanegaraan Indonesia dan hal yang demikian itu diterima pada saat itu.
“Setelah itu pada saat Pemilu tahun 2004 dan terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maka praktek pengisian dan masa jabatan presiden telah berjalan dan tertata secara teratur dengan prinsip “fixed term” dan berlangsung hingga saat ini,” katanya.
Fahri menambahkan, pranata pembatasan kekuasaan presiden secara filosofis adalah tidak terlepas dari konsekwensi penerapan sistem pemerintahan presidensial, karena secara hukum tata negara disebutkan bahwa kedudukan dan eksistensi presiden sebagai kepala negara (head of state) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (chief of excekutif) yang memiliki kekuasaan sangat besar.
“Dengan demikian maka secara doktrinal harus mutlak dibatasi oleh konstitusi, dan hal ini telah diterimah secara universal sebagai sebuah konsep rasional dan relevant untuk sebuah negara demokrasi,” pungkas Fahri.
Menurut Fahri, kekuasaan kepala negara dibatasi oleh UUD meliputi isi dan substansi kekuasaan, serta pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan waktu dijalankannya kekuasaan negara tersebut.
“Jadi mengenai masa jabatan presiden sebenarnya konsep pembatasan yang diatur dalam norma pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 sebagai hasil amandemen pertama masih sangat relevan, serta sejalan dengan konsep negara demokrasi konstitusional,” ungkapnya.
Kemudian, Fahri meminta agar kemajuan konsep negara demokrasi konstitusional yang sudah terbangun secara baik selama ini tidak mengalami kemunduran. Sebab, kata dia, sistem dua periode baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut dalam periode masa jabatan presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi telah sangat konstruktif.
“Bahwa berbagai wacana perpanjangan masa jabatan presiden saat ini adalah sebuah diskursus yang wajar saja dan tidak perlu dibesar besarkan. Tentunya setiap gagasan dan usulan idealnya disertai dengan kajian yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan. Artinya harus mempunyai basis akademik kuat dan komprehensif terkait dengan urgensi serta konteks usulan seperti itu. Karena ini berkaitan dengan sistem tata negara yang diatur dalam konstitusi. Dengan demikian maka harus terhindar dari gagasan serta usulan yang bersifat parsial dan kering nilai filosofisnya,” tutup Fahri Bachmid. (BSI)
“Kemudian secara operatif ketentuan tersebut diatur lebih teknis dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, khusunya ketentuan pasal 169 huruf N,” ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Fahri, ketentuan pasal 169 huruf N tersebut mengatur soal persayaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, sebagaimana rumusannya adalah bahwa, seseorang yang belum pernah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden selama dua kali masa jabatan yang sama.
Disebutkan Fahri, yang dimaksud belum pernah menjabat dua kali masa jabatan yang sama adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun.
“Jika kita membaca secara hati-hati “Memorie van Toelichting” sebagaimana terdapat dalam naskah komprehensif perubahan UUD NRI Tahun 1945 sangat jelas adanya kesadaran dan spirit pembatasan kekuasaan presiden dan masa jabatan presiden hanya untuk dua kali masa jabatan,hal ini dapat tergambar dari perdebatan-perdebatan politik dan akademik pada PAH I BP MPR yang bertugas melakukan perubahan UUD Tahun 1945 sepanjang berkaitan dengan pembatasan masa jabatan presiden, dan sebagaimana terdapat dalam rumusan final sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan pertama itu,” tandas dia,
Fahri menjelaskan bahwa ketentuan tersebut secara historis merupakan rumusan normatif yang diadopsi dari TAP MPR No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan kekuasaan dan masa jabatan presiden.
Lebih Lanjut, Fahri Bachmid mengatakan secara teoritik ada empat konsep pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang dikenal dalam literatur hukum tata negara Pertama, tidak ada masa jabatan Kedua ( no re-election), kedua, tidak boleh ada masa jabatan yang berlanjut (no immediate re-election), ketiga, maksimal dua kali masa jabatan (only one re-election), dan Keempat, tidak ada pembatasan masa jabatan (no limitation re-election).
“Dan dari segi corak pengaturan hukum tata negara modern, tentunya konsep yang keempat atau terahir tidak sejalan dengan ajaran dan prinsip sistem pemerintahan presidensial, yang secara absolut berorientasi pada pembatasan kekuasaan pemerintahan negara,” jelas Fahri Bachmid
Fahri mengatakan, berbagai konsep dan praktek pembatasan kekuasaan presiden tersebut, maka sistem “no re-election”diterapkan oleh negara Filipina dengan membatasi masa jabatan presiden hanya satu kali enam tahun, sedangkan konsep “only one re-election” diterapkan pada sistem pemerintahan Amerika serikat (AS), Pasca amandemen ke-22 konstitusi AS, yang secara tegas membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali masa jabatan/periode. Sedangkan sistem “no limitation re-election pernah terjadi dalam praktek ketatanegaraan Indonesia sebelum periode Presiden Soeharto.
Diketahui, Presiden Soekarno mulai menjabat pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1966. Sedangkan Presiden Soeharto mulai menjabat sejak Periode tahun 1966 sampai dengan tahun 1998. Dan sejak saat itu praktek pengisian jabatan presiden Republik Indonesia secara berkali kali karena terpelihara dalam konvensi ketatanegaraan Indonesia dan hal yang demikian itu diterima pada saat itu.
“Setelah itu pada saat Pemilu tahun 2004 dan terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maka praktek pengisian dan masa jabatan presiden telah berjalan dan tertata secara teratur dengan prinsip “fixed term” dan berlangsung hingga saat ini,” katanya.
Fahri menambahkan, pranata pembatasan kekuasaan presiden secara filosofis adalah tidak terlepas dari konsekwensi penerapan sistem pemerintahan presidensial, karena secara hukum tata negara disebutkan bahwa kedudukan dan eksistensi presiden sebagai kepala negara (head of state) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (chief of excekutif) yang memiliki kekuasaan sangat besar.
“Dengan demikian maka secara doktrinal harus mutlak dibatasi oleh konstitusi, dan hal ini telah diterimah secara universal sebagai sebuah konsep rasional dan relevant untuk sebuah negara demokrasi,” pungkas Fahri.
Menurut Fahri, kekuasaan kepala negara dibatasi oleh UUD meliputi isi dan substansi kekuasaan, serta pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan waktu dijalankannya kekuasaan negara tersebut.
“Jadi mengenai masa jabatan presiden sebenarnya konsep pembatasan yang diatur dalam norma pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 sebagai hasil amandemen pertama masih sangat relevan, serta sejalan dengan konsep negara demokrasi konstitusional,” ungkapnya.
Kemudian, Fahri meminta agar kemajuan konsep negara demokrasi konstitusional yang sudah terbangun secara baik selama ini tidak mengalami kemunduran. Sebab, kata dia, sistem dua periode baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut dalam periode masa jabatan presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi telah sangat konstruktif.
“Bahwa berbagai wacana perpanjangan masa jabatan presiden saat ini adalah sebuah diskursus yang wajar saja dan tidak perlu dibesar besarkan. Tentunya setiap gagasan dan usulan idealnya disertai dengan kajian yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan. Artinya harus mempunyai basis akademik kuat dan komprehensif terkait dengan urgensi serta konteks usulan seperti itu. Karena ini berkaitan dengan sistem tata negara yang diatur dalam konstitusi. Dengan demikian maka harus terhindar dari gagasan serta usulan yang bersifat parsial dan kering nilai filosofisnya,” tutup Fahri Bachmid. (BSI)