Pemerintah Serius Tingkatkan Investasi Sektor Manufaktur

| Senin, 18 November 2019 | 01.17 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap upaya memacu nilai investasi khususnya dari sektor manufaktur. Sebab, aktivitas industrialisasi dinilai dapat membawa efek berganda yang luas terhadap perekonomian nasional, antara lain peningkatan pada nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor.

“Sesuai arahan Bapak Presiden Joko Widodo, seluruh kementerian termasuk Kementerian Perindustrian, agar dapat menyederhanakan aturan-aturan yang bisa memudahkan investasi masuk sehingga industri kita bisa tumbuh berkembang dan berdaya saing global,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita melalui keterangannya yang diterima di Jakarta, Minggu (17/11).

Menperin Agus menjelaskan, dalam implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0, salah satu program prioritasnya adalah menarik investasi dari perusahaan-perusahaan skala global. Langkah ini diyakini dapat mendongkrak kapasitas produksi sekaligus memperkuat struktur manufaktur nasional.

“Kami pun mendorong agar para investor tersebut dapat menjalin mitra dengan industri di dalam negeri, termasuk sektor industri kecil dan menengah (IKM). Upaya strategis ini diharapkan akan terjadi transfer teknologi terutama bagi investor yang telah mengadopsi industri 4.0,” paparnya.

Menperin menambahkan, selain gencar menarik investasi sektor industri padat karya, pemerintah juga aktif menggenjot pertumbuhan di sektor industri yang berorientasi ekspor dan menghasilkan produk substitusi impor. “Ini sejalan dengan tekad pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja lebih banyak lagi dan mengurangi defisit neraca perdagangan,” imbuhnya.

Berdasarkan catatan Kemenperin, pada periode Januari-September 2019, penanaman modal dalam negeri (PMDN) dari sektor industri manufaktur mencapai Rp52,8 triliun yang terdiri dari 5.133 proyek. Sedangkan, untuk penanaman modal asing (PMA) dari sektor industri manufaktur sebesar USD6,3 miliar yang meliputi sebanyak 7.210 proyek.

Adapun tiga penyumbang terbesar bagi PMDN sektor manufaktur di periode tersebut, yakni industri makanan dengan nilai investasi hingga Rp26,4 triliun (1.649 proyek), kemudian disusul industri logam, mesin dan elektronik serta industri instrumen kedokteran, presisi, optik dan jam yang menyentuh angka Rp7,6 triliun (656 proyek). Berikutnya, industri kimia dan farmasi mencapai Rp6,8 triliun (678 proyek).

Sementara itu, tiga kontributor besar untuk PMA di periode yang sama, yaitu industri logam, mesin dan elektronik serta industri instrumen kedokteran, presisi, optik dan jam yang menggelontorkan dananya hingga USD2,3 miliar (1.520 proyek), kemudian diikuti industri kimia dan farmasi mencapai USD1 miliar (940 proyek). Berikutnya, industri makanan sebesar USD1 miliar (1.359 proyek).

Agus optimistis, Indonesia masih menjadi negara tujuan utama investasi khususnya bagi sektor industri manufaktur. Potensi ini lantaran didukung dengan ketersediaan pasar yang besar dan bahan baku yang melimpah. “Sejumlah investor skala global telah menyatakan minatnya untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi mereka guna memenuhi kebutuhan di pasar domestik hingga ekspor,” ujarnya.

Keunggulan lainnya, Indonesia memiliki sumber daya manusia (SDM) industri yang cukup banyak dan kompetitif. Hal ini sejalan dengan fokus pemerintahan Presiden Jokowi pada periode keduanya, yang ingin meningkatkan kualitas SDM dalam upaya mewujudkan visi Indonesia maju. Selain itu, target merebut peluang dari momentum bonus demografi.

“Oleh karenanya, guna menciptakan SDM kompeten yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri saat ini, Kemenperin semakin gencar menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan vokasi. Program yang telah dijalankan, di antaranya adalah pendidikan vokasi yang link and match antara SMK dengan industri serta pelatihan Diklat 3in1,” sebutnya.

Selanjutnya, dalam upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif di Tanah Air, berbagai jurus jitu yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah, yakni mulai dari perbaikan perizinan melalui penerapan Online Single Submission (OSS) hingga pemberian insentif fiskal seperti tax allowance, tax holiday dan super deduction tax.

Bahkan, pemerintah akan menerbitkan daftar positif (positive list) investasi pada Januari 2020, yang rencananya diatur dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Daftar positif investasi ini bakal diterapkan pada kawasan ekonomi khusus (KEK) dan dipertimbangkan mendapatkan fasilitas tax holiday sesuai dengan ketentuan dan bentuk final daftar positif yang berlaku.

Surplus nonmigas

Di sisi lain, Menperin Agus mengungkapkan, industri manufaktur masih menjadi kontributor paling besar terhadap capaian nilai ekspor nasional. Pada periode Oktober 2019, industri pengolahan mencatatkan nilai ekspornya sebesar USD11,34 miliar atau menyumbang 75,95 persen dari total ekspor nasional yang menembus hingga USD14,93 miliar.

“Sudah banyak produk manufaktur kita yang kompetitif di kancah global. Oleh karena itu, Kemenperin dan Kementerian Perdagangan akan terus berkoordinasi untuk memfasilitasi akses dan kemudahan bagi pelaku industri kita supaya bisa memperluas pasar ekspor,” tuturnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2019 mengalami surplus sebesar USD161 juta. Surplus tersebut karena nilai ekspor mencapai USD14,93 miliar dan impor USD14,77 miliar. Sementara itu, ekspor nonmigas menyumbang hingga 93,8 persen dari total ekspor nasional di bulan ke-10 tahun ini, dan sektor nonmigas mencatatkan surplus sebesar USD990,5 juta.

Berikutnya, sepanjang Januari-Oktober 2019, nilai ekspor dari produk industri pengolahan menembus hingga USD105,1 miliar atau menyumbang 75,56 persen dari total ekspor nasional yang mencapai USD139,1 miliar. Sedangkan, ekspor nonmigas berkontribusi sebesar 92,56 persen terhadap total ekspor nasional pada Januari-Oktober 2019.

Adapun 10 produk yang berperan besar terhadap capaian nilai ekspor di periode yang sama tersebut, yakni bahan bakar mineral; lemak dan minyak hewan/nabati; mesin/peralatan listrik; kendaraan dan bagiannya; serta besi dan baja. Selanjutnya, perhiasan/permata; karet dan barang dari karet; mesin-mesin/pesawat mekanik; serta pakaian jadi bukan rajutan, serta kertas/karton.

Mengenai lokasi tujuan utama ekspor Indonesia, Tiongkok tetap sebagai negara yang terbesar nilainya, yaitu mencapai USD21,12 miliar (16,40 persen), diikuti Amerika Serikat dengan nilai USD14,53 miliar (11,29 persen), dan Jepang sebesar USD11,47 miliar (8,91 persen).
“Pemerintah terus berupaya memperluas akses pasar ekspor untuk industri manufaktur. Misalnya kita perluas pasar ekspor ke negara-negara nontradisional seperti di Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika,” sebut Menperin. (BSI)

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI