Pengamat Nilai Pidato Surya Paloh Sindiran untuk PDI-P

| Senin, 11 November 2019 | 02.29 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menilai, pernyataan Ketum NasDem  Surya Paloh soal adanya partai yang 'berpikiran cetek, sinis, lip service, suka curiga dan mengaku Pancasilais' yang dilontarkan di Kongres II Partai NasDem merupakan sindiran kepada PDIP.

"Sebenarnya arahnya sangat jelas ya, itu sindiran untuk PDIP. Cuma kan memang secara politis kalau menyebutkan langsung kan tidak bagus, oleh karena itu yang dibahasakan adalah perumpamaan, istilah-istilah gitu lho," kata Ujang kepada wartawan, Sabtu (9/11/2019).

Ujang menilai, sindiran Surya sangat jelas dibaca arahnya, karena memang selama ini ada persaingan antara PDIP dan NasDem terkait bagi-bagi kursi di kabinet Joko Widodo (Jokowi), dan itu sudah terjadi sejak periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi.

Dijelaskannya, pada periode pertama 2014-2019, PDIP sebagai partai pemenang pemilu dan berhasil memenangkan kadernya Jokowi menjadi presiden, merasa dilangkahi oleh NasDem sebagai rekan koalisi lantaran mendapat banyak porsi pada pos yang strategis.

"Karena dua partai itu kan saling bersaing di 5 tahun kemarin. Pada 5 tahun yang pertama PDIP merasa terlangkahi oleh NasDem yang dapat banyak kursi. Itu membuat iri PDIP," ucap dia.

"Ingat bagaimana dulu komposisi Kejaksaan Agung dipegang kader NasDem. Lalu ingat sebelum resuffle, Menko Polhukam dipegang oleh NasDem Tedjo Edhy dan Kementerian ATR juga waktu itu kan Ferry Mursyidan Baldan dari NasDem," sambungnya.

Ujang menyebut, dengan jatah yang cukup banyak di periode pertama kepemimpinan Jokowi, berdampak pada meningkatkan suara NasDem di Pemilu 2019. Diketahui, NasDem di DPR bertambah 23 kursi, yaitu dari 36 kursi pada 2014 menjadi 59 kursi pada 2019 atau naik 63,88%.

"Jadi begitu banyak kursi yang didapat oleh NasDem ketika 5 tahun lalu. Dengan itu NasDem suaranya (di parlemen) naik dari 36 kursi menjadi 59 kursi saat ini kan," ungkapnya.

Berkaca dari periode pertama itulah, disebut Ujang, PDIP tidak ingin kembali dilangkahi NasDem di periode kedua Jokowi. Karenanya, partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri itu 'mengunci' NasDem melalui Presiden Jokowi.

"Sejak dari situlah PDIP sudah mulai mengunci melalui Jokowi. Karena PDIP sebagai pemenang Pemilu 2014 dan 2019, tidak mau dilangkahi oleh NasDem," imbuhnya.

Caranya PDIP mengunci NasDem, lanjut Ujang, yakni dengan meminta jatah menteri lebih banyak di Kabinet Indonesia Maju terutama pada pos-pos yang strategis. Sementara NasDem sebagai koalisi tetap diberikan jatah tapi bukan pada posisi yang strategis.

"Nah akhirnya apa? Akhirnya Kejaksaan Agung diberikan kepada PDIP. Walaupun dari pejabat karir, tapi dia (Jaksa Agung ST Burhanuddin) terafiliasi, adeknya politisi PDIP (TB Hasanuddin) kan. Secara politik clear diberikan kepada PDIP," papar Ujang.

"Persaingan-persaingan ini sejak lama sudah terjadi dan sampai saat ini semakin mengencangkan. Ditambah- tambah Kejaksaan diambil alih, komposisi kabinet juga tidak menyenangkan NasDem, walaupun dapat 3 kursi tapi posisinya tidak strategis, tidak ada kementerian yang strategis yang didapat oleh NasDem," jelasnya.

Apa yang dilakukan PDIP ini membuat NasDem kecewa. Apalagi ditambah masuknya Partai Gerindra dalam kabinet dan mendapat dua kursi menteri dari Jokowi. "Yang ketiga itu persoalan dengan masuknya Gerindra di koalisi Jokowi. Itu bagaimanapun merubah peta koalisi," terangnya.

Karena kekecewaan-kekecewaan itu, disebut Ujang, membuat NasDem khusunya Surya Paloh bermanuver dengan menemui partai oposisi seperti PKS beberapa hari lalu, hingga menyindir partai lain saat berpidato di Kongres II Partai NasDem Jumat (8/11/2019) tadi malam.

"Kekecewaan itu dilakukan dengan manuver-manuver dengan bertemu PKS, lalu terakhir adalah tadi malam bagaimana berpidato mengutarakan sindiran-sindiran itu kepada partai tertentu. Tentu bukan rahasia umum kalau yang ditujukan itu kepada PDIP," pungkasnya. (BSI)
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI