Sulastomo dan Suharto

| Jumat, 13 Desember 2019 | 19.09 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Sebagai ketua persaudaraan haji (PDHI), Sulastomo menemui Presiden Suharto di rumahnya. Ia datang bersama beberapa pengurus teras PDHI.

Tujuan utama mereka: berkonsultasi dengan Suharto (waktu itu adalah ketua dewan pembina organisasi apapun -- resmi dan tercantum namanya maupun tidak).

Sulastomo mengungkapkan: sejak belasan tahun lalu setiap jamaah haji "menyumbang" rutin sejumlah dana (kalau tak salah Rp 10 ribu) ke dalam kas PDHI.

Well, lalu apa masalahnya?

Masalahnya, kata Mas Tom, dana itu sekarang sudah sangat besar, dan PDHI tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan uang sebesar itu.

Pak Harto berdehem dan tersenyum. "Begini saja," katanya, "Saudara iklankan saja tentang dana itu kepada publik, minta persetujuan tentang penggunaannya. Pasang iklannya kecil saja. Dan pasang di hari Sabtu. Jadi tidak banyak orang yang membacanya."

Suharto tersenyum makin lebar. Sulastomo dan kawan-kawan tidak tahu harus bereaksi apa mendengar saran yang di luar dugaan itu.

Lalu, untuk digunakan buat keperluan apa dana PDHI itu?

"Terserah PDHI," kata Pak Harto, sambil tetap tersenyum. "Gunakan saja untuk segala keperluan yang bermanfaat menurut PDHI."

Sulastomo cs pulang dalam keadaan bingung, heran, agak geli juga -- dan tetap tidak tahu mau diapakan dana PDHI yang besar itu. Tapi setidaknya ia kini mengerti suatu sisi dalam kepribadian dan "strategi" seorang yang sangat berkuasa, yang tindak-tanduknya selalu dicermati siapapun, tapi semua mereka hanya berhasil menangkap penggalan-penggalannya.

Sulastomo pulang dengan mengantungi suatu pengetahuan yang sahih, karena disampaikan sendiri kepadanya; suatu sanggahan terhadap aneka rumor yang selama ini didengarnya; tapi sekaligus konfirmasi atas rumor jenis lain yang juga didengarnya tentang orang kuat itu.

Hari ini Sulastomo yang berpembawaan halus, karenanya kita tak pernah mendengar ia mengecam apapun, apalagi dengan meletup-letup, pergi ke tempat yang terlalu jauh untuk memungkinkannya kembali.

Ia punya tempat tersendiri dalam sejarah HMI. Ia memimpin organisasi kader mahasiswa yang dinamis itu di masa yang bergolak dan sangat kritis; sampai berimplikasi pada kelangsungan hidup HMI.

Saya tidak tahu bagaimana nasib dana PDHI itu kemudian (saya bahkan lupa kapan dan di mana cerita ini saya dengar -- mungkin dari Cak Nur). Tapi fakta bahwa Mas Tom merasa perlu mengkonsultasikan ihwal dana itu saja sudah menunjukkan bahwa ia orang bersih; ia sangat berhati-hati menangani dana para jamaah haji itu.

Dengan kebersihan itu, juga dengan kehalusan perangai yang mengiringi banyak kebajikan yang telah diperbuatnya, saya rasa Mas Tom mengakhiri perjalanan panjangnya dengan senyum ikhlas di bibirnya yang selalu merah.

Oleh: Hamid Basyaib
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI