Kamala Harris for 2024?

| Senin, 09 November 2020 | 12.21 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Ketika Joseph Biden memilih Kamala Harris sebagai calon wakil presiden, saya membuat poster Facebook yang menyatakan bahwa pemilihan presiden Amerika sudah selesai. Pasangan Biden-Harris akan memenangkan kontes. Hari ini keyakinan itu bukan hanya terbukti, tapi juga menjadikan pasangan itu sebagai peraih popular votes terbesar dalam sejarah Amerika.


Kamala Harris memang bukan perempuan pertama yang menjadi running mate dalam pilpres Amerika. Sebelumnya ada Geraldine Feraro, juga Sarah Palin, yang keluguannya memunculkan banyak kekocakan. Tapi sekarang semua orang tahu Harris-lah perempuan pertama yang menjadi wakil presiden Amerika. Ia juga keturunan "Jamerican" pertama yang menjadi wakil presiden --ayahnya, Donald Harris, orang Jamaika, profesor ekonomi di Universitas Stanford. Sebagian orang lebih suka menyebutnya wapres pertama Asia-Amerika, karena ibunya Shyamala Gopalan, seorang pakar biomedis, adalah imigran dari India. 


Semua kepertamaan itu dilengkapi dengan pelanggaran konvensi, yaitu tampilnya wakil presiden yang turut berpidato dalam pidato kemenangan sesudah dipastikan pasangan Biden-Harris memenangkan kontes yang menegangkan itu. Dan kualitas pidato singkat Kamala Harris, sesuai ekspektasi -- mengingat reputasinya sebagai senator dan yuris yang tangguh -- berisi banyak kearifan dan inspirasi cemerlang. 


Biden-Harris mengembalikan watak dasar Amerika sebagai melting pot dengan pluralitas yang semakin kaya, dengan munculnya kian banyak warga non kulit putih yang cemerlang di berbagai bidang. Fakta sosiologi inilah yang cenderung diabaikan oleh kebijakan tapi terutama oleh perilaku personal Donald Trump -- seorang yang akan dicatat sebagai presiden terburuk Amerika, yang program utamanya adalah membelah-belah rakyat, bukan mempersatukannya. 


Kamala Harris tampil memikat. Ia paham proporsi. Ia, dengan gestur dan suara rileks yang sengaja diperlambat, mengungkapkan pernyataan-pernyataan inspiratif yang tidak sampai tergelincir menjadi slogan dan puisi yang hanya indah, tapi maknanya dapat dihayati dengan tepat oleh pendengarnya. Ia berterima kasih kepada pemilih karena "Anda memilih Joe" -- ia tidak berkata mereka memilih Joe Biden dan dirinya, atau "memilih Biden-Harris". Ia tahu panggungnya adalah pinjaman; sepenuhnya milik Joe Biden, dan hanya karena kebesaran hati seniornya itulah ia bisa tampil di panggung terpenting itu. Harris bahkan berulang kali menekankan pujian kepada presiden terpilih. 


Dan Kamala Harris seolah menjabarkan pernyataan Biden, yang bertekad "mengakhiri the grim era of demonization" -- suatu masa pencercaan yang banyak diobral pendahulunya. "Kita ingin memajukan kesetaraan, harapan, sains dan keadilan untuk semua", kata Harris. Ia khusus memuji perempuan kulit hitam; exit polls menyebut 91 persen mereka memilih Biden-Harris. 


Mereka, katanya, "diremehkan, tapi sesungguhnya merupakan tulang punggung demokrasi Amerika". Tapi ia mengajak mereka semua untuk "menghadapi hari baru tanpa terbebani oleh apa yang telah terjadi." Ia mampu menyampaikan simpati dan empati dengan elegan, tanpa menjadi sentimental, tapi menekankan bahwa pada akhirnya yang terpenting adalah optimisme yang sehat, bukan pesimisme yang murung. 


Seorang penasihat Partai Demokrat menyebut Biden terpanggil mengikuti pilpres ini karena tak tahan dengan gaya Trump memerintah. Ia tahu usianya sudah 78, dan telah setengah abad berkecimpung di arena politik, termasuk dua periode menjadi wakil presiden. Tapi agresifitas Trump hanya bisa dibendung oleh tokoh seberbobot dirinya. Maka Biden berlaga lagi -- dan memilih seorang perempuan sebagai running mate.


Saya duga, dalam perjalanan pemerintahan mereka, Biden akan memberi lebih banyak peluang kepada wakilnya. Kamala Harris akan berperan lebih daripada sekadar "ban serep" sesuai Konstitusi, sebagaimana tradisi lama. Pemberian panggung dalam pidato itu boleh dipandang sebagai isyarat awalnya.  Mungkin nanti beberapa kunjungan kenegaraan juga akan diserahkan kepada Harris. 


Bahkan, dari semua gestur yang terlihat, kita boleh menilai bahwa Joseph Biden akan berperan pula sebagai pengawal atau pengantar bagi Kamala Harris untuk kursi nomor satu pada 2024. Maka Amerika akan kembali mencatat sejarah baru empat tahun lagi. 


Sementara itu the lame duck Donald Trump terus mengumbar lunaticity dengan "ngambek" dan tak mau menyampaikan ucapan selamat kepada lawan tandingnya. Ia terus menuding dan menggugat perhitungan suara tanpa dasar, membuat tokoh-tokoh Republik, bahkan pengacara utamanya, Ben Ginsberg, merasa malu kepada publik. Integritas pemilu-pemilu Amerika terlalu mapan untuk diusik dengan tuduhan-tuduhan mentah semacam itu, yang juga melukai martabat ribuan relawan yang bekerja keras untuk menjamin integritas itu. 


Trump juga menegaskan tak akan memberi pidato pengakuan; membuat menantu kesayangannya harus membujuknya lebih keras untuk bersikap normal dan menunjukkan spirit ksatria standar. 


Tapi keabsahan kedudukan Joe Biden tentu saja tidak tergantung pada sikap kekanak-kanakan presiden yang digantikannya. 


Berlalunya Trump juga tidak berarti mengubah lanskap politik Amerika dengan segera. Sistem di negara semapan Amerika tidak mungkin berubah drastis hanya oleh ritual pemilu empat tahunan. Apalagi komposisi Kongres dan Senat juga tidak menguntungkan partai presiden terpilih. Juga: Donald Trump adalah pecundang yang meraih suara terbanyak dalam sejarah Amerika. Jadi, penganut Trumpisme masih banyak berkeliaran. 


Tetapi setidaknya kehadiran negarawan-negarawan seperti Biden dan Harris bisa memunculkan aura dan suasana sosial yang lebih rekonsiliatif, setelah dirobek begitu keras oleh pendahulunya, bahkan dengan simbolisme yang harfiah: tembok pemisah di perbatasan dengan Meksiko. 


Sebagai warga dunia di luar Amerika, kita hanya bisa berharap perubahan-perubahan domestik itu sedikit-banyak bisa pula meluap ke lanskap global; membuat hubungan-hubungan antarnegara menjadi lebih beradab. Suka atau tidak, faktanya Amerika adalah aktor utama dalam sistem global hari ini. Maka siapapun presidennya -- sekarang, plus: siapapun wakil presidennya -- akan turut menentukan wajah planet umat manusia ini. 


Selamat bekerja keras, Pak Biden -- dan Bu Kamala. ***

Oleh: Hamid Basyaib



Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI