Mengapa Semakin Banyak Negara Melegalkan Pernikahan Sejenis?

| Senin, 22 Maret 2021 | 07.33 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Kisah Sodom dan Gomorrah pun diinterpretasi ulang. Pemahaman lama atas hancurnya kota itu karena praktek homoseks dianggap keliru (1).


Kekeliruan interpretasi ini diwariskan abad demi abad. Ia  dijadikan dasar kekerasan dan diskriminasi atas kaum homoseks di berbagai belahan dunia.


Kata per-kata teks dari bahasa asli Hebrew Bible dikaji.  Dipahami ternyata kata yang sama dalam teks asli bahasa lama di Hebrew Bible itu dapat memberikan makna yang beragam.


Datanglah intepretasi yang berbeda. Kisah Sodom dan Gomorrah dianggap hanyalah pelajaran moral bagi kekerasan massal terhadap para  pendatang. 


Kisah itu yang awalnya dari Hebrew Bible, lalu berlanjut pada kitab suci agama lain, adalah kisah larangan kekerasan kolektif terhadap orang luar.


Hancurnya dua kota itu dianggap tak ada hubungan dengan cinta kaum sejenis.


Interpretasi alternatif ini dirasakan lebih sesuai dengan dunia baru sejak tahun 1970an. Pemimpin politik dunia semakin banyak memilih interpretasi alternatif.


Ujar Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat tahun 1977-1981: “Yesus akan mendukung aneka kisah cinta, jika itu jujur ​​dan tulus. Yaitu kisah cinta yang tidak merugikan orang lain.”


Lanjut Jimmy Carter: “Dan saya tidak melihat bahwa pernikahan gay merugikan orang lain. "


Interpretasi altenatif itu dikuatkan fakta baru. Kini sudah 29 negara yang melegalkan kawin sejenis.

Belanda memulainya sejak tahun 2001. 


Sudah 20 tahun pernikahan sejenis dilegalkan. Hingga kini tak terdengar ada kota apalagi negara yang dihancurkan seperti kisah kota Sodom dan Gomorrah.


Bahkan di antara 29 negara yang melegalkan pernikahan sejenis, terdapat banyak negara yang paling mampu membuat warga negaranya bahagia (World Happiness Index). Paling mampu membangun kualitas hidup tinggi (Human Development Index). Paling mampu melahirkan pemerintahan yang bersih (Corruption Perception Index).


Lihatlah daftar 29 negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Ada negara Swedia, Denmark, Norwegia, juga Selandia Baru. (2)


Wakil di semua benua ada dalam list itu. Ada negara Eropa lain: United Kingdom dan Perancis. Ada dari benua Amerika: Amerika Serikat dan Brazil. Ada dari Australia. Ada dari benua Asia: Taiwan. Juga ada dari benua Afrika: Afrika Selatan.


Fakta menunjukkan. Dan ini bisa dibuktikan semua orang. Kota yang melegalkan pernikahan sejenis tetap tegak perkasa, tak menjadi debu seperti Sodom dan Gomorrah. Tidak Armsterdam. Tidak New York. Tidak Paris. Tidak London. Tidak Cape Town. Tidak Melbourne. Tidak Brasilia. Tidak pula Taipeh.


-000-


Renungan di atas yang datang ketika pagi itu saya membaca berita: “Jepang diambang kesetaraan pernikahan bagi sesama jenis.”


“Wah,” guman saya. “Ini tambahan negara Asia lain, yang sangat maju teknologinya, segera ikut dalam rombongan negara melegalkan pernikahan sejenis.”


Keriangan yang amat sangat diekspresikan sekelompok pelaku homoseksual, aktivis hak asasi, akademisi dan para praktisi hukum.


Mereka merayakan putusan pengadilan (Sapparo District), 17 maret 2021. Putusan itu menyatakan “Aturan yang melarang pernikahan sejenis itu tidak konstitusional. Aturan itu melanggar pasal 14 konstitusi Jepang.” (3)


Pasal 14 konstitusi Jepang melarang diskriminasi atas warga negara berdasarkan ras, keyakinan, sex, status sosial dan asal keluarga. 


Pengadilan menyatakan karena orientasi seksual bukanlah pilihan, maka aturan hukum harus pula memberikan manfaat bagi mereka pasangan sejenis.


Putusan pengadilan ini masih berlaku di distrik Sapparo. Para aktivis Hak Asasi Manusia sudah meyambut dengan suka cita. Karena putusan pengadilan distrik ini bisa menjadi preseden untuk juga diterapkan bagi seluruh wilayah Jepang.


-000-


Pertanyaannya: mengapa semakin banyak negara yang melegalkan perkawinan sejenis? 


Mengapa melegalkan pernikahan sejenis menjadi gerakan moral baru, yang bahkan didukung oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia, yang diotorisasi Perserikatan Bangsa Bangsa?


Awalnya Belanda di tahun 2001, kini meluas ke semua benua, mulai dari Eropa, Amerika, Australia, Afrika hingga mampir ke Asia.


Jawabannya adalah data. Jawabannya adalah riset. Semakin banyak studi ilmiah yang mendukung perlunya pernikahan sejenis dilegalkan.


Bisa disebut beberapa riset. Pertama riset yang dikutip oleh American Psychological Association (2004). Riset itu menunjukan kondisi psikologis, ketenangan hidup, juga sisi finansial pasangan yang homoseks. Mereka lebih stabil dan lebih nyaman jika mereka diakui oleh hukum. (4)


Riset yang dikutip oleh American Anthropological Association (2004) juga menyimpulkan. Diskriminasi publik atas pasangan gay, bahkan kekerasan atas mereka, semakin menjadi jadi jika pernikahan sesama jenis tak diakui secara hukum. (5)


Riset yang dikutip New Scientist membantah pernyataan bahwa anak anak yang dibesarkan oleh pasangan heteroseksual lebih baik dibandingkan yang tumbuh di kalangan pasangan sejenis (6)


Apalagi riset Julia Raifman dan tim (2017) menyimpulkan diakuinya pernikahan sejenis oleh hukum berasosiasi dengan berkurangnya secara signifikan jumlah anak anak yang ingin bunuh diri, karena mendapati diri mereka berorientasi seksual sesama jenis.


Ibu dari segala riset itu adalah revolusi di tahun 1973- 1990. Saat itu American Psychoatric Association, American Psychological Association, dan National Association of Workers setelah melalui serial riset dan diskusi profesional pada masing masing asosiasi, menyimpulkan. Mereka membuang stigma mental illness terhadap homoseksualitas.


Tiga asosiasi itu menyatakan mereka yang gay, lesbian dan biseksual itu normal belaka. Itu hanya perbedaan orientasi seksual.


Kesimpulan ini kemudian didukung sepenuhnya oleh World Health Organization, di tahun 1977. Secara resmi di tahun 1990, 17 Mei, dalam World Health Assembly ke 43, homoseksualitas dianggap normal belaka.


Terbentuklah konsensus dari hasil riset (scientific research and clinical literature), dunia homoseksualitas, perilaku mereka, perasaan, itu hanyalah variasi dari human seksualitas manusia. (7)


Apalagi riset juga menunjukkan hal yang sama di dunia hewan. Ini dunia yang pasti pelakunya tak bisa memilih. Hewan bergerak berdasarkan  DNA dan genetiknya belaka.


Diketahui sekitar 1500 species hewan juga mempraktekan perilaku homoseksual, di samping heteroseksual (8)


-000-


Kita yang hidup dalam revolusi industri ke empat, di era Google, di era begitu banyak informasi bisa diakses hanya melalui handphone, semakin paham.


Ada dua jenis moralitas. Yaitu moralitas yang dibangun berdasarkan interpretasi agama. Dan moralitas yang dibangun berdasarkan interpretasi riset ilmu pengetahuan.


Kita semakin banyak melihat lahirnya moralitas publik baru yang justru melawan paham konservatisme agama.


Nasionalisme. Feminisme. Hak Asasi Manusia. Dan kini LGBT menjadi moralitas baru. Pendukung moralitas baru ini umumnya kalangan terpelajar, Civil Society, dan pemimpin reformis.


Datangnya paham nasionalisme melawan komunitas sektarian yang dulu dibawa paham konservatif agama. Konsep warga negara yang setara mengganti konsep Umat yang mengunggulkan penganut satu agama saja.


Datangnya feminisme juga melawan ketidak setaraan gender yang dibawa juga oleh paham konservatif agama. Kini kaum feminis melangkah lebih jauh untuk juga menjadi Imam dalam ritual agama.


Datangnya hak asasi manusia juga melawan komunalisme paham agama konservatif.  Bagi hak asasi, adalah hak individu untuk berpindah agama atau tak beragama. Juga untuk menikah dengan yang beda agama.


Datangnya LGBT menjadi contoh terakhir melawan paham konservatif agama. Kini 29 negara yang secara ekonomi, politik, dan teknologi sangat maju pro pada pernikahan sejenis.


Tentu saja mereka yang anti homoseks tetap memiliki tempat dan hak asasi untuk anti. Sebagaimana mereka yang percaya kulit putih lebih superior, lelaki lebih superior, Ras Aria lebih superior, agamaku lebih superior, tetap dan boleh hidup.


Tapi kian lama dan kian hari, gagasan kesetaraan semakin bergelora di ruang publik. Bahwa di balik perbedaan agama, nasionalitas, ras, gender, warna kulit, status ekonomi, paham politik,  bahkan orientasi seksual, mereka adalah homo sapiens yang sama.


Satu homo sapiens. Satu dan setara pula perlindungan hukum untuk mereka. Karena sesama homo sapiens itu, mereka memiliki rasa cinta yang sama, kegelisahan, harapan, kesepian dan air mata yang sama***


Oleh: Denny JA

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI