Pimpinan LPSK Paparkan Tiga Rencana Strategis

| Kamis, 09 September 2021 | 14.05 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Peningkatan kualitas layanan dan peningkatan akses layanan perlindungan saksi dan korban, serta penguatan kelembagaan dan dukungan manajemen organisasi, menjadi tiga hal utama yang disampaikan Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Rapat Kerja dengan Komisi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Selasa (8/9- 2021). 


Ketiga hal tersebut dituangkan dalam strategi besar dan arah kebijakan dari rencana strategis LPSK tahun 2020-2024, yang disampaikan Pimpinan LPSK untuk mendapatkan masukan dan dukungan dari para anggota fraksi di Komisi III DPR RI.

Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menjelaskan, dalam hal kualitas layanan perlindungan saksi dan korban memperlihatkan grafik peningkatan, yang tergambar melalui data survei kepuasan masyarakat, efektifitas saksi dalam menyampaikan kesaksian, pembayaran kompensasi korban, pemberian rehabilitasi psikososial berupa akses pendidikan, renovasi rumah dan permodalan hingga pemberian bantuan media bagi korban yang tidak ditanggung BPJS.

Namun, kata Hasto, LPSK menyoroti hak untuk mendapatkan kompensasi bagi korban dari dua tindak pidana, yaitu pelanggaran HAM yang berat (PHB) dan terorisme. Berdasarkan UU, korban terorisme sudah mendapatkan kompensasi, termasuk korban terorisme yang berasal dari peristiwa sebelum ada UU Perlindungan Saksi dan Korban, sudah dimungkinkan mendapatkan kompensasi. 

“Kondisi berbanding terbalik dengan korban pelanggaran HAM yang berat, yang sampai saat ini belum bisa merasakannya (kompensasi) akibat belum adanya kebijakan pemerintah,” tegas Hasto.

Berangkat dari catatan itu, lanjut Hasto, LPSK menilai perlu adanya penguatan wewenang dengan melakukan perubahan kedua atas UU Perlindungan Saksi dan Korban, antara lain terkait penghargaan, perlindungan dan perlakuan khusus bagi saksi pelaku (justice collaborator/JC) dan pelaksanaan pembayaran restitusi; serta diperlukan pula regulasi di tingkat pemerintah yang dapat segera memungkinkan pemenuhan hak kompensasi bagi korban PHB.

LPSK juga menggarisbawahi perlunya penguatan sumber daya manusia (SDM) mengingat beban kerja staf di LPSK cukup tinggi dengan ilustrasi, satu orang staf menangani 84 orang Terlindung. “Total staf 224 orang dengan 3.000-an Terlindung dalam setahun akan sangat memengaruhi kualitas perlindungan dan pelayanan yang diberikan,” imbuh Hasto.

Hal pentingnya lain dalam konteks peningkatan kualitas layanan perlindungan saksi dan korban yaitu ketersediaan anggaran untuk memberikan perlindungan yang maksimal, yang beririsan dengan ketersediaan sarana dan prasarana. “LPSK merancang Sistem Komando Terpusat yang berbasis teknologi informasi, serta merencanakan pembangunan pusat perlindungan, pemulihan dan pelatihan,” papar Hasto.

Hal kedua, masih menurut Hasto, permohonan perlindungan ke LPSK datang dari seluruh penjuru Indonesia. Namun, LPSK menyadari, keberadaannya saat ini masih tersentralisasi di Pulau Jawa. Atas kesimpulan ini, LPSK memandang perlu memperluas akses dengan membentuk perwakilan di 12 provinsi.

Selain itu, penguatan tata kelola sistem perlindungan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam kerja-kerja perlindungan menjadi keharusan. “Pola perlindungan konvensional, dipandang perlu dikembangkan atau dikombinasikan dengan teknologi informasi dan komunikasi,” tegas dia seraya menambahkan, pihaknya juga tak luput memastikan pemenuhan rehabilitasi psikososial bagi Terlindung dengan membantuk Satuan Tugas Penguatan Partisipasi Masyarakat.

Terakhir, LPSK memandang perlunya penguatan manajemen kelembagaan dan dukungan manajemen organisasi LPSK. Hal itu perlu diwujudkan dalam bentuk penambahan kedeputian pada struktur organisasi lembaga, serta pengembangan kapasitas SDM untuk menunjang pelaksanaan perlindungan saksi dan korban.
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI