Benturan Budaya 100 Tahun Lalu

| Jumat, 19 November 2021 | 13.12 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - “Dimanakah Hanafi harus dikuburkan?” Ia memang seorang pribumi. Asli pribumi. Tapi bukankah Ia sudah menjadi “orang Belanda.” Oleh hukum statusnya ditingkatkan sederajat dengan orang Eropa? Bukankah namanya sudah berganti menjadi Christiaan Han?


Jika ia sudah dianggap orang Belanda, bukan lagi orang pribumi, makamnya harus di sana, di Solok. Ia tak bisa dimakamkan di sini. Ini kuburan untuk pribumi.

Demikianlah Indonesia sekitar 100 tahun lalu. Di era itu tak hanya ada pemisahan pribumi versus asing. Tapi juga ada pemisahan antara pribumi dengan pribumi yang dianggap sudah seperti orang Eropa.

Tak hanya ketika hidup,  komunitas itu dipisah- pisahkan. Bahkan ketika sudah matipun, kuburannya harus dipisah- pisah pula.

Benturan budaya ini direkam oleh Abdul Muis dalam novel yang sangat populer di masa itu: Salah Asuhan. Novel itu diterbitkan Balai Pustaka pertama kali di tahun 1928. Sang penulis, Abdul Muis, memang hidup di era benturan budaya itu.

Ia sendiri mengalami benturam budaya itu dalam bentuk yang berbeda. Di tahun 1913, usia Abdul Muis 27 tahun. Ia bergabung dengan Syarikat Islam. Melalui organisasi ini, Ia berkelana ke banyak daerah. (1)

Enam tahun kemudian, tahun 1919, di Sulawesi Utara, seorang pengawas Belanda dibunuh. Abdul Muis ikut dipersalahkan. Ia sempat berpidato di wilayah itu.

Juga melalui tulisannya di beberapa koran, Abdul Muis dianggap oleh pemerintah Hindia Belanda terlalu lantang memprovokasi. Ia acapkali mengkritik, membangkitkan perlawanan rakyat atas kebijakan kolonial yang tak adil. Terutama soal kerja rodi.

Ujar Abdul Muis, kita harus melawan. Tak ada perubahan jika mereka yang dirugikan hanya berdiam diri. Ini bumi kita. Ini tanah kita. Kita harus bersatu. Bersuara.

Abdul Muis pun dipenjara. Tak ia diduga. Ia hanya ingin bicara soal keadilan. Soal kesejehteraan rakyat pribumi. Ternyata hal ini berujung pada nasibnya dijeblokan ke dalam terali besi.

Tahun1923, Abdul Muis mengunjungi Padang, Sumatra Barat. Di sana, Ia kumpulkan para tetua adat. Ia kumpulkan pemuka masyarakat.

Ujar Abdul Muis, pajak Hindia Belanda memberatkan. Terlalu tinggi pajak ini bagi masyarakat. Bagaimana kita bisa membayar pajak, tapi tetap cukup untuk hidup layak. Kita jangan menerima begitu saja.

Publik di sana bergolak. Pemerintah kolonial turun tangan. Kembali Abdul Muis dikenakan hukuman.  

Kini hukumannya tak nanggung- nanggung. Ia dilarang berpolitik. Padahal politik  panggilan hidupnya saat itu.

Bahkan Abdul Muis diusir dari tanahnya sendiri, Sumatra Barat. Tak habis Ia berpikir. Bagaimana Ia bisa diusir dari tanah tempat Ia dilahirkan?

Abdul Muis dibuang ke tanah Jawa. Ia memilih hidup di Garut. Dalam momen inilah, Abdul Muis menulis novel Salah Asuhan.

Ternyata, bukan kegiatan politiknya, tapi novel hasil renungannya yang membuat nama Abdul Muis panjang dalam ingatan kolektif bangsanya.

-000-

Novel Salah Asuhan mengambil isu yang belum banyak diangkat di zaman itu: benturan budaya penjajah (Belanda, Eropa) dengan budaya pribumi (adat istiadat).

Benturan budaya itu diwakili oleh kisah cinta segitiga. Hanafi, seorang pemuda dengan pendidikan barat, dan orientasi hidup bergaya barat. Rapiah, gadis pribumi yang setia dan menurut suami. Corrie de Bussee gadis Indo Perancis yang tinggal di Solok. Ia mencintai Hanafi.

Namun ada tembok sangat tinggi yang memisahkan cinta dua bangsa yang berbeda. Ujar Corriee, “jika kita nekad menikah, aku akan dijauhi oleh teman teman Eropaku. Dan engkau Hanafi akan ditinggalkan teman- teman pribumimu.”

Ayah Corrie, yang Indo Perancis itu sebenarnya juga menikah dengan wanita pribumi.  “Tapi kasus saya berbeda,” ujar Ayahnya.

“Jika lelaki Eropa yang menikah dengan wanita pribumi, lelaki Eropa itu tetap sebagai tuan. Wanita pribumi posisinya sebagai nyai. Orang Eropa malah memuji dan menyatakan kita sudah memperbaiki hidup dan darah orang pribumi.”

“Tapi jika wanita Eropa menikah dengan lelaki pribumi, akibatnya sangat berbeda. Wanita  Eropa tak bisa lagi merasa dipertuan. Ia dianggap merendahkan kelas orang Eropa. Wanita Eropa akan dihinakan oleh sesama warga Eropa.”

Ini yang menjadi penghalang cinta Hanafi dan Corrie. Akibatnya, Ia terpaksa  menikahi Rapiah. Apalagi Ayah Rapiah, paman Hanafi sendiri, membiayai kuliahnya di Betawi.

Tapi cinta Hanafi bukan pada Rapiah. Ia juga menganggap rendah adat istiadat yang dipegang teguh Rapiah. 

Hanafi hanya inginkan Corrie.  Ia tak hanya benar benar mencintai Corrie. Ia juga mencintai dan menganggap budaya Eropa, budaya yang dimiliki Corrie, itu jauh lebih superior. 

Segala cara  Hanafi lakukan agar dapat menikahi Corrie: ia ceraikan istrinya sesama pribumi yang setia: Rapiah. Ia meminta pengadilan mengubah statusnya menjadi Eropa. Ia ubah namanya menjadi Christiaan Han. Ia menikah dengan Corrie diam- diam.

Tapi jarak budaya Eropa dan pribumi terlalu jauh. Komunitas dua budaya itu tak bisa bercampur. Corrie akhirnya meninggalkan Hanafi. Lama tenggelam dalam kesedihan, Hanafi bunuh diri.

Karakter dan orientasi Hanafi dalam novel ini digambarkan akibat “Salah Asuhan.”

-000-

Forum penulis dan ahli yang diinisiasi oleh Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena sudah menetapkan. Di bulan Oktober 2021, novel Salah Asuhan termasuk dalam daftar 100 Buku Yang Mewarnai Indonesia Sejak Era Kolonial.

Seratus tahun lalu, itulah potret benturan budaya. Cinta terhalangi oleh tembok budaya.

Tapi itu era ketika peradaban modern belum merumuskan Hak Asasi Manusia. Kini 100 tahun kemudian, di tahun 2021, tertera jelas dalam Piagam Hak Asasi Manusia itu.

Pernikahan, memilih jodohnya sendiri, bagi orang dewasa, itu hak setiap individu. Tak boleh ada yang menjadi penghalang: tidak kewarga negaraan, tidak etnik, tidak kasta ataupun tidak pula agama.

Homo Sapiens yang menjadi species semua manusia sudah hadir sejak 200 ribu tahun lalu. Sementara negara bangsa baru lahir paling tua 300 tahun lalu, hanya 0,15 persen saja dari usia homo sapiens.

Agama yang kini hadir juga baru tiba melalui nabinya masin-masing paling tua sekitar 3000 tahun lalu, hanya 1,5 persen saja dari usia homo sapiens.

Kesamaan kita sebagai homo sapiens, yang bisa kesepian, mencintai, jauh lebih tua dan lebih fundamental ketimbang perbedaan kita dalam kebangsaan, kenegaraan, etnik, warna kulit dan agama.

Kata kunci zaman yang beragam bukan benturan budaya, tapi sinerji budaya.***

Oleh: Denny JA


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI