Negara Wajib Bersikap Adil terhadap Hak Rakyat atas Tanah

| Jumat, 24 Desember 2021 | 09.11 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Sebagai manusia dan unsur pokok tegaknya negara, rakyat memiliki hak atas tanah yang melekat di wilayah tempat dia tinggal. Sebab itu, Rais Syuriyah PBNU KH Masdar Farid menegaskan, pemimpin atau negara memiliki kewajiban untuk memberikan tanah kepada warga yang tidak memilikinya sebagai bentuk keadilan. 


“Tidak boleh ada orang yang hidup di bawah kelayakannya. Paling tidak untuk sekadar berteduh dan beristirahat. Negara yang bertanggung jawab. Posisi penguasa harus bisa memastikan semua rakyat yang di bawah kekuasannya mendapat haknya,” papar Kiai Masdar dalam Sidang Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Maudlu’iyah Muktamar ke-34 NU di UIN Raden Intan Lampung,  dilansir dari nu.or.id, Kamis (23/12/2021). 

Mendasari penjelasannya, Kiai Masdar mengutip salah satu hadits Nabi yang artinya, "Sultan atau penguasa adalah peneduh milik Allah di bumi. Sehingga siapapun orang yang lemah dapat berlindung kepadanya dan siapapun yang teraniaya dapat menang dengan kekuatanya."

Senada, Sekretraris Sidang Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Maudlu’iyah KH Mahbub Maafi memaparkan, kebutuhan terhadap tanah adalah kebutuhan fundamental dan universal. Artinya, semua orang memiliki hak atas tanah, baik sebagai tempat tinggal, tempat usaha, tempat peribadatan, sarana aktualisasi diri, sarana perhubungan dan sebagainya.

Oleh karenanya, lanjut Kiai Mahbub, bagi masyarakat, tanah memiliki multi makna dan fungsi. Ada beberapa fungsi tanah antara lain adalah sebagai berikut: 

Pertama, fungsi ekonomi, karena tanah merupakan sumber kehidupan dan penghidupan. Kedua, fungsi politik, karena tanah adalah komponen inti dan wilayah kekuasaan.
 
Ketiga, fungsi sosial, karena di atas tanah, tinggal satu kelompok manusia dengan bermacam-macam struktur kepentingannya. Keempat, fungsi yuridis, karena penggunaan dan pemilikan tanah memerlukan pengaturan hukum. 

Kelima, fungsi psikologis, karena tanah mempunyai ikatan kebatinan dan kesejarahan dengan masyarakat penghuninya. 

“Dengan demikian, tanah sebagai faktor primer dalam kehidupan, bukan saja bersentuhan secara eksistensial dengan hak-hak ekonomi seseorang akan tetapi sekaligus juga hak-hak sipil, bahkan pada tingkat tertentu menjadi landasan untuk pemenuhan hak-hak politiknya,” ujar Kiai Mahbub. 

Kendati demikian, lanjut Kiai Mahbub, dalam persoalan tanah, masih terjadi ketimpangan yang luar biasa. Karena ada pihak (korporasi) yang mendapatkan hak pengelolaan lahan yang sangat luas dan dapat diperpanjang sehingga total sampai 95 tahun.
 
Mirisnya lagi adanya pihak-pihak tertentu yang menguasai tanah yang begitu luas, tetapi tanah tersebut ditelantarkan dalam rentang waktu yang cukup lama. 

Kiai Mahbub juga menyayangkan, masih banyak warga negara yang tak memiliki tanah meski sekadar untuk menopang kehidupannya. Belum lagi banyaknya kasus-kasus pertanahan di negeri kita yang korbannya adalah kalangan nahdliyin, seperti kasus di Kendal Jawa Tengah dan daerah-daerah lainnya. 
 
Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah dipimpin oleh KH Abdul Moqsith Ghazali dan dihadiri oleh Rais Syuriyah PBNU, KH Afifuddin Muhajir serta Ketua PP Muslimat NU, Hj Yenny Wahid. Pada Muktamar ke-34 NU, KH Afifuddin juga menciptakan Qasidah Muktamar NU yang menjadi lagu resmi Muktamar.


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI