Menghayati Dunia Spiritual Lebih Bahagia

| Senin, 18 April 2022 | 13.15 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - “Agama semakin merosot, dan semakin ditinggalkan di negara makmur.” Ini kesimpulan  provokatif dari buku riset yang ditulis Ronald Inglehart (2020).


Inglehart menerbitkan buku yang penuh dengan data dari banyak negara.  Judul bukunya: Religion’s Sudden Decline.  (1)

Ia menyatakan dan menganalisis soal merosotnya pemeluk agama secara mencolok di negara makmur. Data yang digunakan periode 2007-2020.

-000-

Respon cepat saya atas buku Inglehart itu: agama tak merosot. Ia hanya berubah bentuk !

Pandangan saya itu karena tak ingin membatasi data hanya pada periode  2007-2020. 

Up and down, turun naik soal agama selalu terjadi di berbagai zaman. Saya menggunakan periode yang jauh lebih panjang: sejarah homo sapiens. Itu era sejak manusia bisa menciptakan fiksi, minimal 70 ribu tahun lalu hingga kini.

Agama juga tak hanya dibatasi dengan agama yang  berjaya di era kini. Hindu, Budha, Zoroaster, Judaisme, Kristen, Islam, baru hadir dalam sejarah sejak 3000 tahun lalu.  Menggunakan jejak arkeologis, homo sapiens sudah hadir sejak 300 ribu tahun lalu.

Itu artinya, agama yang berjaya di masa kini baru hadir  untuk periode 1 persen saja dalam sejarah homo sapiens (3000 tahun dari 300 ribu tahun).

Padahal sebelum itu, sudah hadir apa yang juga bisa dilabel sebagai agama. Saya mengartikan agama sebagai sistem narasi  yang terorganisir, dengan hirarkhi otoritas, yang dikembangkan homo sapiens sejak muncul kebutuhan eksistensial mencari meaning of life.

Maka sepanjang sejarah homo sapiens, agama tak pernah hilang, merosot, naik atau turun. Agama hanya berubah- ubah bentuk saja.

-000-

“Lilin tak akan menyala tanpa api. Dan manusia tak akan menyala tanpa dunia spiritual.”

Ini renungan dari Buddha,  Siddhartha Gautama. Apa itu dunia spiritual yang begitu sentral posisinya bagi manusia? 

Saya mengartikan dunia spiritual  lebih luas dibandingkan agama. Dunia spiritual untuk semua sistem nilai mencari meaning of life. Sedangkan agama untuk sistem spiritual yang lebih terorganisir, yang hadir jenjang hirarki otoritas. Spiritualitas lebih luas, tapi juga mencakup dunia agama.

Kristen, Hindu, Islam,  Budha, adalah contoh dari agama. Dalam agama itu, ada hirarkhi otoritas dan komunitasnya lebih terorganisir.

Tapi gerakan meditasi mindfullness, atau penghayat pantheisme itu bagian dunia spiritual.  Tak ada hirarkhi  otoritas dan tak ada organisasi yang ketat dalam contoh spiritualitas itu.

Begitu sentral pentingnya meaning of life, sehingga manusia hampir mustahil bisa hidup bahagia tanpa menemukan meaning of life.

Dengan demikian, bisa saja manusia itu keluar atau meninggalkan agama-agama konvensional. Tapi kebutuhan eksistensialnya terhadap meaning of life membuatnya menciptakan agama-agama baru. Atau mereka menciptakan komunitas spiritual yang baru, sesuai dengan spirit zamannya.

-000-

Kita mulai dengan mengupas intisari buku Inglehart, berjudul "Religion's Sudden Decline: What's Causing it, and What Comes Next?".  Sang pengarang,  Ronald F. Inglehart baru saja wafat, tahun 2021. 

Saya sempat menyaksikan wawancara terakhir Inglehart mengenai bukunya, beberapa bulan sebelum ia wafat.


Inglehart sendiri pernah menjadi Direktur dari World Values Survey. Ini merupakan lembaga yang mengumpulkan data-data dari sekitar 100 negara yang menghimpun 90 persen populasi dunia.


Buku "Religion's Sudden Decline: What's Causing it, and What Comes Next?" merupakan buku yang juga penuh dengan data-data survei. Kesimpulannya berdasarkan data-data survei, kadang dari 49 negara. Kadang datanya  lebih luas lagi dari 90 persen populasi dunia.

Data pertama yang diambil dari buku itu mengatakan di negara makmur, semakin banyak populasi yang tidak percaya Tuhan. Ada beberapa kategori yang dibuat oleh Inglehart mengenai data ini.

Di negara-negara muslim, presentase mereka yang tidak percaya Tuhan hanya 2 persen. Sementara di negara yang penghasilannya middle dan low income, yang tidak percaya Tuhan 12 persen. 

Tapi di negara-negara yang berdasarkan pada ajaran Konghucu, yang jarang bicara Tuhan, yang tidak percaya Tuhan itu majority 53 persen.

Lalu di negara-negara yang income-nya makmur, lebih tinggi lagi. Di negara-negara itu, yang tidak percaya Tuhan 31 persen. 

Puncak negara Barat adalah negara-negara Skandinavia atau Nordic countries. Ada Finlandia, Denmark, Swedia dan Norwegia di dalamnya. Ini negara-negara yang 50 persen penduduknya semakin tidak menganggap Tuhan penting dan tidak percaya Tuhan dalam hidupnya.


Data kedua, juga di negara-negara makmur, semakin sedikit yang percaya dunia akhirat. Semakin kecil yang meyakini narasi surga dan neraka seperti yang kita dengar sejak masa kanak-kanak.

Memang pada masyarakat muslim yang tidak percaya kepada kehidupan akhirat hanya 15 persen. Tapi di negara-negara yang makmur, yang income-nya tinggi, yang tidak percaya dunia akhirat itu 48 persen. 

Sedangkan di Nordic countries, yang tidak percaya kehidupan akhirat merupakan majority, di atas 56 persen.

Data ketiga, juga  di negara makmur, semakin banyak yang tidak lagi nyaman dengan institusi agama. Mereka yang confidence in Churches or religious institutions, yang menyatakan mereka percaya pada institusi kegamaan, di negara-negara yang income-nya tinggi hanya 10 persen. 

Sementara di Nordic countries yang percaya kepada lembaga agama tinggal 8 persen saja.


-000-

Inglehart dalam buku itu juga menjelaskan terjadinya culture shift. Ini periode waktu perubahan sikap atas agama.

Pada periode  tahun 1981 hingga 2007, justru negara-negara bertambah religius. Tapi pada periode tahun 2007 sampai 2020, negara-negara semakin tidak religius. Pada periode 2007-2020, sekulerisasi terjadi semakin cepat. 

Di buku ini, Inglehart juga menyatakan. Dulu, Amerika Serikat menjadi satu-satunya pengecualian. Ketika di negara yang makmur,  agama tak lagi diyakini, tapi di Amerika Serikat, agama  tetap sangat kokoh diyakini publik. 

Namun kemudian pada periode 2007-2020, di Amerika Serikat pun agama merosot.

Tegas  kesimpulannya, agama merosot di  negara-negara dengan kemakmuran yang tinggi, high income countries, termasuk di Amerika  Serikat.

Apa definisi income yang tinggi? World Bank mendefinisikannya sebagai negara yang penghasilan GDP per kapitanya 12.696 USD. Itu setara dengan  Rp180 juta per tahun. 

Kita bisa bandingkan dengan Indonesia, misalnya. Indonesia sekarang rata-rata income GDP per kapita baru 3.869 USD. Sedangkan negara-negara makmur penghasilannya 3,5 kali lipat dibandingkan penghasilan rata rata penduduk Indonesia.

Ketika negara  makmur, maka kemajuan  ekonomi juga menyebabkan perubahan nilai-nilai yang membuat agama konvensional semakin ditinggalkan.

-000-

Mengapa  agama merosot di negara makmur? Apa penyebab agama merosot?

Inglehart memberikan dua alasan penting. Pertama, pada negara-negara high income, terjadi perubahan norma dan nilai dari yang disebut Pro Fertility norma kepada Pro Individual Choice norma.

Kemakmuran ekonomi membawa kepada satu lifestyle yang berbeda. Lifestyle baru ini lebih sesuai dengan yang disebut Pro Individual Choice.

Individu semakin bebas memilih lifestyle-nya. Termasuk seperti pro kepada LGBT. Dan juga pro kepada kehidupan tanpa menikah. Atau juga pro kepada kehidupan yang tidak lagi ingin memiliki anak.

Nilai- nilai individu dan human rights seperti itu tidak lagi kompatibel dan tidak lagi sesuai dengan agama-agama konvensional. Karena itu pula, pada negara-negara makmur ini, nilai-nilai yang diajarkan agama-agama konvensional semakin tidak fungsional dan semakin kehilangan bentuknya. 

Penyebab kedua menurut Inglehart, pada negara-negara makmur juga berkembang welfare state: negara kesejahteraan.

Melalui welfare state, jaminan kepada keamanan ekonomi warga negara itu tinggi. Tingkat kecemasan juga bisa dikurangi, karena negara menyediakan sistem jaringan safety net yang dapat membuat kehidupan ekonomi menjadi lebih nyaman.

Ada jaminan kesehatan, jaminan pendidikan. Bahkan juga ada jaminan bagi pengangguran, single parent, dan lain sebagainya. Setiap negara makmur mengembangkan detail program yang berbeda. Tapi efeknya sama, membuat warga negara lebih nyaman.

Pada negara-negara yang welfare state-nya sudah tinggi, tercipta pula pemerintahan yang bersih. Juga tercipta interpersonal trust yang kuat.

Rasa nyaman manusia akibat jaminan negara welfare state membuat manusia tak lagi bertumpu pada alam gaib yang diajarkan agama.

Walaupun agama merosot di sana, hidup yang bermakna lebih banyak diperoleh dari sumber-sumber non agama.


Kemudian muncul begitu banyak cara pandang baru, riset-riset baru mengenai happiness, mengenai hidup bermakna di luar agama. Itu pula yang menambah merosotnya agama pada negara-negara yang makmur.

-000-


Saya juga menulis dua buku dengan topik yang sama. Keduanya juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. 

Buku pertama mengenai fakta-fakta baru di era Google yang menyebabkan berubahnya persepsi terhadap agama. Yaitu dari  agama yang awalnya dianggap kebenaran mutlak menjadi agama yang kemudian dipandang hanya sebagai kekayaan kultural milik bersama. 

Buku pertama ini berjudul "Evolving Perceptions of Religion". (2)

Buku lainnya yang juga saya tulis adalah "The Spirituality of Happiness". Ini buku mengeksplor jalan ilmu pengetahuan, mencari satu pola untuk mendapatkan hidup bahagia tapi berdasarkan riset-riset positive psychology dan neurosains. (3)

Melalui dua buku ini saya juga ingin memperkaya pandangan-pandangan yang dinyatakan oleh Inglehart.


Ini tambahan lain yang tidak terlalu dibahas di buku Inglehart, tapi dibahas dalam dua buku saya itu.

Yang juga menyebabkan merosotnya agama adalah meluasnya studi-studi mengenai Biblical Archaeology yang mencoba menelusuri kebenaran kisah-kisah nabi berdasarkan satu metode arkeologi.

Di sini para arkeolog, misalnya, menyimpulkan bahwa kisah-kisah Nabi Musa, kisah-kisah Nabi Nuh, setelah diteliti ternyata bukanlah tokoh sejarah. Itu adalah tokoh yang diciptakan dalam rangka pengajaran moral. 

Tak ada bukti bahwa Nabi Nuh pernah hidup seperti yang diceritakan. Riset arkeologis menyatakan mustahil ada banjir bandang yang bisa menenggelamkan bumi, termasuk menenggelamkan, misalnya, Gunung  Himalaya. 

Jumlah air di alam semesta ini tidak cukup utuk menenggelamkan Himalaya.

Hal yang sama juga terjadi dengan Nabi Musa. Ditelusuri oleh banyak arkeolog. Eksodus massal seperti kisah Nabi Musa  itu tidak benar- benar terjadi dalam sejarah. 

Kisah laut yang terbelah itu tidak benar-benar ada pula dalam sejarah. 

Semua itu dikisahkan lebih sebagai pengajaran moral belaka, bukan fakta sejarah.

Riset-riset arkeologi ini di era Google begitu mudah diakses. Itu juga membuat manusia dan penganut banyak agama melakukan tafsir ulang mengenai kisah-kisah yang dikisahkan dalam kitab-kitab suci. 

Ini pun turut menyebabkan merosotnya keyakinan kepada agama-agama konvensional.

Hal lain lagi yang juga menambah alasan merosotnya banyak agama besar karena kini sudah hadir lebih dari 4.200 agama- agama yang lebih kecil di seluruh dunia.

Sudah begitu banyak agama yang hadir dan setiap agama juga memiliki konsep Tuhannya masing-masing. 

Sehingga hadir juga di sini 4.200 konsep Tuhan, 4.200 konsep dunia akhirat.

Juga kini hadir  the science of happiness sebagai alternatif pencarian meaning of life.


Ini juga hal yang membuat semakin merosotnya agama-agama konvensional, terutama pada penduduk yang makmur. Mereka yang makmur acapkali adalah juga mereka yang tinggi kapasitasnya dalam mencari informasi.

Hal lain lagi yang membuat mengapa agama tambah merosot adalah data negara yang berhasil untuk banyak ukuran dan indeks.

Data menunjukkan, top 10 negara yang paling bahagia, yang paling bebas korupsi, yang paling tinggi human development index-nya, ternyata majority publik tidak lagi menganggap agama penting.

Kita menyaksikan apa yang ada di negara, terutama di Nordic countries. Negara-negara ini yang dihitung berdasarkan indeks World Happines adalah negara yang paling bahagia. 

Di tahun 2022, Finlandia kembali terpilih sebagai negara paling bahagia di dunia. Tapi di sana, agama dianggap tidak terlalu penting.


Publik  menyaksikan data yang sangat masif bahwa pada masayarakat yang tidak lagi menganggap agama itu penting, justu di masyarakat itu, mereka sangat bahagia. Mereka juga bersih dari korupsi.  Indeks  pembangunan manusianya juga tinggi.

Begitulah data mutakhir yang ada. Memang terjadi satu culture shift, perubahan nilai dan persepsi terhadap agama konvensional.

-000-

Namun, hal ini juga perlu kita tekankan. Kesimpulan ini juga ditulis di bukunya Inglehart.

Ada temuan penting bahwa dalam kondisi negara yang sama, mereka yang beragama justru lebih bahagia daripada mereka yang tidak beragama.

Di negara yang income-nya rendah, mereka yang beragama lebih bahagia. Di negara yang income-nya menengah, mereka yang beragama juga lebih bahagia. Begitu pun di negara yang income-nya tinggi, mereka yang beragama juga lebih bahagia.

Di semua tingkatan level ekonomi sebuah negara, rata rata mereka yang menjalani agama lebih bahagia dibandingkan mereka yang tidak menjalani agama di negara itu!  Ini temuan yang sangat, sangat, sangat penting!

Fungsi agama lebih spesifik di sini. Fungsi agama di zaman modern tidak lagi dijadikan sebagai satu epistemic knowledge, atau satu pandangan yang faktual dan ilmiah. 

Agama tetap berfungsi tapi berubah bentuk sebagai sitem narasi yang memberikan kebahagiaan saja. 

-000-

Apa yang datang berikutnya setelah agama konvensional merosot di negara makmur?

Seperti yang  dikatakan Buddha yang saya kutip di awal. Kebutuhan  manusia pada dunia spiritual yang memberikan meaning of life itu tak pernah hilang. 

Kebutuhan itu tetap eksistensial. Ia tetap sentral.

What next setelah agama konvensional merosot di negara makmur?

Ada tendensi Christmas juga dirayakan oleh mereka yang bukan Kristen. Christmas juga dirayakan oleh mereka yang tidak percaya pada Yesus. Tidak  percaya Yesus anak Tuhan. Tak percaya Yesus lahir  dari Maria yang perawan. Tapi toh mereka tetap merayakan Christmas.

Karena yang terjadi ketika agama merosot,  muncul tafsir baru mengenai agama. Muncul juga cara pandang baru mengenai agama.

Agama sekarang ini tidak lagi dilihat sebagai satu sistem faktual yang ilmiah yang benar secara mutlak. Tapi ia dilihat lebih sebagai kekayaan kultural yang memberikan satu meaning of life.

Christmas pun dirayakan oleh mereka yang non-Kristen dan Ramadan pun dirayakan oleh mereka yang non-muslim. Berbagai perayaan agama Hindu pun juga ikut dinikmati oleh mereka yang bukan Hindu.

Jadi what's next setelah agama bergeser? Terjadi perubahan dalam cara kita memahami agama. Agama konvensional tidak merosot, tapi hanya berubah bentuk saja.

Cara  kita memahami agama sudah berbeda. Agama tidak lagi dilihat sebagai kebenaran mutlak, tapi dilihat sebagai kekayaan kultural milik bersama.

Ke depan, inilah yang akan terjadi, bahwa kebutuhan kepada dunia spiritual itu tetap hadir dan tetap kuat. Namun nantinya hal itu lebih banyak diisi oleh agama-agama yang ditafsir ulang.

Kebutuhan meaning of life juga diisi oleh riset-riset positive psychology dan neurosains. Pendekatan ini lebih mencari meaning of life dan happiness dengan metode-metode ilmu pengetahuan.

Agama tak merosot, hanya berubah bentuk. Manusia berubah memandangnya. Agama tetap hadir tapi tak lagi sebagai kebenaran faktual, namun sebagai inspirasi dan kisah- kisah kiasan untuk meaning of life. 

Fakta menunjukkan bahwa mereka yang menghayati dunia spiritual, ternyata lebih bahagia. (4) Bukankah kebahagiaan adalah hal yang sangat eksistensial dalam hidup manusia?****

Oleh: Denny JA


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI