Syafii Maarif Dan Isu Perbudakan Spiritual

| Senin, 30 Mei 2022 | 12.44 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - "Bagi saya mendewa-dewakan mereka yang mengaku keturunan Nabi adalah bentuk perbudakan spiritual. Bung

Karno puluhan tahun yang lalu
sudah mengeritik keras
fenomena yang tidak sehat ini"

Teks ini yang langsung teringat ketika hari ini saya mendengar wafatnya Syafii Maarif. Teks ini dituliskan di akun twitternya sendiri, di @SerambiBuya, tanggal 21/11/2020.

Syafii Maarif sangat kritis dengan kesan diagung- agungkannya seorang tokoh hanya karena isu ia dianggap keturunan Nabi Muhammad. Apalagi jika yang diisukan keturunan Nabi itu tidaklah mengesankan ulama yang pro cara berpikir modern.

Mengagungkan seseorang karena isu keturunan Nabi dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang progresif. Dalam Islam, semua orang pada dasarnya setara belaka. Hanya ketakwaannya yang membedakan, bukan asal usulnya.

Tak ada jaminan seorang keturunan Nabi, Raja, Guru Suci,  atau keturunan Presiden, Konglomerat, lebih bertakwa dibandingkan individu lain. Lalu apa faedahnya mengagung- agungkan seseorang karena keturunannya?

Dalam kesempatan lain, Syafii Maarif juga cukup keras. Ujarnya, banyak dari kita yang tak bisa dan tak mau membedakan. Yang mana ajaran Islam, dan yang mana budaya Arab.

Celakanya, sambung Buya Syafii, ada budaya Arab yang sudah rongsokan, yang sudah jatuh, justru kita banggakan di Indonesia. Budaya rongsokan itu kita agung- agungkan. Munculah itu aneka radikalisme. ISIS adalah puncak warisan rongsokan budaya Arab. (1)

Hari ini, cendikiawan muslim, yang sangat keras melawan politisasi agama, yang acap disebut guru bangsa itu sudah tiada.

-000-

Di tahun 2017,  beredar foto yang viral di media sosial. Nampak seorang pria di usia senja sedang duduk di stasiun kereta . Sendiri  saja.  Pria itu bersama banyak orang di sana, sedang menunggu datangnya kereta. Yang ditunggu adalah KRL jurusan Jakarta menuju Bogor. 

Ternyata pria itu Buya Syafii Maarif.  Foto itu diambil saat Ia akan Pergi ke acara peluncuran Program Penguatan Pendidikan Pancasila. Ini acara yang akan dihadiri dan diresmikan Presiden Joko Widodo, Sabtu, 12 Agustus 2017.

Tenang dan enteng saja, Buya Syafii  merespon soal foto viral itu. Ujarnya, “Saya memang orang kampung. Bagi saya sudah biasa berjalan kaki atau bersepeda puluhan kilometer.  Naik ojek atau naik kereta api bersama rakyat banyak itu memang dunia saya.”

Buya Syafii nyaman- nyaman saja, di usia yang menua sekalipun, pergi ke mana-mana tanpa ada yang menenami.  Ujarnya, saya juga tak punya beban pergi ke suatu tempat dengan angkutan umum. 

Ujar Buya Syafii, ia berpikir  praktis saja. Jika ia naik kereta, itu semata untuk efisiensi. Kalau ke Bogor lewat puncak kan bisa kena macet. Naik kereta, ia tak  kena macet.

Si Anak Kampung. Itu justru sebutan yang Buya Syafii  sukai soal dirinya.  Si Anak Kampung lalu menjadi judul novel yang ditulis oleh Damiem Dematra, karena terinspirasi oleh kisah hidup Buya Syafii.

Sebagai anak kampung, Buya Syafii acap kesulitan ekonomi. Beberapa kali sekolahnya tertunda karena tak memiliki biaya. Ia pernah menjadi buruh, atau guru, untuk menyambung hidup. Itu pekerjaan yang saat itu ada.

Kesulitan ekonomi, hidup yang sederhana, ternyata justu ikut menempanya  memiliki karakter yang keras, berani dan peduli pada rakyat kecil.

-000-

Itu peristiwa sekitar tahun 2018. Saya tiba- tiba mendapat telefon, dari nomor yang tak ada nama dalam daftar saya. Ternyata itu dari Buya Syafii. Saya tak menyimpan nomor hanphone yang digunakan Buya Syafii Maarif.

Buya Syafii mengucapkan selamat atas pelatihan Pancasila yang saya selenggarakan di 34 provinsi. Pendidikan politik yang saya buat itu luas diberitakan karena memecahkan rekor dunia. Itu pendidikan politik terbesar Guieness Book of World Record.

Buya menyampaikan pesan yang kuat. “Apapun yang adinda lakukan, lakukan dalam kerangka Keindonesiaan. Dinda membantu calon presiden untuk menang. Atau dinda mengkritik penguasa yang zalim, kerjakan itu dalam kerangka keindonesiaan.”

Hingga hari ini, ujar Buya Syafii, memang Pancasila berharga untuk disebarkan, untuk merekatkan kita selaku bangsa yang beragam.

Sambil bercanda, saat itu saya menjawab: “Siaaap komandan.” Ia tertawa.

Selamat jalan Syafii Maarif. Selamat jalan Buya. Selamat jalan Guruku.***

Oleh: Denny JA
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI