Penyair Sebagai Pemimpin Spiritual Sebuah Bangsa

| Senin, 26 Juni 2023 | 02.12 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Merenungkan Sutardji Calzoum Bachry, saya teringat kutipan dari Johann Wolfgang von Goethe, penyair besar dan negarawan Jerman, 1749-1832.


Menurut Goethe, “Penyair itu pemimpin spiritual sebuah bangsa. Ia menjadi cermin batin terdalam komunitasnya.

Tahun 1981, empat puluh dua tahun yang lalu, itu tahun pertama saya menjadi mahasiswa. Saat itulah saya berkenalan dengan puisi Sutardji Calzoum Bachry.

Saya masih ingat momen itu. Di beranda mesjid Salemba UI, saya mengulang- ulang membaca puisi Sutardji berjudul KUCING. Puisi itu ditulisnya di tahun 1973.

Sebagian bait itu saya hafal luar kepala.

“Berapa Tuhan yang  kalian punya?
𝘉𝘦𝘳𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘵𝘶, 𝘴𝘦𝘬𝘦𝘥𝘢𝘳 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘢𝘴 𝘬𝘶𝘤𝘪𝘯𝘨𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪.”

“𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘈𝘧𝘳𝘪𝘬𝘢,
𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘈𝘮𝘢𝘻𝘰𝘯,
𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘙𝘪𝘢𝘶,
𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘬𝘰𝘵𝘢-𝘬𝘰𝘵𝘢,
𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘯𝘢.
𝘓𝘶𝘮𝘢𝘺𝘢𝘯,
𝘒𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘢𝘨𝘪
𝘚𝘦𝘬𝘦𝘳𝘢𝘵 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘬𝘢𝘶,
𝘚𝘦𝘬𝘦𝘳𝘢𝘵 untuk aku.

Saya juga teringat puisinya, berjudul Walau. Ini ia tulis di tahun 1979.

“Dulu pernah kuminta Tuhan dalam diri.
Sekarang tak.”

“Kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat, bagai pasir tamat.”

“Jiwa membumbung dalam baris sajak.
Tujuh puncak membilang bilang.”

“Nyeri hari mengucap ucap,
di butir pasir kutulis rindu rindu.”

“Walau huruf habislah sudah,
alifbataku belum sebatas Allah.”

-000-

Di tahun itu, saya menjadi ketua mahasiswa angkatan 81 Universitas Indonesia untuk Fakultas Teknik. Intensitas kegiatan agama di kalangan mahasiswa sangat tinggi. Ini terutama akibat Revolusi Islam di Iran yang dibawa Khomeini tahun 1979.

Slogan dan pernyataan soal prinsip agama Islam agar semakin hadir di ruang publik sangat sering diwacanakan.

Saya pribadi, yang saat itu banyak membaca filsafat dan sastra, agak kurang nyaman dengan pemahaman agama yang formalistik dan literal.

Puisi Sutardji saat itu mengisi kebutuhan batin saya. Kerinduan akan sentuhan Tuhan yang mendalam terasa dalam puisi Sutardji. Tapi ia mengekspresikan kerinduan religius itu dengan pola yang tak biasa.

Berdasarkan data riset, mereka yang menganggap agama penting dan sangat penting dalam hidupnya di Indonesia sangatlah banyak, di atas 90 persen.

Agama menggores batin kita sangat dalam. Sutardji sebagai penyair mengekspresikan batin dirinya, juga batin Indonesia.

Tapi sebagai sastrawan, sebagai penyair, ia mengekspresikan batin agama itu berbeda dibandingkan yang disampaikan oleh para kiai, dai dan ustad di mesjid. Berbeda pula dengan cara seorang akademisi dan intelektual dalam menyatakannya.

Bahasa puisi membuat Sutardji dapat mengekspresikannya secara lebih urakan, tak biasa, out of the box. 

Namun justru ekspresi tak biasa itu membuat renungan religiusnya memiliki tempat sendiri yang berbeda  dalam memori kita.

Selamat untuk Sutardji Calzoum Bachry yang mendapatkan Anugrah Sastra 2023, sekaligus perayaan Ulang Tahunnya yang ke-82.

Saya Denny JA, selaku Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena menempatkan Sutardji sesuai dengan sebuah ungkapan. 

Bahwa Bangsa yang besar adalah bangsa yang juga melahirkan penulis besar.

Sutardji tak dipungkiri adalah salah satu penulis  besar dalam sejarah Indonesia.***

Oleh: Denny JA


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI