Bernasindonesia.com - Mengapa setelah putusan Mahkamah Konstitusi elektabilitas Ganjar dan Mahfud justru tajam melorot?
Padahal kubu dari pasangan ini, poros dari simpatisan Ganjar dan Mahfud begitu intensnya, begitu kerasnya mengritik soal dinasti politik.
Mereka militan menyoroti isu nepotisme pemerintah Jokowi, juga soal demokrasi yang mendung. Itu semua isu yang sangat populer di kalangan penggiat demokrasi.
Bagaimana kita menjelaskan dua peristiwa ini? Marilah kita mulai dengan mengutip berita dan data. Di bawah ini contoh judul berita yang beredar.
Misalnya: “TPN Ganjar- Mahfud menyatakan kami berminggu-minggu rasakan demokrasi yang mendung.” Judul berita lain: “TPN Ganjar- Mahfud Sindir Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi: Demokrasi Berkabung.”
Lain lagi judulnya: “Pidato Ganjar Soal Drakor Pemilu Singgung KKN Rezim Jokowi.” Banyak lagi variasi judul di media konvensional ataupun media sosial soal kritik keras kepada Jokowi, Gibran dan Prabowo.
Tapi apa yang terjadi dengan perubahan dukungan pemilih di lapangan? Ini adalah hasil survei setelah putusan Mahkamah Konstitusi dari lima lembaga survei.
Yaitu indikatur politik Poltracking, Populi Center, indoBarometer dan juga LSI Denny JA. Khusus LSI Denny JA, survei tengah November ini belum dipublikasi ketika video ini dibuat.
Hasil survei kelima Lembaga ini menunjukkan kecenderungan yang sama. Yaitu merosotnya dukungan Ganjar dan Mahfud.
Survei LSI Denny JA sendiri, yang dikerjakan setelah putusan MK, yang baru saja selesai pertengahan November ini, menunjukkan bahwa Ganjar dan Mahfud merosot dari 35,3% (Okt 2024) menjadi 28,6% (Tengah Nov 2023).
Ini salah satu tingkat elektabilitas terendah yang dialami Ganjar Prabowo. LSI Denny JA sudah melakukan survei setiap bulan sejak bulan Maret 2023. Tak pernah dukungan Ganjar sekecil ini di bawah 30%, setelah sempat naik di angka di atas 35%.
Apakah gerangan sebabnya? Banyak variabel yang mungkin. Itu dua penyebab yang perlu kita perhatikan.
Pertama adalah the Politics of numbers. Jumlah pemilih di Pilpres 2024 kini banyak sekali, sekitar 204,8 juta pemilih. Jika sebuah manuver hanya bisa mengubah 500.000 pemilih, ia baru mengubah 0,25% elektabilitas saja. Itu manuver yang sangat tidak signifikan!
Isu demokrasi yang mendung, isu mengenai dinasi politik, dalam kenyataannya ternyata hanyalah menyentuh hati sebagian kecil kalangan terbelajar, aktivis dan lain-lain, yang jumlahnya di bawah 500.000 pemilih saja.
Penting atau tidaknya sebuah isu adalah satu hal. Tapi apakah isu itu diyakini publik untuk menurunkan tingkat kepuasan pada Jokowi, dan elektabilitas Gibran (dan Prabowo), itu hal yang berbeda.
Kedua, juga jangan dilupakan. Pendukung Jokowi itu adalah sumber dari sebagian besar pendukung Ganjar. Ketika kubu Ganjar mengeritik Jokowi yang terjadi adalah pendukung Jokowi itu pergi dari Ganjar.
Akibatnya dukungan kepada Ganjar justru merosot. ibaratnya, kubu atau simpatisan Ganjar menggunakan pisau tajam (Jokowi) untuk menusuk dirinya sendiri.
Kenyataan ini membuka mata kita. Bahwa hukum besi politik elektoral bisa berbeda dengan dugaan atau common sense orang awam.
Banyak yang mengira dengan mengeritik Jokowi keras sekali maka dukungan ke Gibran (Prabowo) akan merosot. Yang terjadi, dukungan pada Ganjar- Mahfud yang merosot. Pada kesempatan lain akan ditunjukkan dukungan pada Prabowo- Gibran justru menaik.
Realisme politik di lapangan, politik elektoral di keseluruhan perilaku pemilih bekerja dengan cara yang berbeda! ***
Oleh: Denny JA