Bernasindonesia.com - Memberhentikan Jokowi dari jabatannya sebagai presiden Indonesia, memakzulkan-nya, adalah hal yang sangat, sangat, dan sangat sulit untuk realitas politik Indonesia saat ini. Kata “sangat”-nya tiga kali.
Yang lebih penting lagi, ini jika dikerjakan akan buruk untuk prinsip demokrasi di Indonesia.
Itu respon cepat kita ketika membaca tiga berita. Pertama, berita di awal Januari Minggu kedua tahun 2024. Bahwa hadir petisi 100 Tokoh, yang ingin memakzulkan Jokowi.
Di dalamnya, terdapat nama seperti Amien Rais. Di sana juga ada beberapa purnawirawan Jenderal. Mereka secara serius ingin mengajukan pemakzulan Jokowi.
Sebelumnya, berita dari Metro TV newsroom. Seorang tokoh lembaga survei, juga tokoh demokrasi, Saiful Mujani sebut Jokowi harus dimakzulkan jika ingin pemilu berintegritas.
Sebelumnya lagi, juga tokoh lembaga survei, dan aktivis demokrasi: Eep Saefulloh Fatah membuka data pemenangan Pilpres 2024, hingga potensi pemakzulan Jokowi.
Mengapa kita katakan sulit bahkan ilusi, hanya ada dalam imajinasi liar saja, jika mereka ingin berhasil memakzulkan Jokowi, memberhentikan Jokowi dari jabatan presiden?
Ada empat alasannya. Tiga alasan berhubungan dengan realitas politik. Satu alasan lainnya langsung ke jantung prinsip demokrasi.
Pertama, saat ini Jokowi sangatlah populer. Approval rating Jokowi sejak bulan Juni 2023 hingga Januari 2024 berkisar 75% hingga 82%. Survei LSI Denny JA yang mutakhir di bulan Januari 2024, approval rating Jokowi, tingkat kepuasan publik pada Jokowi, di angka 81,8%.
Itu angka yang tinggi sekali. Publik luas mustahil menyatakan dirinya puas kepada Jokowi jika mereka tidak merasakan manfaat langsung program Jokowi dalam kehidupan sehari-hari mereka sendiri.
Juga publik luas mustahil menyatakan puas kepada Jokowi jika mereka tidak melihat personality pada Jokowi yang mereka sukai. Tingginya approval rating Jokowi ini sama di berbagai lembaga survei.
Memakzulkan Jokowi dalam kondisinya yang begitu populer akan mendapatkan perlawanan sangat keras dari rakyat banyak yang puas padanya.
Alasan kedua yang juga membuat pemakzulan Jokowi ilusi adalah rumitnya prosedur. Untuk memakzulkan presiden sesuai dengan ketentuan UUD 45 Pasal 7A dan 7B, tentu saja harus ada alasan substansial yang memadai.
Harus hadir di sana bukti telanjang Jokowi mengkhianati negara, atau Jokowi korupsi, atau ia melakukan penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya. Atau Jokowi melakukan. perbuatan tercela.
Prosedur pemakzulan harus bermula di DPR, dengan 2/3 anggota DPR hadir. Dan dari yang hadir, 2/3 menyetujuinya. Persetujuan itu oleh DPR ke Mahkamah Konstitusi.
Katakanlah jika MK setuju, maka MPR bersidang. MPR yang akhirnya memutuskan itu pun harus dihadiri oleh 3/4 dari anggota MPR. Lalu pemakzulan harus disetujui 2/3 dari yang hadir.
Alasan ketiga yang membuat pemakzulan ini ilusi untuk dikerjakan, karena capres dan cawapres yang potensial menang sesuai dengan begitu banyak hasil survei itu adalah Prabowo Gibran.
Di bulan Desember 2023, elektabilitas Prabowo- Gibran elektabilitasnya di angka 45,3%. Bahkan di bulan Januari 2024, survei LSI Denny JA, dukungan kepada Prabowo-Gibran menaik lagi, sudah menyentuh 46,6%.
Pasangan inilah yang paling potensial akan menjadi presiden dan wakil presiden 2024-2029. Dan pasangan ini adalah hardliner pro-Jokowi. Susah sekali membayangkan Prabowo-Gibran ikut menari dalam gendang pelengseran Jokowi.
Alasan keempat dan ini yang paling penting, yang paling esensial, kita ini masih dalam situasi demokrasi yang mengalami transisi. Demokrasi kita masih goyah karena itu harus kita kokohkan.
Dalam demokrasi yang labil, jangan pernah lagi kita memakzulkan presiden. Jika kita tak setuju padanya, kalahkan sang presiden dalam pemilu berikutnya.
Pemakzulan hanya akan melahirkan pemakzulan selanjutnya. Itu membuat situasi politik kita akan rawan. Tentu selalu ada perkecualian. Yaitu kecuali jika presiden memang melakukan pelanggaran hukum yang mencolok sekali.Juga terlihat di sana, mayoritas publik tidak puas dengan Sang Presiden.
Tapi bukankah situasi kini adalah kebalikannya? Mayoritas justru puas dengan Presiden. Gerakan atau seruan pemakzulan Jokowi hanya asyik untuk diskusi saja, tapi tak bersambung dengan realitas politik.*
Oleh: Denny JA