Bernasindonesia.com - Kita menyebutnya *cinta buta*—ketika seseorang tetap mencintai walau disakiti, ditipu, bahkan dipermalukan. Cinta semacam ini tak berhenti di ranah asmara. Ia menjelma ke dalam keyakinan politik, agama, budaya, bahkan fanbase selebritas. Cinta berubah rupa menjadi fanatisme—sebuah keterikatan emosional yang membutakan nalar.
Mengutip _Oxford Dictionary_, fanaticism adalah “_keyakinan atau perilaku ekstrem, terutama dalam urusan agama atau politik_.” _Cambridge Dictionary_ mendefinisikannya sebagai “_kepercayaan ekstrem yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak masuk akal atau kekerasan_” (dalam konteks formal), dan “minat yang sangat besar terhadap sesuatu, hingga dianggap tidak masuk akal oleh orang lain” (dalam konteks informal). Versi kata sifatnya, fanatical, berarti “terlalu antusias atau terobsesi pada sesuatu sampai-sampai dianggap tidak rasional.”
Definisi psikologi menegaskan hal yang sama. Menurut _American Psychological Association_ (APA), fanatisme adalah “_semangat atau pengabdian yang berlebihan dan sering kali irasional terhadap suatu tujuan atau sistem kepercayaan._”
Kita bisa menyebutnya dengan bahasa lebih praktis; fanatisme adalah cinta buta yang mengalami mutasi: dari _relasi pribadi_ menjadi _kesetiaan kolektif_ yang tak bisa dikritik. Ia dibungkus emosi, dilindungi dopamin, dan diperkuat oleh kebutuhan manusia untuk terikat, bahkan ketika objek keterikatannya telah berulang kali menyakiti.
Manakala cinta buta menjadi fanatisme, jadilah gabungan yang mematikan: loyalitas yang tak bisa ditawar, disertai ketakutan akan kehilangan identitas jika melepaskannya. Inilah yang membuat fanatisme politik, keagamaan, atau budaya bukan sekadar pilihan, tapi semacam ikatan emosional yang mengikat seperti candu. Dan seperti kata penyanyi Gombloh yang pahit tapi jujur: “*kalau cinta sudah melekat, tai kucing rasa coklat.”* Dalam fanatisme, bahkan kebusukan bisa terasa manis—asal datang dari idola.
Artikel ini akan bercerita tentang 'cinta buta' dalam politik—sebut saja *fanatisme politik*. Bagaimana otak bisa kehilangan daya kritis saat terlanjur mencintai seorang pemimpin?. Lain waktu, kita akan bicara tentang fanatisme agama dan fanatisme sepakbola—dua ladang subur lainnya tempat nalar sering tersesat demi loyalitas.
-----
Dalam kerangka ilmiah, istilah ‘cinta buta’ dalam tulisan ini dioperasionalkan sebagai bentuk dari _*romantic love*_ menurut Helen Fisher—seorang antropolog biologis yang telah meneliti struktur cinta dari sisi otak. Fisher menegaskan bahwa _romantic love_ bukan sekadar perasaan, tapi sistem motivasi yang digerakkan oleh mekanisme neurokimia di otak manusia. Di sini kita bisa melacak akar biologis fanatisme secara saintifik.
Dalam studinya yang terkenal (Fisher, 2005), cinta romantik ditemukan mengaktifkan area ventral tegmental area (VTA) dan Nukleus Kaudatus, dua wilayah otak yang kaya zat kimia dopamin dan terkait erat dengan sistem penghadiahan (dapat hadiah ketika melakukan sesuatu). Otak para responden yang sedang “jatuh cinta” menunjukkan pola aktivitas yang sama seperti pada pecandu kokain ringan. “_Romantic love adalah bentuk adiksi alami yang diciptakan evolusi untuk mengunci perhatian dan energi kita hanya pada satu objek_.” Kata Fisher.
Setahun kemudian (2006), ia memperdalam temuannya: _romantic love_ tetap mengaktifkan sistem motivasi meski hubungan telah berakhir atau bertepuk sebelah tangan. Responden yang baru saja ditolak tetap menunjukkan aktivitas tinggi di area hadiah (reward), bersamaan dengan aktivitas di orbitofrontal cortex—bagian otak yang terkait dengan obsesi, kemarahan, dan kontrol impuls. Di sinilah kita memahami mengapa orang bisa tetap bertahan, membela, bahkan memaafkan berkali-kali, meski sudah disakiti oleh orang (tokoh) yang mereka cintai. Tolong ingat baik2 kalimat saya ini.
Risetnya pada 2016 melengkapi semua itu: cinta romantik memiliki seluruh gejala *ketagihan* (adiksi)—_euforia, craving, toleransi, ketergantungan_, bahkan _withdrawal_. (silakan cari di Google arti masing2). Ia menyebut cinta sebagai “*natural addiction*” yang bisa jadi positif atau destruktif, tergantung konteksnya. Karena berbagi jalur dopamin dengan adiksi lainnya, cinta bisa jadi candu yang membutakan, tapi juga bisa jadi substitusi adiksi yang menyelamatkan.
Jika kita tarik ke ranah politik, fanatisme terhadap seorang pemimpin memiliki struktur neurologis yang sama seperti _romantic love_. Sistem hadiah otak bekerja, dopamin mengalir, dan keterikatan emosional terbentuk bukan karena tokohnya benar atau baik—tapi karena otak sudah lebih dulu memutuskan untuk merasa in love. Maka yang muncul bukan rasionalitas, melainkan pembenaran. Cinta buta berubah menjadi kesetiaan yang tak bisa disentuh oleh logika.
Jika menurut Helen Fisher (2005, 2006, 2016) cinta romantik adalah sistem motivasi purba yang dirancang untuk mengikat manusia pada satu objek lewat suntikan dopamin, maka temuan Drew Westen (2006) membawa kita lebih jauh: bahwa mekanisme cinta yang sama itu juga bekerja dalam fanatisme politik. Bukan hanya cinta membuat kita buta, tapi politik yang dicintai bisa membuat kita menolak realitas secara sadar.
Dalam studi fMRI terhadap pendukung fanatik dalam Pilpres AS 2004, Westen dan timnya (2006, _J of Cogn. Neurosc_.) menemukan bahwa ketika partisipan dihadapkan pada informasi negatif tentang kandidat yang mereka dukung, bagian otak yang bertanggung jawab atas evaluasi logis dan pengambilan keputusan kritis—seperti dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC)—*tidak aktif*. Sebaliknya, aktivasi terjadi pada sistem hadiah dan pusat emosional seperti ventromedial prefrontal cortex, anterior cingulate cortex, insula, dan orbitofrontal cortex.
Dengan kata lain, otak para pendukung fanatik tidak sedang berpikir, tapi sedang bertahan. Mereka tidak menimbang fakta, tapi mencari cara untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat informasi yang mengancam identitas politiknya. Bahkan, sistem dopamin di otak justru aktif ketika mereka berhasil memaklumi atau membenarkan kebohongan sang idola. Mereka “menikmati” proses pembenaran itu—bukan karena logis, tapi karena secara emosional, itu melegakan. Menyenangkan.
Terbentuk tali temali dan jalinan kuat antara cinta dan politik: ketika ikatan emosional (afeksi) melekat terlalu dalam, penalaran akan mundur perlahan. Bukan karena data kurang, tapi karena rasa terlalu penuh. Dalam konteks ini, fanatisme politik bekerja bukan sebagai keyakinan ideologis, melainkan sebagai relasi afektif dan emosional—sejenis cinta buta yang tak mau kehilangan, meski sudah berkali-kali dikhianati.
Pada fase ini, fanatisme politik mewujud dalam bentuk paling nyata: pembelaan mati-matian terhadap tokoh, meski kesalahannya terpampang jelas. Tak peduli ada rekaman, laporan, atau putusan pengadilan—yang terlihat justru narasi pembenaran, teori konspirasi, atau serangan balik kepada lawan. Di media sosial, ini menjelma jadi pola: membungkam kritik, memviralkan potongan video yang dipoles sedemikian rupa, atau memelintir realitas agar tetap selaras dengan imajinasi kolektif tentang “pemimpin ideal.”
Perilaku semacam ini bukan soal etika atau logika, tapi soal keterikatan emosional yang dalam. Ketika cinta sudah melekat, nalar jadi alat pelengkap, bukan alat penguji. Bahkan saat tokoh pujaan mengingkari janji atau menyimpang dari nilai yang dulu ia bawa, fanatikus tetap bertahan. Mereka lebih memilih mengubah tafsir kenyataan daripada mengakui bahwa yang mereka cintai bisa salah.
Kita bisa melihat ini dalam berbagai bentuk: dukungan membabi buta kepada tokoh yang mempraktikkan politik identitas dan politik ‘harga mati’, meski hasilnya memecah-belah; pengikut yang tetap loyal kepada pemimpin korup, dengan dalih “semua juga sama”; atau kelompok yang menganggap kritik sebagai penghinaan terhadap martabat kolektif, bukan sebagai bagian dari kewarasan demokrasi.
Mari kita cermati. Ada paradoks disini: demokrasi membutuhkan nalar publik, tapi politik yang dicintai berlebihan justru mematikan fungsi nalar itu sendiri. Demokrasi menjanjikan kebebasan berpikir, tapi fanatisme menukar kebebasan itu dengan kenyamanan psikologis untuk terus percaya.
Dan ini bukan terjadi karena rakyat bodoh, tapi karena otak manusia memang cenderung mencari rasa aman dalam keterikatan. Politik menjadi tempat bernaung emosi, bukan lagi tempat bertarung gagasan. Saat rasa nyaman lebih penting daripada kebenaran, maka yang menang bukan yang membawa solusi, melainkan yang paling mampu menyentuh syaraf emosi terdalam.
Lalu, bagaimana cara keluar dari jebakan cinta buta dalam politik? Jawabannya bukan pada siapa yang kita dukung, tapi bagaimana kita mendukung. Bukan pada pilihan politik itu sendiri, tapi pada kesadaran apakah pilihan itu masih kita evaluasi dengan akal sehat, atau sudah kita peluk seperti keyakinan yang tak boleh disentuh.
Satu-satunya cara merawat demokrasi adalah dengan menjaga jarak emosional yang sehat terhadap para pemimpin. Mengagumi boleh, berharap wajar, tapi menyembah (‘idol’) adalah awal dari kehancuran nalar. Kita perlu membiasakan diri mengkritik tanpa membenci, mendukung tanpa memabukkan diri dengan rasa benar, dan—ini yang paling sulit—mampu menarik diri ketika kebenaran mulai dikalahkan oleh kenyamanan.
Perlu dicatat, yang kita bahas di sini adalah fanatisme yang tumbuh dari cinta buta—bukan dari cinta berbayar. Karena ada pula ‘pengidolaan’ yang bukan berbasis *afeksi*, tapi *transaksi*: orang-orang yang terlihat fanatik karena ada kursi, jabatan, atau rekening yang harus diamankan. Mereka ini tak buta, justru sangat sadar apa yang sedang mereka lakukan—dan karena itu, jauh lebih berbahaya (Meulaboh 160125, _bersambung_).
Oleh: Taufiq Fredrik Pasiak
Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta