Bernasindonesia.com - Saat ini semua praktisi hubungan masyarakat atau public relations (Humas/PR) menghadapi tantangan dan dinamika yang luar biasa dalam mengelola reputasi kelembagaan atau perusahaan. Apalagi mereka yang menjaga dan mengelola reputasi kelembagaan pemerintahan dan politik. Sangat keras dan cepat pertarungannya dalam merebut simpati publik atau sebaliknya dalam merusak sebuah kepercayaan publik. Semua hal bisa menjadi titik serangan dan sebaliknya bisa juga menjadi titik simpul keunggulan.
Praktisi Humas harus mampu dan menyiapkan untuk menghadapi dinamika komunikasi publik di era digital yang penuh tantangan, terutama berkaitan dengan fenomena post-truth, disinformasi, fitnah, kebencian dan serangan siber.
Selain itu yang harus diperhatikan juga bagi pengelola humas adalah pengelolaan jejak digital. Saat ini dampak jejak digital itu sangat kejam. Bisa saja reputasi institusi hancur hanya dalam hitungan menit, apalagi di era media sosial yang ganas dan masif. Banyak kasus yang bisa menjadi pembelajaran dan telah menimpa para tokoh publik seperti apa yang dialami Gus Miftah. Peristiwa lama muncul lagi dengan framing yang sangat kejam yakni tokoh agama mengolok-olok seorang warga biasa penjual es teh.
Dalam waktu sekejap peristiwa itu menjadi viral dengan komentar negatif dari berbagai arah. Reputasi dan persepsi terhadap Gus Miftah yang dikenal pendakwah pluralis, santun, langsung ambles, beralih dengan persepsi pendakwah yang dicap sombong dan merendahkan profesi penjual es teh.
Pada saat ini peran dan fungsi humas tak sekadar hanya menyampaikan informasi, sekedar berbicara, atau gathering dan visit media namun juga harus cerdas, cermat dalam mengelola opini publik. Selain itu seorang praktisi humas juga pintar dan mampu mengidentifikasi dan mengklasifikasi mana serangan digital yang bersifat organik dan mana yang direkayasa atau tidak organik. Karena itu, humas dalam mengidentifikasi serangan memerlukan data yang valid dengan memanfaatkan sarana teknologi yang semakin canggih.
Pada saat praktisi humas akan menyusun strategi untuk mengcounter maupun merecovery sebuah serangan maka perlu mengidentifikasi dan mengklasifikasinya. Perhatikan ragam serangan tersebut apakah hanya berasal pada satu titik dan bisa saja hal itu merupakan serangan organik.
Namun, jika serangan tersebut bersifat serentak dari berbagai titik dalam waktu bersamaan, patut dicurigai. Bisa jadi itu difabrikasi, bahkan mungkin dijalankan oleh bot atau AI yang saat ini sangat mudah dilakukan.
Sisi lain yang perlu diperhatikan oleh praktisi humas di era post truth adalah pemilihan diksi dalam menyampaikan pendapat dan pandangan tentang suatu hal. Di era digital, audiens sangat beragam dan berjenjang baik secara kultural, adat istiadat, maupun strata ekonomi dan pendidikannya.
Ditambah lagi keragaman karakter generasinya, antara yang native digital dan imigran digital, antara generasi baby boomers dengan generasi X serta Gen Z. Mereka ada yang tumbuh dengan kultur sangat egaliter -liberal dan ada pula yang besar dalam lingkungan feodal dan paternalistik.
Seringkali diksi, kata dan kalimat yang disampaikan seseorang di komunitasnya cukup dimaklumi dan dipahami bahkan suatu hal yang lumrah, namun saat diposting di sosial media mendapatkan respon dan pemahaman yang berbeda lantaran audiensnya beragam dan berjenjang.
Sejumlah praktisi humas pernah mengalami blunder terkait pemilihan diksi dalam menyampaikan pandangan atau pendapat. Misalnya dengan menyebut "Rakyat jelata", "Dimasak aja", "Ndasmu", dan lainnya. Karena itu, pilihan diksi pada saat menyampaikan pernyataan, pandangan atau pendapat terhadap suatu hal sangat penting dalam strategi komunikasi.
Oleh: Chamad Hojin
Penulis adalah Direktur Eksekutif PUSPOLL Indonesia