Dari Gizi ke Risiko: Catatan atas Program Makan Bergizi Gratis

| Kamis, 25 September 2025 | 16.51 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Bel pulang di sebuah sekolah dasar di Jawa Barat berbunyi lebih cepat dari biasanya. Bukan karena ujian telah usai, melainkan karena puluhan murid harus dilarikan ke puskesmas setelah menyantap makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Anak-anak yang seharusnya pulang dengan senyum justru terbaring lemah di ruang kesehatan.


Data resmi pemerintah mencatat lebih dari 4.700 kasus keracunan, sementara pemantau independen menyebut jumlahnya melampaui 6.000 anak. Angka boleh diperdebatkan, tetapi kenyataan bahwa ribuan siswa menjadi korban sulit dibantah. Sebuah ironi: program yang dimaksudkan menyehatkan justru menghadirkan keresahan.

Titik Rawan: Dapur, Distribusi, dan Pengawasan

Menyajikan makanan bergizi bagi puluhan juta penerima manfaat bukan pekerjaan kecil. Tiga titik rawan selalu muncul: dapur, distribusi, dan pengawasan.

Di dapur, makanan sering dimasak terlalu pagi lalu disimpan berjam-jam. Lauk berkuah santan atau sayur mentah menjadi pilihan berisiko tinggi. FAO dan WHO sudah lama mengingatkan: makanan yang dibiarkan pada suhu ruang lebih dari dua jam adalah tempat ideal bakteri berkembang biak.

Pada distribusi, rantai dingin nyaris absen. Makanan diangkut dengan kendaraan tanpa pendingin. Padahal standar sederhana menyebut makanan panas harus tetap di atas 60 °C dan makanan dingin di bawah 5 °C. Tanpa disiplin ini, keracunan hanya soal waktu.

Di sisi pengawasan, standar antarwilayah tidak seragam. Ada dapur yang relatif disiplin, tetapi banyak yang seadanya: tanpa pencatatan suhu, tanpa dokumentasi, bahkan tanpa tenaga yang benar-benar paham standar higienis.

Krisis Kepercayaan Publik

Kasus keracunan massal bukan sekadar urusan kesehatan, melainkan krisis kepercayaan publik. Orangtua mulai ragu memberi izin anak ikut program pemerintah. Guru di sejumlah daerah bahkan menghentikan distribusi sementara.

Ada pula dampak politik. Program unggulan yang seharusnya menjadi kebanggaan justru bisa berbalik menjadi bumerang. Di ruang publik, MBG kini diperdebatkan bukan lagi sebagai solusi gizi, melainkan sebagai sumber masalah baru.

Krisis kepercayaan inilah yang paling berbahaya. Sekali masyarakat kehilangan keyakinan, membangun kembali legitimasi program akan jauh lebih sulit daripada sekadar memperbaiki dapur atau mengganti menu.

Belajar dari Negara Lain

Sejarah internasional menawarkan pelajaran berharga.
Jepang sukses dengan kyushoku: dapur higienis di setiap sekolah, menu disusun nutrisionis, dan pengawasan ketat.
Korea Selatan memantau rantai pasok dengan sistem digital real-time.
Finlandia menekankan menu sederhana berbasis bahan segar, bukan pangan olahan berisiko tinggi.

Charles Tilly dan Sidney Tarrow (2015) mengingatkan: keberhasilan kebijakan publik selalu ditentukan oleh kapasitas institusi menutup celah kegagalan. MBG di Indonesia justru memperlihatkan celah itu terlalu lebar—dapur tidak seragam, distribusi tanpa standar, dan pengawasan sporadis.

Jalan Keluar yang Mendesak

Jika MBG ingin bertahan, ada beberapa langkah yang harus segera ditempuh:

1. Perkuat standar dapur. Setiap penyedia wajib mencatat suhu, jadwal masak, dan protokol higienis.
2. Sederhanakan menu. Nasi, lauk kering, sayur bening, buah utuh, susu UHT lebih aman daripada santan pekat atau sayur mentah.
3. Batasi distribusi. Waktu tempuh maksimal satu jam dengan box insulasi atau pendingin sederhana.
4. Transparansi publik. Data insiden harus dibuka real-time agar orangtua tahu risiko yang ada.
5. Edukasi masyarakat. Orangtua dan guru dilibatkan untuk memantau mutu, bukan sekadar menjadi penerima pasif.
6. Akuntabilitas pemerintah. Evaluasi publikasi berkala—berapa kasus, bagaimana tindak lanjut—harus menjadi kewajiban, bukan pilihan.


Penutup

Program Makan Bergizi Gratis lahir dari niat baik. Tetapi niat saja tidak cukup. Ribuan anak yang menjadi korban keracunan adalah alarm keras bahwa keamanan pangan bukan aksesori, melainkan syarat mutlak.

Keberhasilan program ini tidak diukur dari berapa miliar porsi yang dibagikan. Ia diukur dari satu hal yang sederhana namun mendasar: keyakinan orangtua bahwa anak mereka bisa makan di sekolah dengan aman, sehat, dan pulang dengan tawa, bukan tangisan.

Oleh: Prof. (HC) Dr. Pius Lustrilanang, S.Ip., M.Si.

Penulis adalah Komisaris Independen PT Aneka Tambang Tbk., penulis buku, dan aktivis reformasi 1998
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI