Keracunan MBG: Desentralisasi Layanan dan Koperasi Siswa

| Senin, 29 September 2025 | 07.12 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Minggu-minggu ini diskursus publik ramai: “siswa keracunan MBG”. Gencarnya pemberitaan menjadikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) terasa menakutkan. “Terancam Keracunan”. 


Prosentasenya relatif kecil. Akan tetapi jumlah peristiwa dan siswa terkena dampak, bisa membuat trauma. Bahkan ada wali murid melarang anaknya konsumsi MBG. 

Per 25–27 Sept 2025, terdapat 5.914 siswa keracunan dalam 70 cluster kejadian. Tersebar di 16–17 Provinsi. Merupakan wilayah dari 45 dapur/Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). 40 dapur ditutup sementara hingga investigasi selesai dan perbaikan dipastikan mampu memberi layanan aman.

Data 22 Juni 2025, penerima manfaat MBG mencapai 5.228.529 orang (kategori: siswa + balita + ibu hamil + ibu menyusui). Data 8 September 2025, menyebut telah melayani 22,7 juta penerima. Maka kejadian keracunan itu menyasar 0,02 s.d 0,1 persen penerima MBG. 

Data 22 Juni 2025 mencatat 1.837 SPPG beroperasi. Agustus 2025 mencatat 20,5 juta penerima dilayani oleh 5.905 SPPG. Prosentasi kejadian sebesar 2,4% hingga 3,5% dari total dapur. 

Jumlah itu secara statistik terlihat kecil. Akan tetapi 5.914 siswa keracunan itu menggemparkan. Urusan nyawa. Apalagi ditambah “ _buzzer_ iseng” dengan konten hiperbolik. Situasinya tampak menjadi mencekam.  Bisa terkategori KLB (Kejadian Luar Biasa). 

Penyebab keracunan tentu tidak tunggal. Salah satunya dimungkinkan adanya indikator beban kerja _*(workload)*_ dapur/penyedia. Melebihi kapasitas riil. Selain lokasi distribusi dengan sebaran luas. 

Masing-masing dapur melayani kisaran 3000 porsi. Bahkan lebih. Proses memasak menjadi terlalu lama. Makanan yang dimasak _*batch*_ (putaran) awal dibiarkan terlalu lama pada suhu ruang. Menunggu masakan batch berikutnya selesai.  Masakan batch terancam basi. Memancing bakteri. 

Berdasar laporan sebagaimana direkam data digital, penyebab lainnya adalah: kontaminasi mikrobiologis. Pengolahan / memasak tidak memenuhi standar higienis / tidak merata panasnya (tidak pada suhu pembunuh bakteri). Penyimpanan dan distribusi yang buruk. Kualitas bahan baku yang buruk / sudah terkontaminasi sejak awal (hulu). Kontaminasi bahan kimia / toksin (satu kasus di Kalimantan Barat, diduga keracunan ikan Hiu mengandung merkuri). Kurangnya pengawasan / lemahnya penerapan prosedur keamanan pangan. Ada juga yang disebabkan alergi.  

Jika mengacu prosentase kejadian, insiden keracunan MBG terjadi akibat tidak taat SOP. Oleh sejumlah kecil SPPG. Terbukti yang lain mampu menyediakan makanan dengan aman. 

Terlepas dari statistk itu, _*workload*_ (beban kerja) akibat mengejar target tidak mustahil akan terulang terus menerus. Penyediaan 3000 porsi untuk sampai kepada _*end user*_ (pengguna akhir) pada waktu bersamaan merupakan pekerjaan penuh risiko. Rentang kendalinya terlalu panjang. 

Keracunan MBG kemungkinan besar merupakan _“alarm”_ yg. Desain operasional belum sesuai kapasitas dapur.

Selain _*workload*_, rentang kendali MBG saat ini tidak efisien. Mulai dari GBN, SPPG, Mitra Insvestor hingga sampai _*end user*_, memerlukan _*cost*_ mahal. Dari anggaran Rp. 15.000,- per porsi, siswa sebagai pemanfaat utama hanya mendapatkan Rp. 10.000,- perporsi. Anggaran ini banyak terbuang di jalanan. Kualitas gizi yang diterima siswa juga jauh berkurang.   

Solusinya bagaimana?.  Desentralisasi layanan.  *_(Workload_* itu harus diurai. 

MBG tidak memerlukan rentang kendali terlalu banyak. Cukup dari BGN, langsung ke sekolah. Kasus dana BOS bisa langsung distribusi dan dikelola sekolah. Tanpa melalui jenjang struktur panjang dan buang-buang anggaran. 

Pengelolaan MBG lebih aspek bisnis. Tidak boleh dikelola langsung para guru dan kepala sekolah. Akan mengganggu tugas utamanya dalam proses studi. MBG di sekolah dikelola melalui institusi bisnis sekolah dalam bentuk Koperasi Siswa (anggotanya murni siswa) atau Koperasi Sekolah (anggotanya siswa dan wali murid). 

Siswa tidak boleh terbebani mengelola bisnis. Koperasi secara manajemen dikelola dari unsur wali murid yang bersedia. Koperasi bekerjasama dengan warung sekitar dalam penyediaan makanan. Strukturnya ringkas: BGN-Koperasi Sekolah-Warung Mitra-Siswa. Jika koperasi sekolah memperoleh *_fee_* Rp. 1000,- per porsi, maka masih ada bagian Rp. 14.000,- untuk siswa.  Jauh lebih besar dibanding ketika hanya menyisakan Rp. 10.000,- untuk siswa. 

Bagaimana usulan dikelola kantin sekolah?. Tidak semua sekolah memiliki kantin. Tidak semua kantin memiliki kesiapan standar menyediakan menu sejumlah siswa. Kantin merupakan salah satu saja dari warung mitra koperasi. Bukan satu-satunya penyedia. 

*BGN:* menetapkan standar gizi & keamanan pangan, menyalurkan dana langsung ke rekening koperasi sekolah, menyediakan aplikasi monitoring (menu, porsi, laporan keuangan). Penghentian dana jika ada penyimpangan. Melakukan audit & inspeksi. 

*Kepala sekolah:* menjadi pengawas umum program di sekolah. Menyetujui rencana menu & anggaran yang dibuat koperasi. Menyediakan fasilitas makan di sekolah. Berhak menghentikan kontrak warung mitra jika kualitas buruk.

*Koperasi Siswa*: mengelola dana MBG (penerimaan, pembayaran). Merancang menu mingguan bersama ahli gizi (Puskesmas). Memilih warung mitra melalui seleksi terbuka. Memesan makanan harian sesuai jumlah porsi siswa. Mencatat semua transaksi dan laporan. Mengatur harga pembelian, membayar warung, dan menegosiasikan menu dengan penyedia.

Wali Murid (anggota koperasi): terlibat dalam pengambilan keputusan koperasi. Ikut mengawasi kualitas makanan setiap hari. Memberi _*feedback*_ tentang kepuasan siswa. Ikut Rapat Anggota untuk mengganti pengurus koperasi bila ada masalah.

Makanan / UMKM Mitra/ termasuk kantin sekolah: memasak & mengantar makanan sesuai menu & standar gizi. Menjaga kebersihan dan ketepatan waktu. Menyimpan bukti belanja bahan. Menerima pembayaran sesuai porsi yang disetujui. Berhak mengusulkan menu alternatif sesuai bahan lokal.

Dinas Kesehatan / Puskesmas: melakukan inspeksi _*hygiene*_ warung & uji sampel makanan berkala. Memberikan rekomendasi perbaikan atau larangan produksi jika tidak layak.

Walaupun tidak mengelola secara langsung, siswa sejak dini dikenalkan “ekonomi Pancasila”. Dikenalkan RAT (Rapat Anggota Tahunan), laporan keuangan, jenis usaha koperasinya sendiri. 

MBG bukan semata revolusi gizi berbasis ¹⁸sumberdaya pangan lokal. Melainkan sebagai kaderisasi ekonomi Pancasila melalui Koperasi Siswa. Semua elemen merasa dilibatkan. Termasuk orang tua.  

Jika tidak diterapkan secara penuh, bisa saja dilakukan secara hybrid. Sistem saat ini tetap berjalan jika tidak ada masalah. Dibuka juga opsi melalui Koperasi Siswa. Untuk mengatasi masalah Workload.

Lebih realistis bukan?

Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI