Bernasindonesia.com - Di bawah gemerlap lampu kota Jakarta, seorang pengemudi ojek daring berhenti di pinggir jalan. Ia menyalakan rokok yang mungkin adalah satu-satunya teman setianya malam itu.
Ia menatap layar ponsel, menunggu notifikasi yang entah datang entah tidak. Setiap bunyi dering bisa berarti tambahan penghasilan untuk membayar sewa kos, cicilan motor, atau uang sekolah anak.
Tetapi setiap bunyi itu juga berarti perjalanan panjang, bensin yang makin mahal, tubuh yang makin lelah.
Kisahnya bukanlah kisah tunggal. Di balik layar laptop yang temaram, seorang freelancer grafis menatap kosong ke arah email yang baru masuk.
Kontraknya tidak diperpanjang. Ia tidak tahu apakah besok ada pekerjaan lain yang bisa ia kerjakan.
Sementara di gudang e-commerce di pinggiran kota, seorang kurir menumpuk paket hingga larut malam. Target yang dikejar algoritma tidak mengenal belas kasihan.
Mereka adalah potret Generasi Rentan. Ini kelas baru yang lahir di era ekonomi digital. Sebuah kelas yang fleksibel tapi rapuh, penuh harapan tapi juga sarat kecemasan.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah inilah wajah baru kelas pekerja di abad ke-21?
-000-
Definisi & Teori Generasi Rentan
Guy Standing, dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class, memperkenalkan istilah prekariat untuk menggambarkan kelas pekerja yang hidup dalam ketidakpastian.
Mereka tidak punya jaminan kerja, tidak punya perlindungan sosial, dan sering kehilangan identitas sosial yang jelas.
Saya memilih menyebut mereka sebagai Generasi Rentan. Ini sebuah istilah yang lebih dekat dengan konteks Indonesia.
Mengapa “generasi”? Karena ini bukan sekadar kategori ekonomi, melainkan fenomena lintas usia yang membentuk wajah baru masyarakat kita.
Mengapa “rentan”? Karena ciri utamanya adalah kerentanan: terhadap ketidakpastian, terhadap krisis ekonomi, terhadap algoritma yang menentukan hidup mereka.
Generasi Rentan berbeda dari proletariat klasik di era industri. Proletariat tahu dirinya buruh pabrik, dengan jam kerja jelas, serikat pekerja yang berjuang, dan musuh yang nyata: kapitalis pemilik pabrik.
Generasi Rentan hidup di dunia yang lebih cair. Mereka bekerja untuk platform tanpa tahu siapa bosnya. Mereka berkompetisi dengan sesama pekerja, sering kali tanpa sempat membangun solidaritas.
Namun di balik kerapuhan itu, terdapat potensi energi sosial yang besar. Standing menyebutnya sebagai “kelas berbahaya”—bukan karena mereka kriminal. Tetapi itu karena keresahan mereka bisa meledak sewaktu-waktu.
-000-
Industri Digital sebagai Rahim Generasi Rentan
Ekonomi digital menjanjikan kebebasan, fleksibilitas, dan peluang tak terbatas. Namun, seperti janji yang tak ditepati, ia juga melahirkan sisi gelap: ketidakpastian.
• Pengemudi ojol: Lebih dari 4,5 juta orang di Indonesia (data 2023) menggantungkan hidup pada aplikasi transportasi daring.
Mereka bebas mengatur waktu, tetapi tidak ada upah minimum yang pasti. Bonus bisa berubah sewaktu-waktu sesuai algoritma perusahaan.
• Kurir e-commerce: Industri belanja daring yang meledak pascapandemi membuat kurir menjadi tulang punggung logistik.
Mereka mengejar target pengiriman yang ditentukan mesin, bukan manusia.
• Freelancer daring: Dari penulis konten, desainer grafis, hingga penerjemah. Semua mereka berkompetisi di pasar global yang padat karya, dengan bayaran sering kali lebih rendah dari standar kelayakan.
• Content creator kecil: Banyak anak muda bercita-cita jadi YouTuber atau seleb TikTok. Sebagian berhasil, tetapi mayoritas hidup di pinggir algoritma, tergantung pada like, view, dan monetisasi yang tak menentu.
Kontradiksi ini jelas: di satu sisi, fleksibilitas memberi ruang kebebasan. Di sisi lain, rapuhnya perlindungan sosial membuat hidup mereka seperti berjalan di atas tali tipis.
Industri digital tidak menciptakan kepastian, melainkan memperluas zona abu-abu kerja. Generasi Rentan lahir dari rahim digital ini—dan jumlah mereka makin membesar seiring revolusi platform terus menggurita.
-000-
Dimensi Psikologis dan Politik Generasi Rentan
Kerentanan bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal batin. Generasi Rentan hidup dalam bayang-bayang kecemasan yang kronis: apakah hari ini ada order?
Apakah besok ada kontrak? Apakah bulan depan masih bisa bayar cicilan?
Secara psikologis, mereka sering merasa terasing. Mereka tidak merasa bagian dari kelas menengah mapan, tetapi juga tidak mengidentifikasi diri sebagai kaum miskin tradisional.
Mereka berada “di tengah”—tetapi tanpa pegangan yang kokoh. Rasa kehilangan identitas ini membuat mereka mudah marah, mudah kecewa, dan mudah terprovokasi.
Secara politik, Generasi Rentan bisa menjadi kekuatan civil society baru. Lihatlah solidaritas pengemudi ojol ketika salah satu dari mereka meninggal akibat kecelakaan kerja.
Dalam hitungan jam, ribuan ojol turun ke jalan, menuntut keadilan. Media sosial menjadi corong yang memperbesar suara mereka.
Namun, kerentanan ini juga berbahaya. Generasi Rentan mudah dimobilisasi untuk kepentingan politik sesaat.
Ledakan protes di Indonesia, Agustus–September 2025 tidak lahir dari ruang hampa. Laporan BPS dan sumber independen menunjukkan pendapatan pekerja gig, seperti pengemudi ojol, menurun signifikan.
Sementara inflasi pangan sejak Agustus 2025 tercatat. Kombinasi frustrasi ekonomi, ketidakpastian digital, dan lemahnya perlindungan sosial menjadikan Generasi Rentan mudah tersulut.
Mereka bisa berubah dari kelompok solidaritas menjadi kerumunan kerusuhan. Inilah yang terjadi di berbagai negara:
• Di Prancis, Yellow Vests lahir dari keresahan pekerja kelas menengah-bawah terhadap kenaikan pajak bahan bakar.
• Di Amerika Serikat, pekerja Amazon melakukan protes menuntut upah dan kondisi kerja yang lebih manusiawi.
• Di Hong Kong, generasi digital muda memimpin aksi protes besar-besaran dengan koordinasi daring.
Generasi Rentan di Indonesia pun menunjukkan pola serupa: mudah menyatu, mudah marah, dan mudah bergerak—karena dasar kehidupannya memang rapuh.
-000-
Indonesia di Persimpangan Jalan
Indonesia saat ini memiliki lebih dari 80 juta pekerja informal. Dari jumlah itu, lapisan besar kini telah terdigitalisasi: menjadi pengemudi ojol, kurir, pekerja platform, hingga pekerja paruh waktu di industri kreatif digital.
Pertanyaannya: apakah negara akan membiarkan Generasi Rentan terus berada di pinggir jalan sejarah? Atau berani menghadirkan kebijakan yang memberi perlindungan, literasi, dan jaminan sosial?
Ada beberapa jalan yang bisa ditempuh:
1. Regulasi Platform: Negara perlu menetapkan standar upah minimum, jam kerja layak, dan asuransi sosial bagi pekerja platform.
2. Literasi Digital: Memberikan pelatihan dan akses agar pekerja tidak hanya bergantung pada algoritma, tetapi bisa naik kelas ke pekerjaan digital bernilai tambah.
3. Jaring Pengaman Sosial: Jaminan kesehatan, pendidikan anak, hingga pensiun dasar harus mulai dipikirkan bagi Generasi Rentan.
Tanpa langkah ini, cita-cita Indonesia Emas 2045 hanya akan jadi mimpi kosong. Sebab, bagaimana mungkin bangsa ini bisa maju jika mayoritas pekerjanya hidup dalam kerentanan yang akut?
-000-
Refleksi dan Penutup
Generasi Rentan adalah cermin wajah kita hari ini. Mereka bukan sekadar angka dalam laporan statistik. Mereka adalah manusia dengan tubuh yang lelah, hati yang cemas, dan mimpi yang sering kali tertunda.
Guy Standing menulis: “The precariat is not just a class-in-the-making, it is a dangerous class.” Saya ingin menegaskannya dalam konteks Indonesia: Generasi Rentan bukan hanya kelas yang sedang terbentuk, tetapi bisa menjadi kelas berbahaya jika diabaikan.
Mereka seperti berdiri di atas jembatan rapuh, di antara harapan dan keputusasaan. Satu langkah salah bisa menjatuhkan mereka ke jurang gelap.
Tetapi satu pegangan tangan dari negara, dari civil society, bisa mengubah mereka menjadi energi besar untuk membangun demokrasi dan keadilan sosial.
Bayangkan sebuah Indonesia di tahun 2045: ketika para pengemudi ojol sudah tidak lagi hidup dalam kecemasan harian, ketika kurir dan pekerja daring memiliki jaminan sosial, ketika anak-anak Generasi Rentan bisa sekolah tanpa khawatir biaya.
Itu bukan utopia, melainkan buah dari keberanian bangsa menata ulang kontrak sosialnya.
Hadirnya Generasi Rentan inilah yang menjelaskan mengapa aksi protes dan kerusuhan di Indonesia, Agustus–September 2025, cepat meledak dan meluap di 107 titik, di 32 provinsi.
Pertanyaan akhirnya adalah: di abad 21 ini, apakah kita akan membiarkan Generasi Rentan menjadi sumber kekacauan? Ataukah kita berani mengubah mereka menjadi pilar peradaban baru?
Di pundak Generasi Rentan, sejarah Indonesia abad ke-21 akan ditulis.”
Oleh: Denny JA