Bernasindonesia.com - Saudaraku, politik lahir dari budaya kota, dari polis yang sakral: tempat manusia belajar beradab. Kota—polis, civic, madina—bukan sekadar ruang, tapi ruang keberadaban, kemuliaan, keteraturan. Penjaganya disebut polisi—polite, tertib, santun—penopang harmoni sosial.
Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. “Beradab,” kata Braudel, “berarti memuliakan tingkah laku, tertib hukum, ramah terhadap sesama.” Weber menegaskan: kota dirancang bagi mereka yang berbudaya dan rasional.
Di kota beradab, warga tidak sekadar menghuni. Mereka memiliki, mencintai, merawat kotanya, hadir dalam keragaman publik, tak terisolasi di bungker identitas.
Keterlibatan itu menuntut kecerdasan kewargaan: mengemban tugas publik, memahami hak dan kewajiban, menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni bersama, mencari titik temu dalam perbedaan. Athena menyebut mereka yang tak mampu mengemban kewajiban publik sebagai idiotes—asal kata “idiot”—penanda keterbelakangan mental.
Kebebasan menjadi tanah subur kecerdasan: berbicara, berkumpul, belajar, berkarya; ruang toleransi menghargai pendapat dan karya orang lain.
Corak politik menentukan kualitas warga. Demokrasi prosedural tanpa substansi gagal menumbuhkan kecerdasan kewargaan. Era keemasan tidak selalu lahir dari demokrasi; kebebasan kreatif lebih penting. China tanpa demokrasi tetap bisa memberi ruang kreatif bagi warga.
Demokrasi sejati harus lebih dari prosedur. Ia mencipta iklim kebebasan luas; kota-kota kreatif menjadi magnet jenius, eksentrik, visioner—semua dihimpun oleh nalar dan moral publik.
Di kota seperti itu, literasi menjadi napas budaya. Solidaritas dan cinta tanah air menjadi kebajikan. Pemimpin menjadi penuntun, warga menjadi garda republik. Dan di sanalah politik sejati ditemukan: ketika setiap aparat dan warga negara bertindak dengan kesadaran, setiap karya menguatkan republik, dan setiap keputusan lahir dari rasa tanggung jawab, keberanian, dan kasih pada negeri tercinta.
Oleh: Yudi Latif