Bernasindonesia.com - Apa itu “Gerakan Banteng”. Apa pula “Gerakan Banteng 5.0”. Apa hubungannya dengan Kopma. Koperasi Mahasiswa?.
Mari kita urai satu-satu.
Idenya dari Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Ayah Presiden Prabowo Subianto. Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada masa Kabinet Natsir (1950–1951).
Dilatari situasi awal kemerdekaan. Perekonomian Indonesia didominasi pengusaha non-pribumi. Terutama Tionghoa (Timur Asing) dan Belanda (Eropa). Pengusaha pribumi hampir tidak punya modal dan pengalaman. Ekonomi nasional belum mencerminkan kemandirian rakyat Indonesia.
Sumitro ingin menciptakan kelas pengusaha pribumi kuat dan mandiri. Dibuatlah program. Namanya *“Gerakan Banteng”*. Simbol kekuatan - keteguhan. Produktif - pekerja keras. Progresif - dinamis. Program ini diharap mencetak pelaku usaha pribumi yang mencerminan ketangguhan Banteng.
Profil pengusaha Indonesia asli yang tangguh dan mampu bersaing. Mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap non-pribumi dan asing. Mendorong pemerataan ekonomi melibatkan masyarakat pribumi dalam sektor perdagangan dan industri.
Bentuk program berupa kredit lunak (modal usaha). Penyediaan dana untuk para pengusaha pribumi. Disalurkan melalui bank-bank pemerintah.
Pengusaha pribumi diberi prioritas mendapatkan izin impor, perdagangan, atau produksi tertentu. Usaha pribumi dilindungi dari persaingan tidak sehat dengan pengusaha asing. Diberi pelatihan peningkatan kemampuan manajerial. Didorong kemampuanya mengelola usaha secara profesional.
Program ini gagal. Banyak penerima kredit tidak benar-benar pengusaha. Mereka pegawai atau politikus. Memanfaatkan fasilitas untuk kepentingan pribadi. Sebagian kredit untuk konsumtif.
Setelah *“Gerakan Banteng”* gagal, muncul “Program Ali-Baba”. Era 1950-an akhir. Ali = pengusaha pribumi. Baba = pengusaha non-pribumi. Keduanya digabungkan. Ali belajar dari Baba. Baba wajib membimbing Ali. Program ini juga tidak berhasil.
Akhir tahun 1990-an, muncul Adi Sasono. Menteri Koperasi era transisi Orde Baru-Reformasi. Kredit diberikan besar-besaran. Untuk mencetak wiraswatawan pribumi. Juga memperbesar skala usaha koperasi. Kredit itu macet. Ia dengan lugas berkilah “anggap saja itu sekolah wirausaha bagi rakyat”. “Kalau gagal, kasih lagi kredit. Sampai mampu berdikari”. “Konglomerat ngemplang BLBI ratusan triliun saja bebas”. Cetusnya.
Semua usaha itu belum mampu menjawab tantangan utama: “tampilnya barisan _enterprenuer_ pribumi”. Kegagalan program-program itu dipicu sebab sama: “seleksinya tidak akurat”. Jatuh kepada orang-orang yang tidak memiliki motif _entrepneur_. Aji mumpung terhadap kesempatan modal besar. Bahkan untuk konsumtif”.
Situasi Indonesia hari ini tidak beda dengan latar belakang munculnya program-program itu. Berbagai sajian data menyebut 1% orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 40–50% kekayaan nasional. 10% orang terkaya menguasai sekitar 74–75% kekayaan nasional. 60 keluarga menguasai 30 juta hektar tanah, mencakup hampir seluruh sektor agribisnis dan sumber daya alam Indonesia. Dari daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2024, pribumi asli berjumlah 9 orang (18%).
Sebanyak 0,02% dari populasi (sekitar 54.000 orang) menguasai 53% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan, dengan rata-rata simpanan per orang mencapai Rp98 miliar. Sebaliknya, 63,05% populasi (sekitar 170 juta orang) hanya menguasai 12,8% dari total DPK, dengan rata-rata simpanan per orang kurang dari Rp6 juta.
Berdasarkan data itu Program Banteng masih sangat relevan. _Entreprenur_ (wirausaha) di Indonesia hanya sekitar 3,5 juta. Total penduduk 275 juta jiwa. Hanya 1,2–1,3% penduduk Indonesia yang aktif sebagai _entrepreneur_.
Rasio itu jauh di bawah standar global. OECD dan negara maju memiliki 10–15% penduduk aktif sebagai _entrepreneur_. Indonesia menargetkan peningkatan menjadi 3–4% pada 2030.
Program Banteng perlu dihidupkan. Direvitalisasi. Gerakan Banteng 1.0: gerakan awal 1950-an. Ide Sumitro Djojohadikusumo: mencetak pengusaha pribumi. Gerakan Banteng 2.0 adalah saat ini. Reaktualisasi semangat itu di era digital (ekonomi kolaboratif). Langsung melompat (karena sudah tertiggal) ke Gerakan Banteng 5.0. Transformasi penuh ke paradigma Society 5.0: teknologi berpihak pada kemanusiaan untuk bangkitnya _entrepreneur_ pribumi.
Siapa target gerakan ini?. Di sini letak masalahnya selama ini. Kegagalan program Banteng 1.0 (Prof. Sumitro) menyasar kelompok terlalu luas. Ali Baba: program koperasi dan UMKM kurang fokus pada kader yang benar-benar siap. Adi Sasono melakukan reformulasi koperasi (mayoritas KUT). Akan tetapi menghadapi masalah ketidaktepatan target sasaran.
Program Banteng 5.0 harus tepat sasaran. Khususnya fokus jebolan kaderisasi entreneurship. Salah satunya adalah segmen mantan ketua Koperasi Mahasiswa (KOMPA) yang menyeriusi bisnis.
Para aktivis koperasi mahasiswa memiliki visi akademis sekaligus bisnis. Mampu menggabungkan pengetahuan teori dengan praktik bisnis. Memiliki pengalaman manajemen yang matang. Pengalaman organisasi di kampus membuat mereka terbiasa mengatur tim dan keuangan. Memiliki potensi multiplier effect: alumni sukses bisa menjadi mentor bagi _entrepreneur_ baru dan menyebarkan semangat kewirausahaan.
Gerakan Banteng sangat relevan dan diperlukan. Selektivitas target sasaran menjadi kunci. Fokus pada alumni kaderisasi entrepreneurship: mantan ketua koperasi mahasiswa. Segmen ini jumlahnya amat besar. Belum tergarap.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi

