Bernasindonesia.com - Aceh adalah tanah dengan sejarah panjang, luka yang dalam, dan martabat yang tegak. Ia bukan sekadar satu provinsi di ujung barat Indonesia, melainkan simpul penting peradaban Islam di Nusantara.
Populer dengan sebutan “Serambi Mekah”. Pintu masuk dakwah, dan saksi perjumpaan antara iman, kekuasaan, serta pergulatan manusia dengan alam.
Sejarah Aceh juga adalah sejarah tentang ujian—ujian yang datang berlapis. Baik dalam bentuk konflik sosial, bencana alam, maupun keguncangan batin kolektif.
Dalam dua dekade terakhir, Aceh setidaknya mengalami dua bencana besar yang membekas dalam ingatan nasional.
_Pertama_, adalah tsunami 26 Desember 2004. Salah satu bencana alam terbesar dalam sejarah modern dunia. Lebih 230 ribu jiwa meninggal, ratusan ribu kehilangan rumah, dan infrastruktur Aceh luluh lantak.
_Kedua_, adalah rangkaian banjir besar yang kembali melanda berbagai wilayah Aceh, tahun 2025. Membawa lumpur, kayu gelondongan, dan kerusakan ekologis yang nyata.
Kedua peristiwa ini kerap dibaca semata sebagai tragedi kemanusiaan atau kegagalan tata kelola. Namun bagi masyarakat yang hidup dengan kesadaran religius kuat, bencana tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu mengundang tafsir spiritual. Mengapa ini terjadi. Apa pesan Tuhan di baliknya?
Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah Swt., tidak membebani seseorang melampaui kemampuannya. Maka bencana, betapapun dahsyat, bukan sekadar hukuman, melainkan ujian. Bahkan bisa jadi peringatan atau jalan pembuka bagi perubahan yang lebih besar.
Tsunami 2004, dalam banyak pandangan, adalah murni gejala alam. Ia berada sepenuhnya dalam wilayah takdir Tuhan. Manusia tidak memiliki kuasa mencegahnya. Selain kesiapsiagaan dini, sistem peringatan, dan mitigasi risiko agar korban tidak sebesar yang terjadi. Dalam hal ini, umat manusia—bukan hanya Aceh—belajar dengan cara yang paling mahal.
Namun tsunami juga datang pada sebuah konteks sosial-politik yang tidak sederhana. Aceh kala itu sedang berada dalam pusaran konflik berkepanjangan. Sentimen anti-pusat menguat, narasi keterpisahan dibangun. Rasa keterikatan dengan keluarga besar bernama Indonesia kian menipis. Tidak sedikit yang memandang kehadiran negara sebagai beban. Bukan sebagai rumah bersama.
Ironisnya, justru setelah tsunami, ketika Aceh berada di titik nadir, empati nasional dan internasional mengalir tanpa henti. Pemerintah pusat, relawan dari seluruh Indonesia, dan dunia internasional bahu-membahu membantu Aceh bangkit.
Dari tragedi itu pula, konflik bersenjata yang telah berlangsung puluhan tahun akhirnya berakhir. Damai lahir dari luka.
Dua puluh tahun berselang, Aceh kembali diuji melalui bencana banjir besar. Kali ini, tafsirnya menjadi lebih kompleks. Banjir bukan semata peristiwa alam. Ia seringkali merupakan akumulasi dari ulah manusia: deforestasi, pembalakan liar, alih fungsi hutan, dan pembiaran kolektif.
Kayu-kayu besar yang hanyut bersama banjir tidak mungkin berasal dari ruang hampa. Ia menandakan adanya proses panjang yang diketahui—atau setidaknya disadari—oleh banyak pihak.
Di sinilah muncul pertanyaan moral yang lebih tajam: apakah ini dosa kolektif?
Mudah menyalahkan pemerintah pusat, mengaitkannya dengan konsesi hutan atau teori konspirasi. Namun sulit menyangkal bahwa pembalakan liar tidak mungkin terjadi tanpa pengetahuan aparat lokal. Tanpa pembiaran sosial, atau tanpa kompromi moral di tingkat akar rumput.
Ketika kesalahan selalu diarahkan ke luar, sementara refleksi ke dalam dihindari, maka yang lahir bukan perbaikan. Melainkan pengulangan.
Lebih mengkhawatirkan adalah pola respons naratif pasca bencana. Etikad baik pemerintah pusat kembali diremehkan oleh sebagian suara yang membesar di ruang publik. Bantuan nasional dikecilkan, sementara kebutuhan akan bantuan asing dibesar-besarkan. Seolah empati dari keluarga sendiri tidak cukup bermakna.
Padahal, seperti pada tsunami 2004, solidaritas dari seluruh penjuru Indonesia kembali hadir. Mulai relawan, TNI, lembaga kemanusiaan, hingga masyarakat biasa. Presiden sudah hadir tiga kali di lokasi bencana. Mengontrol penuh penanganan bencana.
Pada titik ini, persoalan Aceh tampak bukan semata soal bencana. Melainkan soal rasa syukur.
Aceh diberi Tuhan sebuah keluarga besar bernama Indonesia. Keluarga yang tidak selalu sempurna. Sering berselisih, tetapi tetap hadir ketika salah satu anggotanya jatuh.
Namun alih-alih mensyukuri. Sebagian narasi yang terus dipelihara justru narasi keterpisahan, kecurigaan, dan disintegrasi. Seolah kebersamaan adalah beban, bukan nikmat. Terlepas itu hasil provokasi beragam pihak.
Dalam ajaran agama, nikmat yang tidak disyukuri berisiko dicabut. Bukan karena Tuhan zalim, tetapi karena manusia gagal membaca tanda-tanda-Nya. Bisa jadi bencana bukan yang dicabut terlebih dahulu, melainkan empati.
Bayangkan Aceh yang suatu hari tidak lagi menjadi pusat perhatian nasional ketika dilanda kesulitan. Bukan karena dibenci, tetapi karena rasa kebersamaan telah terkikis perlahan.
Kemerdekaan politik, sebagaimana dibayangkan oleh sebagian pihak, bukan jaminan kesejahteraan. Contoh negara-negara kecil di sekitar Indonesia menunjukkan kemakmuran material sering harus dibayar dengan ketergantungan geopolitik. Menjadi proxy kekuatan besar dunia bukanlah kemerdekaan sejati. Setiap pilihan memiliki harga.
Aceh hari ini berada di persimpangan refleksi. Ia bisa terus merawat luka lama dan kecurigaan, atau menjadikannya pelajaran untuk menumbuhkan kedewasaan kolektif. Bencana, betapapun pahit, selalu membawa peluang untuk kembali kepada nilai-nilai dasar: amanah terhadap alam, tanggung jawab sosial, dan syukur atas persaudaraan.
Mungkin yang paling dibutuhkan Aceh saat ini bukan sekadar bantuan materi, tetapi keberanian untuk bercermin. Bahwa dalam setiap musibah, ada ruang untuk bertanya, bukan hanya “siapa yang salah”. Tetapi “apa yang harus diperbaiki dalam diri kita bersama”.
Bencana akan selalu datang dan pergi. Tetapi cara manusia memaknainya akan menentukan apakah ia menjadi kehancuran, atau justru jalan pulang menuju kebijaksanaan.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi

