Banjir Bandang, Hutan, dan Buffer Zone Ekonomi

| Selasa, 02 Desember 2025 | 11.11 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Ketika musim hujan menuju puncak, masyarakat di banyak daerah kembali dihantui kecemasan berulang: banjir bandang. Bukan sekadar air meluap. Aliran air deras bercampur lumpur, bebatuan, dan potongan kayu. Melaju dari hulu menuju dataran rendah. Menggasak apa pun yang dilewatinya. 


Sebagaimana terjadi akhir November 2025. Rangkaian banjir bandang dan longsor terjadi di beberapa provinsi di Sumatra. Laporan resmi BNPB: per 29 November 2025, 303 orang meninggal dunia. Sumatera Utara tercatat dengan korban jiwa terbanyak: 166 korban. Belum kerugian infrastruktur. 

Fenomena ini terus berulang. Terjadi setiap tahun di banyak daerah. Jika ditelisik lebih dalam, satu penyebab mendasarnya kembali ke persoalan sederhana namun fundamental. *Vegetasi penyangga ekologi yang menipis*.

Berdasar riset digital, dalam teori hidrologi klasik yang dikemukakan Horton (1933) dan dipertegas Hewlett (1982), vegetasi berperan sebagai _*sponge landscape*_. Penyerap air hujan yang memperlambat limpasan permukaan. 

Hutan berfungsi menahan erosi, menyerap curah hujan tinggi, dan menyimpan air di dalam tanah. Ketika tutupan vegetasi hilang atau melemah, kapasitas penahanan air hilang, dan limpasan meningkat secara eksponensial. Pada titik ini, setiap hujan lebat berpotensi berubah menjadi bencana.

Menipisnya vegetasi sering kali tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari pertarungan peruntukan lahan. Konsep yang dalam kajian political ecology dijelaskan oleh Piers Blaikie dan Harold Brookfield (1987). Sebagai kompetisi antara kepentingan ekologis dan tekanan sosial-ekonomi. 

Lahan-lahan dengan kemiringan curam, kawasan hutan lindung, atau zona resapan semestinya menjadi benteng ekologi. Tetapi dalam praktik, kawasan tersebut dibongkar untuk hunian atau aktivitas ekonomi jangka pendek.

Ketika manusia “menang” dalam pertarungan itu, vegetasi penahan longsor dan banjir tersingkir. Pohon, semak, dan sistem akar yang seharusnya menstabilkan tanah diganti bangunan, jalan, atau lahan terbuka. Maka tidak mengherankan jika setelah hujan deras, lereng-lereng gundul melepaskan tanah dan kayu. Menciptakan gelombang lumpur yang menghantam wilayah hilir.

Fenomena ini bukan unik Indonesia. Di Nepal, pembukaan hutan di lereng Himalaya untuk permukiman dan pertanian menyebabkan peningkatan signifikan banjir bandang sejak 1990-an. Pemerintah Nepal kemudian menerapkan zonasi ekologis ketat dan rehabilitasi hutan masyarakat _*(community forest management)*_. Terbukti menurunkan frekuensi banjir dalam dua dekade.

Kerentanan ekologi diperparah keterdesakan ekonomi masyarakat. Hutan dekat pemukiman sering kali dianggap sebagai cadangan ekonomi. “ATM” bagi kebutuhan mendesak masyarakat. 

Ketika pendapatan seret, lapangan kerja minim, atau kebutuhan mendadak muncul, pohon menjadi sumber uang paling cepat. Dipanen, dijual, lalu lahan dibiarkan terbuka.

Dalam perspektif ekonomi sumber daya alam, khususnya teori _*“Household Forest Dependency”*_ dari Angelsen dan Wunder (2003), semakin miskin suatu komunitas, semakin tinggi ketergantungannya pada eksploitasi hutan. Bukan pada pemanfaatan jangka panjang berkelanjutan. 

Pada titik ini tragedi the _*poverty-environment trap*_ terjadi. Masyarakat merusak hutan untuk bertahan hidup. Namun kerusakan itu justru membuat mereka semakin rentan terhadap bencana.

Contoh paralel bisa dilihat di Madagaskar. Tekanan ekonomi membuat masyarakat menebang hutan kering untuk kayu bakar dan pertanian berpindah. Ketika vegetasi menipis, limpasan meningkat, dan banjir bandang menjadi lebih sering menghantam kawasan perkotaan seperti kota Maroantsetra.

Persoalan banjir bandang tidak hanya soal alam, tetapi juga soal struktur ekonomi masyarakat yang belum menyediakan jalur penghidupan alternatif.

Lebih parah ketika aparat bermain. Dalam literatur environmental governance, Ostrom (1990) dan Ribot & Peluso (2003) menunjukkan kerusakan lingkungan sering tidak sekadar disebabkan masyarakat kecil. Tetapi oleh aktor-aktor kuat _*(powerful actors)*_ yang memiliki akses kekuasaan.

Solusi pertama adalah mendisiplinkan zona penyangga ekologi _*(ecological buffer zone)*_. Secara teoritik, konsep ini diperkuat UNESCO melalui program _*Man and Biosphere (1971)*_. Menempatkan _*buffer zone*_ sebagai lingkaran pelindung bagi area inti konservasi.

_*Buffer zone*_ berfungsi menahan tekanan fisik dari aktivitas manusia, mengurangi risiko bencana melalui stabilisasi lahan. Menjadi ruang transisi yang tetap produktif secara ekonomi. Teori ini hanya bekerja efektif jika _*buffer zone*_ tidak hanya ditetapkan. Tetapi juga diinternalisasi oleh masyarakat.

Contoh keberhasilan dapat dilihat di Korea Selatan. Pasca-Perang Korea mengalami deforestasi parah. Pemerintah kemudian menerapkan _*Forest Rehabilitation Policy*_ dengan _*buffer zone*_ ketat dan larangan pembangunan di lereng curam. Hasilnya, hutan Korea Selatan pulih drastis dalam 30 tahun. Angka banjir bandang menurun signifikan.

Gagasan penting berikutnya adalah menghadirkan _*buffer zone ekonomi*_. Wilayah tetap menjaga vegetasi sekaligus menjadi ladang ekonomi masyarakat. Ini titik temu ekologi dan kesejahteraan.

Teori agroforestry diusulkan King dan Chandler (1978) dan dikembangkan World Agroforestry Centre (ICRAF) mengemukakan: menanam pohon bernilai ekonomi tinggi sebagai mata pencaharian dapat menjaga penutupan lahan tanpa merusak fungsinya. Model ini cocok untuk Indonesia. Mengingat banyak jenis pohon lokal yang kuat secara ekologis dan menguntungkan secara ekonomi.

Tanaman seperti: sukun dan alpukat (sumber pangan bernilai pasar tinggi), kemiri (rempah dan bahan industri), dapat menjadi basis ekonomi baru. Tanpa mengorbankan stabilitas tanah dan resapan air.

Di Filipina, program _*Agroforestry Buffer Zone*_ di daerah Mindanao terbukti meningkatkan pendapatan petani hingga 40%. Sekaligus menurunkan laju erosi 60% dalam lima tahun. 

Pendekatan yang sama diterapkan di Kosta Rika. Pohon buah tropis di _*buffer zone*_ menjadi strategi nasional untuk menjaga keanekaragaman hayati. Sekaligus menekan deforestasi.

_*Buffer zone ekonomi*_ bukan hanya solusi ekologis, tetapi juga solusi sosial.

Esensi dari seluruh solusi ini adalah menciptakan jalan tengah yang adil antara kebutuhan manusia dan kebutuhan ekologi. Banjir bandang bukan takdir, melainkan konsekuensi pilihan kebijakan, tekanan ekonomi, dan desain ruang yang keliru.

Jika zona penyangga ekologi ditegakkan dengan disiplin, dan _*buffer zone ekonomi*_ memberikan aliran pendapatan yang stabil. Maka masyarakat memiliki alasan rasional untuk menjaga vegetasi. Pohon bukan lagi korban keterdesakan, tetapi aset yang memberi penghidupan.

Melalui konsep _*Buffer zone ekonomi*_, masyarakat dapat bertahan hidup tanpa merusak ketahanan ekologis. Hutan dapat menjalankan kembali perannya sebagai penjaga bumi. Konsep itu sudah lama ada. Tapi prakteknya memang tidak sederhana. 

Oleh: Abdul Rohman Sukardi 


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI