Candi dan Pergeseran Tata Cara Ibadah

| Senin, 15 Desember 2025 | 08.11 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Candi-candi di Nusantara bukan sekadar benda purbakala yang berdiri diam di balik waktu. Ia warisan peradaban kerajaan-kerajaan Nusantara dan masyarakatnya. Dibangun sebagai tempat ibadah resmi kerajaan dan rakyat dalam satu kesatuan kosmologi spiritual. 


Candi pada hakikatnya bukan milik agama tertentu. Melainkan milik budaya dan masyarakat yang hidup pada masa itu. Beserta keturunannya yang meneruskan kehidupan di wilayah tersebut.

Secara teoretik, posisi ini didukung kajian antropologi politik—khususnya teori _*“ritual sovereignty”.*_ Teori itu menegaskan pada masyarakat pra-modern, bangunan suci adalah milik kerajaan sebagai pusat otoritas. Bukan milik organisasi agama formal. Karena institusi agama modern belum terbentuk. 

Candi adalah ruang spiritual negara dan masyarakat. Bukan institusi agama tertentu dalam pengertian kontemporer.

Dalam tradisi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, Candi dibangun bukan sebagai “rumah ibadah agama formal” seperti pura pada masa kini. Melainkan sebagai tempat ibadah kerajaan, tempat ritual kenegaraan, pemujaan terhadap Tuhan. Penghubung dunia ilahi, dan pusat kegiatan spiritual masyarakat. 

Candi adalah bagian dari struktur kekuasaan dan kehidupan sosial. Mencerminkan keyakinan raja, bangsawan, dan rakyat yang hidup di masa itu.

Pada abad-abad kejayaan Mataram Kuno, Singhasari, Majapahit, Galuh-Pajajaran, dan kerajaan lainnya, candi adalah tempat menjalankan ritual suci kerajaan. Ia dibangun raja dan diperuntukkan bagi masyarakat dalam radius pengaruhnya. Candi adalah milik politik dan budaya. Bukan milik agama dalam pengertian modern.

Justifikasi ini selaras teori arkeologi negara klasik (misalnya model yang dikemukakan Renfrew & Cherry). Melihat bangunan monumental sebagai simbol kedaulatan, legitimasi kekuasaan, dan ruang berkumpul spiritual masyarakat. Bukan sebagai properti keagamaan eksklusif.

Ketika raja beragama tertentu, tata cara ibadah kerajaan mengikuti agama raja tersebut. Bila pengaruh Buddhisme dominan, ritual Buddhis terasa kuat. Bila Śiwaisme atau Hindu Jawa berpengaruh, arsitektur dan ritualnya menyesuaikan. Semuanya tetap dalam koridor budaya Jawa dan Nusantara yang bersifat sinkretik dan plural. Tercermin dalam prinsip kuno Bhinneka Tunggal Ika yang menekankan kesatuan dalam perbedaan.

Karenanya Candi bukan milik eksklusif salah satu agama. Ia tidak pernah dibangun dalam konteks agama modern yang terpisah seperti hari ini. Ia dibangun dalam konteks kerajaan, budaya, dan masyarakat.

Ketika kerajaan-kerajaan Nusantara memasuki fase Islamisasi pada abad ke-14 sampai ke-16, raja-raja Jawa, Sunda, dan wilayah lain memeluk Islam. Masyarakat pun berubah keyakinannya secara bertahap. Perubahan tata cara ibadah ini sah dan wajar, bagian dari perjalanan sejarah bangsa.

Secara teoretik, bisa dijelaskan oleh teori kontinuitas kebudayaan dalam antropologi. Bahwa ruang budaya dan ruang suci tetap milik masyarakat meskipun sistem kepercayaannya berubah. Pergantian agama tidak menghapus hak masyarakat atas ruang leluhurnya.

Candi dibangun sebagai tempat ritual masyarakat dan kerajaan. Bukan tempat ibadah agama tertentu. Maka ketika masyarakat berubah keyakinan, tidak ada larangan historis maupun filosofis bagi mereka tetap menggunakan candi sebagai ruang spiritual sesuai tata cara ibadahnya yang baru. Mereka pewaris sah ruang itu. 

Ini dikarenakan Candi dibangun oleh raja-raja Nusantara, bukan oleh lembaga agama modern. Candi dibangun untuk masyarakat di wilayahnya, bukan untuk kelompok eksklusif tertentu. Keturunan masyarakat itu masih hidup hingga sekarang, meskipun tata cara ibadahnya berubah.

Dari perspektif teori budaya, selaras dengan konsep _*“ritual adaptation”.*_ Ialah perubahan tata cara ibadah sesuai dinamika masyarakat tanpa kehilangan hubungan dengan ruang sakral leluhur.

Beberapa waktu lalu muncul penolakan kegiatan sholawatan di kompleks Candi Prambanan. Alasannya Prambanan adalah _*“candi Hindu”.*_ Karena itu tidak boleh dipakai masyarakat non-Hindu. Pandangan seperti ini lahir dari kesalahpahaman terhadap fungsi historis candi.

Prambanan memang memiliki bentuk pemujaan Śiwa pada masa pembangunannya. Tetapi itu tidak menjadikan candi sebagai rumah ibadah eksklusif agama Hindu modern. Ia adalah bangunan kerajaan Mataram Kuna. Pada masa ketika agama dan budaya tidak terpisah secara rigid seperti sekarang.

Secara teoretik, kesalahpahaman ini muncul karena menerapkan model agama modern ke struktur keagamaan masa klasik. Padahal, dalam teori sejarah agama, agama pada masa pra-modern bersifat _*cultural religion*_, bukan _*institutional religion*_. Karena itu tidak ada “kepemilikan agama” terhadap candi.

Menolak masyarakat lokal beribadah di ruang yang secara historis merupakan bagian dari warisan leluhur mereka sendiri adalah tindakan yang secara budaya kurang tepat. Itu sama saja memutus hubungan masyarakat dengan sejarahnya sendiri. 

Candi bukan pura. Candi bukan klenteng. Candi bukan gereja. Candi bukan masjid.

Candi adalah tempat ibadah leluhur Nusantara. Titik temu kosmologi dan politik Kerajaan. Candi menjadi warisan budaya seluruh bangsa. Termasuk masyarakat lokal yang beragama berbeda dari nenek moyangnya.

Dalam konteks kekinian, candi dapat menjadi ruang edukasi, pemujaan, seremoni budaya, sekaligus ruang refleksi spiritual. Selama menjaga kelestarian cagar budaya.

Dalam teori pelestarian budaya, hal ini sesuai dengan konsep _*“living heritage”.*_ Bahwa situs budaya tidak boleh diperlakukan sebagai benda mati. Tetapi harus tetap hidup bersama masyarakatnya, termasuk secara spiritual.

Bisa disimpulkan Candi adalah ruang ibadah masa lalu. Dibangun kerajaan dan masyarakat Nusantara. Ia bukan milik agama tertentu, melainkan bagian dari budaya dan sejarah bangsa. 

Secara teoretik maupun historis, Candi adalah ruang sakral sosial-politik Kerajaan. Bukan rumah ibadah eksklusif sebagaimana konsep agama modern.

Candi sebagai ruang spiritual milik kerajaan dan masyarakatnya. Sehingga kegiatan budaya atau spiritual masyarakat lokal tetap memiliki legitimasi sosial dan sejarah.

Ketika raja dan rakyat berubah tata cara ibadahnya, penggunaan candi sebagai ruang spiritual menurut keyakinan mereka yang baru adalah sah dan wajar. Selaras dengan sejarah panjang bangsa ini.

Penolakan terhadap kegiatan spiritual masyarakat — seperti sholawatan di Prambanan — tidak seharusnya terjadi. Candi adalah ruang leluhur, milik masyarakatnya, dan warisan budaya bangsa yang harus dihormati bersama. Ia tempat yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Sekaligus ruang yang mengandung nilai spiritual universal yang tidak boleh dimonopoli satu agama tertentu.

Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI