Bernasindonesia.com - Hoaks telah menjelma menjadi salah satu krisis paling serius dalam sejarah peradaban manusia modern. Ia bukan lagi sekadar kesalahan informasi individual. Melainkan fenomena global yang berdampak langsung pada miliaran manusia.
Berbagai survei internasional menunjukkan sekitar 80–86 persen pengguna internet di dunia pernah terpapar hoaks atau misinformasi. Hampir 70 persen masyarakat global menyatakan kekhawatiran serius terhadap maraknya informasi palsu di media sosial.
Di kawasan Asia-Pasifik, lebih 80 persen pengguna media sosial mengaku sering menjumpai berita palsu. Angka-angka ini menegaskan hoaks telah menjadi pengalaman kolektif umat manusia. Bukan lagi kasus pengecualian.
Kondisi di Indonesia memperlihatkan gambaran sama. Bahkan dalam beberapa aspek lebih mengkhawatirkan. Data pemerintah menunjukkan sejak 2018 hingga beberapa tahun terakhir, lebih 12 ribu konten hoaks telah diidentifikasi dan ditangani. Setiap tahun, ribuan hoaks baru bermunculan. Terutama pada isu kesehatan, politik, dan bencana.
Survei Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan _*Katadata Insight Center*_ (2022) menunjukkan 50 persen pengguna internet Indonesia pernah terpapar hoaks. Hanya 20–30 persen yang benar-benar mampu mengenali dan membedakan informasi palsu dari yang benar. Lebih 40 persen masyarakat Indonesia bahkan mengaku masih mempercayai berita hoaks. Ini berarti jutaan orang tidak hanya terdampak, tetapi juga terpengaruh secara nyata oleh kebohongan.
Statistik tersebut menunjukkan hoaks telah menjadi kekuatan sosial yang membentuk cara berpikir manusia. Bahaya hoaks bagi peradaban perlu dipahami secara sistematis.
_Pertama_, hoaks menghancurkan kebenaran sebagai fondasi peradaban. Peradaban manusia hanya dapat bertahan jika keputusan kolektif dibangun di atas fakta. Ketika jutaan orang setiap hari terpapar informasi palsu, batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur.
Opini pribadi diperlakukan setara data ilmiah. Viralitas menggantikan validitas. Masyarakat kehilangan kompas intelektualnya.
_Kedua_, hoaks meruntuhkan kepercayaan sosial. Data menunjukkan tingginya paparan hoaks berbanding lurus dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap media, pemerintah, dan institusi ilmu pengetahuan. Ketika kepercayaan hilang, solidaritas melemah. Masyarakat saling curiga, mudah terprovokasi, dan terpolarisasi. Peradaban tanpa kepercayaan adalah peradaban yang rapuh.
_Ketiga_, hoaks merusak rasionalitas dan budaya berpikir kritis. Paparan informasi palsu secara terus-menerus membuat masyarakat terbiasa bereaksi secara emosional. Ketakutan, kemarahan, dan fanatisme lebih dominan daripada nalar. Dalam jangka panjang akan melahirkan generasi mudah dimanipulasi. Tetapi sulit diajak berdialog secara rasional.
_Keempat_, hoaks menimbulkan dampak nyata terhadap keselamatan manusia. Hoaks kesehatan mendorong penolakan terhadap vaksin dan pengobatan ilmiah. Hoaks bencana memicu kepanikan massal. Hoaks kriminal dan sosial sering berujung pada tindakan main hakim sendiri. Hoaks tidak lagi bersifat abstrak. Tetapi berkontribusi langsung pada penderitaan dan hilangnya nyawa manusia.
_Kelima_, hoaks merusak demokrasi dan tata kelola masyarakat. Manipulasi informasi digunakan untuk membentuk opini publik, memperdalam polarisasi politik, dan melemahkan legitimasi proses demokrasi. Ketika masyarakat tidak lagi sepakat tentang fakta dasar, dialog publik berubah menjadi konflik permanen. Ini membuka jalan bagi instabilitas dan otoritarianisme.
_Keenam_, hoaks menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan masa depan peradaban. Ketika sains disamakan opini dan para ahli dicurigai, maka inovasi melambat. Peradaban tidak runtuh karena kekurangan teknologi, tetapi karena hilangnya komitmen terhadap kebenaran.
Di tengah krisis ini, Islam memiliki sikap tegas. Islam tidak hanya melarang kebohongan sebagai dosa individual. Tetapi juga menolak peradaban yang dibangun di atas kebohongan. Al-Qur’an memerintahkan tabayyun, verifikasi informasi (QS Al-Hujurāt: 6). Agar masyarakat tidak terjerumus penyesalan dan kerusakan sosial. Kebenaran sebagai syarat utama kehidupan bersama.
Islam melarang mengikuti dan menyebarkan sesuatu tanpa ilmu. Setiap pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban (QS. Al-Isrā’ (17): 36). Sejarah Islam mencatat dampak dahsyat hoaks melalui peristiwa haditsul ifk (peristiwa fitnah: hoaks besar) menimpa Sayyidah ‘Aisyah RA. Hampir mengguncang keutuhan masyarakat Madinah. Al-Qur’an menegaskan kebohongan yang dianggap ringan oleh manusia adalah perkara besar di sisi Allah (QS. An-Nūr (24): 15).
Al-Qur’an menegaskan kebohongan bertentangan langsung dengan tujuan pembentukan masyarakat beriman. Dalam Surah Al-Ahzab ayat 70, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk berkata benar. Ucapan yang lurus dan jujur diposisikan sebagai fondasi masyarakat beradab.
Surah An-Nur ayat 19 memberikan ancaman keras bagi mereka yang senang menyebarkan keburukan di tengah masyarakat. Hoaks, pada hakikatnya menyebarkan keburukan dan kerusakan, ditempatkan sebagai perbuatan mengundang azab.
Nabi Muhammad ﷺ memperkuat ketentuan Al-Qur’an tersebut melalui hadits-hadits shahih. HR Imam Muslim (Shahih Muslim no. 5), Rasulullah ﷺ bersabda: “cukuplah seseorang dianggap berdusta apabila ia menceritakan semua yang ia dengar”. Maksudnya menyebarluaskan informasi yang didengar tanpa verifikasi dan seleksi. Hadits ini menjadi rujukan utama para ulama dalam melarang penyebaran informasi tanpa verifikasi.
HR Imam Al-Bukhari (Shahih Bukhari no. 6094) dan Imam Muslim (Shahih Muslim no. 2607), Rasulullah ﷺ menegaskan kejujuran membawa kepada kebaikan dan surga. Sedangkan kebohongan membawa kepada kejahatan dan neraka. Ancaman lebih keras digambarkan dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari (Shahih Bukhari no. 7047). Azab bagi orang yang berdusta dan menyebarkan kedustaannya hingga menjangkau banyak orang.
Rasulullah ﷺ menyebut kebohongan sebagai salah satu tanda kemunafikan: HR Imam Al-Bukhari (Shahih Bukhari no. 33) dan Imam Muslim (Shahih Muslim no. 59). Larangan menyakiti orang lain dengan lisan ditegaskan HR Imam Muslim (Shahih Muslim no. 2564). Bahwa seorang muslim sejati adalah mereka yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.
Melalui rujukan Al-Qur’an dan hadits shahih, Islam menolak hoaks dan kebohongan dalam bentuk apa pun. Baik sebagai perilaku individu maupun sebagai fondasi peradaban.
Peradaban Islam hanya mungkin berdiri di atas iman, ilmu, dan kejujuran. Ketika kebohongan dijadikan sistem dan budaya, peradaban itu kehilangan legitimasi moral dan spiritualnya. Di era digital, komitmen terhadap kebenaran bukan hanya tuntutan etika sosial. Tetapi kewajiban akidah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Islam bukan hanya menolak hoaks sebagai perilaku individu. Tetapi menolak peradaban hoaks secara total. Penolakan ini bersifat prinsipil dan normatif. Islam memandang informasi sebagai amanah yang menentukan keselamatan akal, jiwa, dan tatanan sosial manusia.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi

