Bernasindonesia.com - Saudaraku, hidup kita di dunia ini tak lebih dari uap pagi: sekejap berkilau disentuh cahaya, lantas lenyap ditelan udara.
Membaca buku A (Very) Short History of Life on Earth karya Henry Gee mengusik relung batin—antara takzim dan gentar. Sebab jangankan usia seorang manusia, bahkan umur spesies Homo sapiens—yang baru menjejak sekitar tiga ratus ribu tahun lalu—hanyalah kedipan mata dalam bentangan panjang sejarah bumi yang berusia 4,6 miliar tahun, penuh sambung-putus lahir dan lenyapnya kehidupan.
Andaikan riwayat bumi kita padatkan menjadi sebuah kalender tahunan, maka manusia baru muncul sekitar tanggal 25 Desember. Dan hidup kita masing-masing hadir hanya sepersekian detik menjelang dentang tengah malam 31 Desember. Betapa rapuh, betapa sekelebat.
Lantas, bagaimana seharusnya kita memaknai hidup sependek embun ini?
Di satu sisi, kita perlu meneguhkan ketabahan. Kekacauan dan kepunahan adalah bagian dari irama kosmik kehidupan. Bumi telah lima kali melewati “kiamat kecil”—kepunahan massal yang menyapu hampir seluruh hayat. Kini, kita seakan duduk di ruang tunggu menuju kepunahan massal keenam.
Namun ruang tunggu ini bukan semata takdir alam. Kita telah memasuki era Antroposen—zaman ketika ulah manusia mengacau tatanan hukum alam dan hadir sebagai kekuatan geologis. Kiamat yang dahulu datang perlahan kini bisa dipacu oleh keserakahan, ketidakpedulian, dan lupa diri manusia terhadap batas-batas bumi.
Meski begitu, sejarah juga mengajarkan daya lenting kehidupan. Dari puing-puing kehancuran, selalu ada benih hayati—seperti cyanobacteria purba—yang bertahan dan merintis dunia baru.
Sebagai makhluk yang sadar akan diri dan tempatnya di semesta, kita tak dipanggil sekadar menunggu. Kita dipanggil merawat bumi, agar kerusakan tak berlari lebih cepat dari kesanggupan alam memulihkan diri.
Dan hidup yang singkat ini janganlah menjelma ruang tunggu kesia-siaan. Kita semua berada di kapal rapuh yang sama, berlayar singkat menuju kefanaan. Karena itu, hanya dengan rasa senasib sepenanggungan—saling mencintai, berbagi, dan bekerja sama—kita bisa merajut kebahagiaan di dunia, seraya menambatkan harap akan nirwana di seberang sana.
Oleh: Yudi Latif

