Bernasindonesia.com - Mendatangi Terminal 1C Bandara Soetta beberapa hari lalu, saya terkejut dan kagum pada bentuk akhir versi renovasi terminal ini. Desain intertior dikerjakan dengan sangat baik. Bentuk dasar tidak diubah, tapi tambahan ornamen-ornamennya di banyak bagian sangat serasi, tepat mengikuti irama desain awal, dengan detail-detail yang proporsional, tidak berlebihan dan tidak ada elemen yang mengejutkan secara tak perlu.
Dinding meja konter, misalnya, dilapisi anyaman bambu asli (bukan plastik bermotif bambu); begitu juga seluruh plafon. Seluruh lantai diberi keramik krem baru, tetapi di beberapa bagian tengah disisakan jalur lantai asli, dari kepingan-kepingan terakota yang tetap terasa baik setelah 40 tahun berlalu. Bagian-bagian dinding diperbarui, dengan diberi warna-warna tanah — coklat, abu-abu muda, krem.
Ditambah dengan taman kecil yang penuh berisi tanaman asli (bukan pohon dan kembang plastik seperti di Terminal 3 itu), maka keseluruhan lounge T 1C ini benar-benar nyaman dan menyajikan ambience yang menyenangkan.
Situasinya jauh lebih baik dibanding T3 yang dibangga-banggakan sebagai “The Ultimate Airport” itu; suatu predikat yang menyesatkan — dengan dinding-dinding yang hampir semuanya bergelombang karena dikerjakan dengan malas dan buruk; dengan taman-taman mini palsu yang menjengkelkan (suatu ironi besar bagi bandara di negeri kaya fauna), dengan jarak ke ruang tunggu yang sangat jauh (juga ketika kita turun dari pesawat), dengan ornamen-ornamen dinding yang sekenanya, dengan plafon yang terlalu rendah di beberapa bagian — dan tentu saja dengan detail-detail pengerjaan teknis yang cukup mencolok keburukannya.
Pertanyaan sekarang tinggal satu: mengapa “InJourney”, atau siapapun yang mengelola Bandara Soekarno-Hatta, tidak segera merenovasi Terminal 1 A dan B dan juga Terminal 2, dengan model renovasi T 1C?
Mudah-mudahan pengelola bandara bersedia untuk secepatnya menjadikan terminal-terminal itu pantas sebagai sebuah airport ibukota — dan bukan terus membiarkannya seperti terminal Pulogadung. ***
Oleh: Hamid Basyaib

