BernasIndonesia.com - Kemarin (25/05/2018) RUU tentang Terorisme sudah disahkan dalam sidang paripurna DPR menjadi undang-undang, sebagai pengganti UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG.
Banyak kelemahan UU Nomor 15 Tahun 2003, karena dibuat mendesak dan berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk menghadapi kasus – kasus teroris yang cukup meningkat pada waktu itu dan berlangsung musiman sampai saat ini.
Densus 88 Polisi yang dibentuk sebagai wujud dari UU Nomor 15 Tahun 2003 bergerak cepat mencari dan menemukenali para teroris pada saat sudah terjadi ledakan bom di berbagai tempat umum. Densus 88 banyak berberak di wilayah hilir yaitu sudah terjadinya bom atau serangan bersenjata di lokasi vital dan publik area.
Langkah itu tidak cukup, pemerintah lalu membentuk badan khusus yang bernama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bertanggungjawab langsung pada presiden dan sehari-hari dibawah koordinasi Menko Polhukam. Sinkronisasi tugas BNPT dan Densus 88 Kepolisian, dan menempatkan Kepala BNPT jenderal Polisi dalam rangka memperkuat kesatuan komando.
Dalam perjalanannya, upaya penanganan yang sifatnya di hilir tidak efektif karena upaya tangkal tidak maksimal dilakukan sehingga jatuh dulu korban baru action. Peran intel BIN dan atau BAIS dalam skala tertentu, tidak kita dengar gaungnya untuk deteksi dini agar bom jangan sempat meledak, dan serangan teroris dapat dilumpuhkan sebelum beraksi.
Tetapi yang pasti payung hukum UU 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Teroris tidak memberikan kekuasaan pihak kepolisian bermain di tataran hulu atau pencegahan. Dengan melakukan penangkapan, penahanan dan penyadapan terhadap mereka yang “potensial” dicurigai dan berbahaya serta berpeluang melakukan gerakan teror.
Dua tahun yang lalu, pemerintah mengajukan revisi UU Nomor 15 Tahun 20123, dan mengajukan RUU tentang Terorisme ke DPR untuk dibahas bersama. Dibentuklah Pansus dengan Ketua Pansusnya adalah Muhammad Raden Syafii dipanggil akrab Romo salah satu anggota Komisi III DPR dari fraksi Gerindra. (Kebetulan Romo adalah Ketua Umum PP IKA USU, dan saya adalah Ketua Hariannya).
Ternyata pembahasannya berlarut- larut dan memberi kesan seolah-olah DPR yang menunda RUU tersebut. Bayangkan RUU 2 tahun tidak clear. Saya sudah mendapatkan banyak informasi dari Romo kenapa RUU tersebut tidak selesai selama dua tahun. Tetapi saya tidak ingin mengungkapkannya. Bak pepatah melayu “biarlah pecah di perut asalkan jangan pecah di mulut”.
Ledakan bom bunh diri di Surabaya, di tiga tempat Gereja dan Mapolres yang menyebabkan korban jiwa belasan orang beberapa waktu yang lalu, menyebabkan Presiden Jokowi jengkel dan sewot karena tidak clearnya RUU Terorisme yang diharapkan sebagai payung hukum upaya pencegahan. Entah apa yang dilaporkan Kapolri dan menko Polhukam kepada Presiden, maka keluarlah perintah Presiden kepadas DPR agar segera menuntaskan RUU Terorisme, kalau tidak saya akan terbitkan Perppu.
Ketua Pansus DPR tersengat. Beredarlah di video penjelasan beliau tentang duduk persoalan kenapa lelet menyelesaikan RUU tersebut. Ternyata persoalannya ada di Panja Pemerintah yang ketuanya Menkumham. Beredar di medsos surat Kemenkumham ke DPR untuk meminta menunda pembahasan berkali-kali dengan alasan pihak Pemerintah belum satu pendapat, terutama soal definisi Terorisme.
Bagi Pemerintah khususnya yang duduk dalam Panja Pemerintah, merupakan sodokan dari dua sisi. Dari Presiden dan dari DPR. Apakah Panja Pemerintah tidak melaporkan kepada Presiden tentang belum satu bahasanya unsur pemerintah tentang beberapa pasal khususnya definisi Terorisme. Atau memang strategi Presiden melemparkan “move” Perpu ke Pansus DPR dan sudah diduga oleh Presiden, bola panas akan dilemparkan lagi oleh Pansus ke Panja Pemerintah?.
Semua itu dapat kita baca di media sosial dan media cetak. Bagaimana tarik-tarikan kepentingan dalam RUU Terorisme oleh berbagai stakeholder sudah sangat kuat dan selesai dengan terjadinya bom bunuh diri di Surabaya yang merengut jiwa. Sungguh memilukan.
Terorisme, persoalan dunia
Mari kita simak definisi Terorisme menurut UU Terorisme yang baru. Terorisme adalah: “perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”_
Dari definisi tersebut kata kuncinya yaitu perbuatan untuk kekerasan maupun ancaman, ada teror, ada rasa takut yang luas, korban yang banyak (massal), daya rusak terhadap sarana vital dan strategis, lingkungan hidup, sarana publik atau internasional. Kata kunci ini tidak cukup harus dicantumkan terkait motif. Ada 3 motif sendiri atau kumulatif yaitu politik, ideologi, dan gangguan keamanan. Jadi soal motif ini, memang menarik, karena ada yang intangible. Sehingga memerlukan kemampuan keahlian lintas disiplin ilmu, dan profesi untuk merumuskannya menjadi bentuk yang tangible.
Dengan definisi di atas, dan berbagai pasal yang melibatkan banyak pihak untuk turut di dalamnya termasuk TNI, BNPT, dan pengadilan dalam proses penyadapan bahkan juga Jaksa, serta DPR untuk melakukan pengawasannya. Karena wewenang yang diberikan kepada pihak-pihak pelaksana sangat besar dan dapat berbenturan dengan HAM. Tetapi memang UU Terorisme tersebut suatu kebutuhan untuk menjawab titik lemah penanganan terorisme selama ini.
Penanganan terorisme bagi Indonesia adalah suatu keniscayaan. Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia tentu harus bersinergi dalam memerangi terorisme yang sudah sempat menghantui dunia Internasional.
Kita lihat perjalanan terorisme di dunia. Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban.
Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana.
Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania.
Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap “Simbol Amerika”. Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tetapi juga dunia.
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional
Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism. (sumber Wikipedia)
Tidak terkecuali Indonesia, dengan bantuan pemerintah Amerika dan Australia dibentuklah pasukan khusus dari satuan Brimob yang disebut dengan Densus 88. Dipersanjati dan perlengkapan yang canggih, sehingga Densus 88 terkenal sebagai pasukan khusus elite kepolisian yang mungkin dari sisi perlengkapan membuat pasukan elite antiteroris TNI merasa “iri” tetapi boleh jadi dari sisi kemampuan menangani teroris lebih “canggih”. Namun TNI dibatasi oleh UU yang ada.
UU Terorisme yang baru disahkan memberi ruang yang cukup Koopusgab TNI ikut menangani Terorisme sesuai dengan skala ancaman yang dihadapi. Untuk pengaturan pelaksanaan teknisnya, akan diterbitkan Perpres oleh Presiden Jokowi. Pegiat HAM banyak yang khawatir jangan sampai Perpres tentang keterlibatan TNI menangani Teroris melampui wewenang yang diatur dalam Undang-Undang. Suatu kekhawatiran yang wajar tetapi berlebihan, karena Perpresnya sendiri belum turun.
Bagi kelompok masyarakat, atau sekumpulan orang, atau sesorang yang berniat menjadi Teroris apapun alasan dan pertimbangannya, hentikanlah keinginan tersebut. Jika ada yang tidak puas atas kebijakan pemerintah selama ini, sampaikan dan salurkan melaui jalur konstitusional, ada perwakilan rakyat, ada partai-partai politik, dan Ormas yang dapat menampung dan memperjuangkan agar dilakukan koreksi dan perbaikan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Jangan sampai peluru yang di tangan Densus 88 yang dibeli dari uang rakyat, terpaksa digunakan untuk menembak rakyatnya sendiri yang menjadi teroris.
BNPT tentu mempunyai kerja yang lebih berat, lebih mengedepankan program-program advokasi untuk mereduksi bahkan menghilangkan pola pikir radikal dan ekstrim dalam masyarakat. Caranya tentu dengan mengajak dialog, libatkan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, secara simultan dan terus-menerus. Jangan pendekaan proyek, sebab biasanya jika uangnya habis proyek lantas berhenti. Dan yang lebih penting lagi, jangan cepat-cepat memberikan cap kepada kelompok masyarakat sebagai ekstrimis, radikal dan teroris tanpa melaui suatu penilaian yang mendalam.
Sebagai contoh sikap yang kurang elok ditunjukan BNPT baru-baru ini di suatu diskusi. Pejabat BNPT menyebutkan bahwa PT Negeri UI, IPB, ITB, UGM, UNDIP, UNAIR sudah disusupi paham radikalisme. Suatu statemen dari seorang pejabat publik yang tidak bijak dan menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya di kampus yang bersangkutan.
Semoga Indonesia terbebaskan dari Terorisme. Insya Allah.
Oleh: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
(Dosen AN FISIP UNAS –Pemerhati Kebijakan Publik)