Pengamat Minta KPU Perhatikan UU Soal Eks Napi Korupsi Maju di Pilkada

| Jumat, 15 November 2019 | 01.06 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Indonesian Publik Institute (IPI) menggelar disukusi publik bertajuk "Mengupas Polemik Larangan Eks Narapidana Korupsi Maju di Pilkada" di Resto Namani Ramen, Hotel Ibis Budget, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2019).

Hadir sebagai narasumber Pakar HTN Universitas Indonesia Margarito Kamis, Pengamat Politik VOXPOL CENTER Pangi Syarwi, Direktur Sinergi Data Indonesia (SDI) Barkah Pattimahu, dan Direktur Eksekutif IPI Karyono Wibowo.

Karyono mempertanyakan motif dibalik ngototnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ingin mengeluarkan paraturan larangan kepada manyan narapidana korupsi untuk maju menjadi calon kepala daerah.

Menurut Karyono, mungkin maksud KPU dengan melarang mantan napi korupsi maju di pilkada untuk mencegah terjadinya korupsi dan menghasilkan Pilkada yang melahirkan pemimpin yang bersih.

"Dalam konteks itu tentu saja saya setuju, dan mungkin kita semua setuju, bahwa korupsi harus diberantas, korupsi harus dicegah, dalam hal itu saya sepakat," kata Karyono.

Akan tetapi, kata Karyono, KPU juga harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada. UU nomor 10 tahun 2016 tentang pilkada itu jelas diatur tentang syarat pencalonan gubernur/wakil gubwenur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.

"Ada syarat-syaratnya, termasuk diantaranya adalah syarat bagi para calon jika menjadi napi kejahatan narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan kejahatan korupsi," ujarnya.

Tetapi, lanjut dia, UU sudah mengadopsi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dimana ada beberapa putusan MK yang membatalkan pasal-pasal di UU Pilkada. Misalnya, ada 2 putusan MK, yang pertama pada tahun 2015 mengabulkan permohonan dari mantan napi korupsi, yang mengajukan permohonan.

"Lalu MK juga pada tahun 2016 mengabulkan permohonan bagi mantan napi kasus korupsi, lalu kemudian kembali lagi boleh mencalonkan diri sejauh si mantan koruptor tersebut menunjukkan kepada publik bahwa dirinya adalah mantan narapidana korupsi," terang Karyono.

Selain itu, pada tahun 2018 ketika KPU membuat peraturan KPU nomor 20 tahun 2018 yang melarang eks napi korupsi ikut dalam pemilu legislatif, Mahkamah Agung (MA) membatalkan PKPU nomor 20 tahun 2018. Pada saat itu ada seorang caleg DPRD dari partai Gerindra Muhammad Taufik, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung, dan dikabulkan.

"Dan dengan demikian MA membatalkan PKPU No 20 tahun 2018," ucap Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) itu.

Menurut Karyono, semestinya KPU memperhatikan aspek-aspek hukum yang sudah ada. Karenanya, dia memprediksi, revisi PKPU kemungkinan akan digugat lagi oleh beberapa pihak yang merasa dirugikan, yang merasa bahwa PKPU tersebut menabrak UU dan putusan Mahkamah Konstitusi.

"Nah saya memprediksi rancangan PKPU tersebut akan kembali dibatalkan oleh lembaga hukum, apakah itu MA atau MK," sebutnya.

Yang menarik, kata Karyono, ketika UU membolehkan mantan napi korupsi maju di pilkada, sejauh dia mengemukakan bahwa dirinya adalah mantan narapidana sejauh dalam vonis pengadilan itu hak politiknya tidak dicabut oleh pengadilan, tetapi KPU tetap memaksakan memasukkan pasal tentang larangan eks napi korupsi ikut pilkada.

"Apakah supaya dilihàt bahwa KPU bersih, atau sekedar untuk mencari popularitas, atau ada agenda lain di balik itu semua. Nah ini yang saya tertarik untuk mengungkap apa motivasi KPU kok terkesan memaksakan," tuturnya.

"Kalau saran saya, mestinya KPU fokus pada tugas dan fungsi pokoknya, yaitu melaksanakan pemilu yang bersih, berkualitas," tambahnya.

Karyono kemudian menjelaskan soal Pilkada 2018 san Pemilu 2019 yang menyisakan banyak persoalan. Seperti, banyaknya petugas KPPS yang meninggal.

"Saya kira KPU lebih baik fokus ke masalah ini. Lalu kemudian bagaimana KPU lebih fokus membuat peraturan atau sistem pemilu yang meminimalisir biaya politik yang sangat tinggi, high cost politik," katanya.

Karena, kata dia, kalau KPU mampu merumuskan satu sistem pemilu yang bisa meminimalisir biaya politik yang tinggi, maka dengan sendirinya KPU berperan juga dalam pencegahan korupsi.

"Kenapa, karena salah satu faktor yang menyebabkan kepala daerah itu banyak terjebak dalam kasus korupsi salah satu faktornya adalah biaya politik yang sangat mahal. Menurut saya ini yang harus menjadi perhatian KPU, membuat suatu sistem pemilu yang efisien dan berkualitas," pungkasnya. (BSI)
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI