Copot Satu, Pasang Seribu

| Senin, 23 November 2020 | 15.44 WIB

Bagikan:

 

Bernasindonesia.com - Habib Rizieq Shihab (HRS) didaulat menjadi tokoh fenomenal. Sejumlah pihak melihatnya demikian. Tidak hanya Islam kanan, Islam tengah mulai tertarik. Begitu juga sejumlah tokoh non muslim. Meski pro dan kontra tetap saja sangat kental. Setiap tokoh fenomenal selalu menuai pro kontra. Itu hukum sosial.


Sebagai pendiri FPI, HRS sudah lama dikenal. Namun, hadir dan perannya tak banyak yang memperhatikan. Hanya kalangan tertentu yang melihat sepak terjangnya. Sebab, pilihan "nahi mungkar" yang jadi ciri khas FPI lebih banyak menuai kontroversi dan seringkali kurang disenangi. Tuduhan radikal harus HRS dan FPI hadapi. 


Fenomena HRS muncul dan dapat perhatian besar ketika terjadi peristiwa Aksi Bela Al-Quran 212. Lalu menjadi Aksi Bela Islam. Didampingi Ustaz Bachtiar Nasir, HRS manghipnotis massa. Sekitar tujuh juta massa hadir di Monas. Ini sejarah yang dicatat oleh bangsa ini. Sebuah peristiwa langka. Belum pernah terjadi sebelumnya. 


Pasca 212, HRS makin mendapat perhatian publik. Terutama saat 17 kasus yang konon katanya kental nuansa kriminalisasinya dibidikkan kepada HRS. Hari demi hari media memberitakan. Hingga kemudian, HRS hijrah ke Arab Saudi karena suatu alasan. Alasan apa? Ya tanya sendiri. 


Di Arab Saudi, fenomena HRS gak berhenti. Ia tetap mampu memainkan peran oposisi. Jutaan massa tak bergeser dari pengaruh narasinya. Ini terlihat ketika beberapa kali reuni 212. Jumlah massa yang hadir di Monas tetap sangat besar. Meski Sang Habib tak hadir secara fisik. Tapi, instruksi dan konsolidasinya terbukti berjalan dengan baik.


Di Arab Saudi, HRS pun tak pernah sepi dari dinamika politik. Tuduhan teroris hingga pencekalan. Ini memberi daya tarik tersendiri bagi publik. Stigma "terdzalimi dan dikriminalisasi" makin melekat pada pendiri FPI ini. 


Tiga setengah tahun memberi komando di Saudi, Habib Rizieq pun akhirnya memilih pulang. Tepat tanggal 10 Nopember. Hari pahlawan. Indonesia adalah tanah air yang dicintainya. Apapun risikonya, HRS mengaku akan menghadapi demi menyelamatkan negeri tempat lahirnya.


Kepulangan HRS, lagi-lagi fenomenal. Ratusan ribu hingga jutaan para pendukungnya menjemput di bandara. 5 KM tol bandara Soekarno Hatta macet. Manusia berdesakan karena rasa cinta dan kerinduan. Ini sejarah baru. Juga belum pernah ada tokoh, apalagi pejabat yang dijemput massa sebesar itu.


TNI-Polri hanya mengawasi, sambil mengatur jalan, menjaga ketertiban dan keamanan. Begitulah memang tupoksinya. Sangat cermat mereka mengkalkulasi. Yang paling aman, mereka menempuh langkah persuasi. Polisi dalam konteks ini bekerja profesional. Sangat terukur 


Tiba di Indonesia, HRS road show ceramah. Istana was was. Mungkin sedikit panik. Ada kekhawatiran HRS menggulingkan kekuasaan. Basis massa jika terkonsolidasi, ini dianggap tak aman buat penguasa. Sekali ada trigger, situasi bisa jadi ancaman. Karena itu, nampak ada langkah antisipasi.


Ujung dari kepulangan HRS, dua Kapolda dicopot, beserta dua kapolresnya. Kepala daerah dipanggil untuk dimintai klarifikasi. Alasannya, mereka dianggap tidak tegas menjalankan aturan protokol kesehatan dan PSBB di masa pandemi.


Tidak sampai disitu, Pangdam Jaya, May.Jend TNI Dudung Abdurrachman, kerahkan prajurit untuk copot gambar dan baliho HRS. Tidak hanya di Jakarta, baliho HRS kabarnya juga disapu bersih di Jawa Tengah. Mungkin juga daerah-daerah lain. 


Apakah setelah baliho dicopot tak ada pemasangan baliho-baliho yang lain? Sepertinya tidak. Kabarnya, mulai ada pemasangan baliho di gang-gang sempit. Alasannya, agar mobil panser Pangdam Jaya gak bisa masuk. Ada-ada aja. Emang beneran?


Kalau toh ada pemasangan baliho HRS, apalagi dalam jumlah besar, dipastikan itu aksi protes. Banyak pihak bertanya: apa salah baliho itu? Gak bayar pajak? Apa baliho partpol itu bayar pajak? Apakah baliho calon kepala daerah itu bayar pajak? Apa baliho ormas itu bayar pajak? Iwan Setiawan, kepala dinas pelayanan pajak DKI menegaskan bahwa tidak ada kewajiban bayar pajak untuk baliho non komersial. 


Kenapa Pangdam Jaya yang copot? Apa itu bagian dari tupoksi TNI? Bukannya TNI itu bertugas untuk mengamankan negara dari ancaman luar? 


Aksi pencopotan baliho oleh Pangdam Jaya menuai kritik bahkan kecaman banyak pihak. Beredar meme, karikatur, foto, video dan tulisan yang bernada kecaman dan kritik kepada Pangdam Jaya. Dianggap berlebihan, lebay dan keluar dari tupoksinya. Fadli Zon, anggota komisi I DPR dari Gerindra mengusulkan agar Pangdam Jaya dicopot. Makin ramai! 


Sebaliknya, publik memberikan empati, bahkan dukungan kepada HRS. Lagi-lagi, banyak pihak yang merasa ini bagian dari kedzaliman. Dan sudah jadi hukum sosial, setiap ada orang yang dipersepsikan terdzalimi,  ia akan berlimpah empati.


Dicopotnya baliho HRS justru akan semakin membesarkan nama dan kharisma imam besar FPI ini. Meski sebelumnya HRS sempat digoda dengan hadirnya Nikita Mirzani dan Abu Janda. Dua orang yang menurut para pengamat, sengaja dikelola untuk memecah konsentrasi HRS.


Tak kelas! Begitu publik menyadarkan pendiri FPI ini. Abaikan, bila perlu didoakan. Doa baik HRS kepada Nikita Mirzani dan Abu Janda bisa merusak jantung pertahanan lawan. 


Terima kasih Nikita Mirzani dan Abu Janda. Atau siapapun yang kritik saya. Semoga Allah sehatkan kalian, lindungi hidup kalian, dan Allah kirim rahmat dan berkah untuk keluarga kalian. Diberikan kesadaran terbaik yang membuat kalian selamat dunia dan akhirat. Nah, kalau HRS doa seperti ini, keren! Ini dahsyat! 


Sebagai tokoh besar, HRS mesti dijaga narasi dan sikapnya. SDM yang berada di sekelilingnya, termasuk para juru bicaranya, mesti secara cermat bisa menjaga kharisma dan ketokohan HRS. Jika ini terukur, HRS akan bisa jadi magnet besar bagi hadirnya para pendukung baru. Terutama kelas menengah atas. 


Selain perlu memperhatikan sikap dan narasi, HRS mesti punya tim khusus yang mampu melakukan konsolidasi massa untuk merubah kerumunan jadi kekuatan. Untuk kebutuhan ini, perlu keterlibatan ulama atau tokoh berkelas seperti Ustaz Bachtiar Nasir (massa), pengusaha (logistik), purnawirawan TNI (ahli strategi), akademisi (data) dan media.  


Nah, kalau narasi, sikap dan konsolidasi HRS bisa dikelola dengan baik, baliho-baliho itu kemungkinan akan terpasang kembali, bahkan jumlahnya akan bertambah banyak. Dicopot satu akan terpasang seribu. Umat akan memasangnya sebagai bentuk protes kepada pemerintah, dan dukungan kepada Habib Rizieq.  Lalu, untuk apa baliho-baliho itu dipasang kembali? Nanti, anda akan tahu sendiri dampak sosial dan politiknya. 


Oleh: Tony Rosyid

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI