Saksi Ahli di Sidang Mantan Bos AISA: Jelas Ini Kasus Administratif, Bukan Pidana

| Jumat, 21 Mei 2021 | 08.57 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Dalam ilmu hukum dikenal asas ultimum remedium dimana sanksi pidana merupakan pilihan terakhir dalam penegakan hukum. Demikian disampaikan ahli hukum pidana Chairul Huda ketika menjadi AHLI dalam sidang perkara pidana pasar modal dengan terdakwa mantan bos PT Tiga Pilar Sejahtera Food (TPSF) Joko Mogoginta dan Budi Istanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (20/5/2020).


Dalam persidangan, kuasa hukum terdakwa Tetty Diansari SH MH mempertanyakan kepada AHLI bahwa dalam sidang terdahulu pihak OJK yang dihadirkan sebagai saksi yakni Edi Broto menjelaskan kenapa lebih memilih sanksi pidana ketimbang administratif kepada kedua terdakwa karena dalam UU Pasar Modal tidak ada keharusan penerapan sanksi administratif terlebih dahulu.

"Itulah kalau mempelajari Undang-undang hanya mempelajari kosa katanya tidak mempelajari asasnya. Membaca Undang-undang dia menganggap mengerti hukum, tidak. Hukum itu dimaknai salah satunya melalui asasnya. Kalau ada sebuah perbuatan yang bisa dikenai sanksi pidana dan administratif maka sanksi administratif dulu yang digunakan," kata Chairul Huda.

Seperti diketahui, Joko Mogoginta dan Budhi Istanto didakwa melanggar pasal 90 huruf a Jo Pasal 104 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana; Pasal 90 huruf c Jo. Pasal 104 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana; Pasal 93 Jo. Pasal 104 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana; Pasal 107 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1.

Dakwaan tersebut dibuat dan disusun atas dugaan: Kesalahan Penyajian Pihak Berelasi menjadi Pihak Ketiga; dan dugaan Penggelembuangan nilai Piutang PT. TPSF (AISA) atas Laporan Keuangan Tahunan untuk Tahun Buku 2017 (“LKT TPSF 2017”).

Diskriminatif

Saat dimintai penjelasan lebih lanjut usai persidangan soal kaitan asas ultimum remedium dengan perkara yang menjerat kedua terdakwa, Chairul Huda secara lebih spesifik menjelaskan bahwa perkara ini harusnya masuk ranah administratif, dan bukan pidana.

"Jadi menurut saya seharusnya peristiwa seperti ini tidak bisa langsung dibawa ke ranah pidana, tetapi lebih dulu diberi sanksi administrasi. Apalagi dampaknya terhadap pasar modal juga tidak terlihat," katanya.

Chairul selanjutnya merujuk pada pernyataan yang disampaikan kuasa hukum di persidangan bahwa OJK pada prakteknya pernah menerapkan sanksi administratif atau perintah tertulis terhadap sejumlah pelanggaran UU Pasar Modal seperti kasus PT Garuda Indonesia, PT Hanson Internasional, dan PT Recapital Skuritas. Hanya dalam kasus PT TPSF ini OJK menerapkan sanksi pidana tanpa melalui sanksi administrasi lebih dulu.

"Kalau benar ada peristiwa serupa seperti ini diberi sanksi administratif berarti OJK telah melakukan tindakan yang diskriminatif terhadap perkara ini," tegas Chairul Huda. 


Pertanggungjawaban Korporasi

Labih lanjut Chairul Huda menjelaskan bahwa seandainya pun setelah diberi sanksi administratif, dan PT TPSF tidak menjalankan sanksi tersebut sehingga harus dibawa ke ranah pidana maka yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah korporasinya, bukan pribadi direksi. Karena proses LKT tersebut sudah sesuai dengan aturan OJK dan telah diperiksa auditor independen dengan opini WTP. 

"Kalau menerbitkan laporan keuangan tanpa diperiksa oleh auditor independen, maka direksi bertanggung jawab secara pribadi tapi ini kan persoalannya sudah diperiksa oleh auditor independen sehingga sudah mengikuti ketentuan OJK," katanya.

Menurut Chairul, Dalam POJK 75/2017 disebutkan bahwa direksi dibebaskan dari tanggungjawab atas Laporan Keuangan apabila sudah ada hasil audit dari auditor independen. Dalam konteks ini, direksi dilepaskan dari tanggung jawab pribadi sehingga kalau mau diproses secara pidana mestinya yang didudukkan sebagai terdakwa bukan orangnya tapi perusahaannya.

"UU Pasar Modal memungkinkan untuk perbuatan seperti ini dipertanggungjawabkan sebagai pertanggungjawaban korporasi karena  kalau ada keuntungan saat melepas saham di pasar modal menjadi keuntungan perusahaan, tidak ada keuntungan pribadi pada direksi dalam hal ini," katanya. 

Ketika ditanya soal apakah direksi PT TPSF dapat dimintai pertanggungjawaban atas LKT 2017 yang dibuat oleh Cief Financial Officer (CFO), Chairul Huda kembali menegaskan bahwa perkara ini merupakan ranah administratif, dan bukan ranah pidana.

"Kita tidak perlu bicara soal Pertanggungjawaban pidana, ini tidak ada tindak pidana. Ini pelanggaran sanksi administratif sehingga harusnya dikenai sanksi administratif. Jadi Pertanggungjawaban pidana baru kita bicarakan kalau ada tindak pidana, ini tindak pidananya saja tidak jelas," katanya.

Di tempat yang sama, kuasa hukum terdakwa Zaid Mushafi SH MH mengatakan bahwa perkara ini kini menjadi lebih terang benderang dengan penjelasan Saksi Ahli Chairul Huda di persidangan.

"Tadi sudah sangat tegas dijelaskan ahli di persidangan, bahwa perkara ini peristiwa pidananya saja tidak ada, korbannya tidak ada, dan tidak ada dampak sistemik terhadap pasar modal," katanya. 

Berdasarkan Pasal 15 POJK 36/2018, dikatakan bahwa harus ada Dampak Kerugian Terhadap sistem Pasar Modal. Dampak ini dalam keterangan ahli harus dapat dibuktikan, dan tidak bisa hanya bersifat potensi sebagaimana keterangan Edi Broto saat menjadi saksi dipersidangan

Sementara itu Jaksa Penuntut Umum tidak bisa dimintai komentarnya.


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI