Bernasindonesia.com - Kasus konflik Agraria pasca pemberlakuan Undang-undang Omnibuslaw, makin mengemuka. Pekan-pekan terakhir, dua koorporasi besar Sentul City, yang berhadapan dengan warga di Bogor dan Ciputra Internasional yang berhadapan dengan rakyat kecil di Sulawesi Utara.
Kedua kasus ini, memperoleh perhatian luas karena kebetulan ada publik figur atau tokoh yang terlibat secara langsung. Di Bogor, ada Rocky Gerung, dengan di support oleh Prodem dan sejumlah sipil society, juga kini telah bergabung tokoh seperti Jenderal Gatot Nurmantyo (Panglima TNI yang digantikan oleh Panglima saat ini), dan juga ada Mantan Ketua MPR Professor Amin Rais, dan sejumlah tokoh lainnya.
Sementara di Sulawesi Utara, kasus mengemuka karena polisi, yang patut diduga memiliki hubungan dekat dengan perusahaan Ciputra Internasional itu, menahan seorang petani, yang diduga telah dirampas tanah warisnya, lalu petani ini memperoleh pembelaan dari Babinsa (TNI yang menjalankan tugas pertahanan teritorial di tingkat Desa).
Di duga karena "perintah" pihak koorporasi kepada polisi, Babinsa ini mau diperiksa. Di luar dugaan, Brigjen TNI Junior Tumilar, Irdam Kodam Merdeka mengambil langkah taktis, membela Babinsa yang mau diperiksa oleh polisi tersebut dengan cara yang "unik". Ia menulis surat tulisan tangan, kepada Kapolri dan para petinggi TNI di Jakarta, serta diteruskan pula ke media sosial.
Singkat cerita kedua kasus ini viral, dan nampaknya muncul semacam kesadaran yang tumbuh dan makin membesar, bahwa Undang-Undang Omnibuslaw yang di sahkan ditengah pandemi beberapa waktu lalu, dengan korban para buruh, pelajar dan mahasiswa, sekarang sudah meluas dampak negatifnya bagi masyarakat, sekalipun memang positif bagi para pemilik modal. Karena tujuannya memang untuk memudahkan "investasi", yang bisa jadi maksudnya antara lain adalah memudahkan pendudukan atas tanah, dengan alasan investasi.
Perlawanan terhadap perampasan tanah rakyat, oleh koorporasi yang di bekingi aparat polisi, bisa jadi baru saja di mulai. Artinya kedua kasus yang disebut diatas itu, sangat mungkin akan bermunculan dalam bentuk berbeda di daerah lain.
Masalah kepemilikan tanah memang krusial. Terjadi ketimpangan yang luar biasa. Banyak koorporasi besar menguasai puluhan ribu hingga jutaan hektar. Dan sangat bisa terjadi di dalam lahan yang diberikan oleh pemerintah pusat itu, telah bermukim warga lokal menggarap tanah leluhur mereka, bahkan bisa jadi jauh sebelum Indonesia Merdeka.
Sebab itu, pernyataan Jokowi yang akan memberantas mafia tanah, ditunggu realisasinya. Itu pernyataan bagus, yang justru akan menjadi serangan balik kepada pemerintah, jika ternyata bohong, tidak ada realisasinya.
Dan kebohongan demi kebohongan yang bsrtumpuk-tumpuk itu, jika dibarengi dengan perlawanan rakyat yang dirampas tanahnya, tentu kurang baik bagi ketertiban masyarakat. Apa lagi polisi sebagai penanggungjawab ketertiban itu, makin buruk muka dalam persepsi publik. Kasus seperti KM-50 hingga kini masih terus dipertanyakan kapan para pelakunya di adili.
Semoga saja dalam kasus perlawanan terhadap mafia tanah, perampas tanah rakyat, polisi lebih baik kinerjanya. Atau makin memburuk, dan menjadi pemicu meletusnya perlawanan rakyat semesta, mengusir para perampas tanah-tanah rakyat.
Oleh: Hasanuddin
Penulis tinggal di Depok, Jawa Barat