Megawati, Prabowo dan SBY

| Selasa, 02 November 2021 | 10.27 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Megawati representase ide-ide Bung Karno sehingga bisa kita sebut "orde lama" dalam terminology politik Indonesia. Sementara Prabowo tidak dapat dipisahkan dari keluarga Cendana, betapa pun sudah tidak menjadi suami dari putri mantan Presiden di era orde baru itu. Karena itu tidak keliru jika menyebutnya sebagai pewaris ide-ide "orde baru".


Sementara pak SBY meskipun telah berkiprah di era orde baru, namun selama masa jabatannya (dua periode) sebagai Presiden, nampak sekali keengganannya di cap sebagai pewaris orde lama, maupun orde baru. Dan terkesan ingin dipandang sebagai buah dari gerakan reformasi 1998, meskipun tidak sedikit aktifis 98 yang "dikecewakannya".

Ketiga tokoh diatas, masing-masing memimpin partai politik. Megawati yang paling besar pengaruhnya dengan kapasitasnya sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Demikian besar pengaruhnya Jokowi yang sering dia sebut sebagai "pekerja partai" (tentu maksudnya pekerja PDIP) itu mesti nurut apa maunya. Megawati juga memimpin BPIP dan BRIN sebagai Ketua Pengarah. Banyak yang menentang, tapi itulah  bukti besarnya pengaruhnya. Kemajuan atau kerusakan Bangsa Indonesia pada periode Jokowi, tidak bisa dipisahkan dengan sosok Megawati sebagai yang menugaskan Jokowi.

Pemegang pengaruh terbesar kedua adalah Prabowo dengan partai Gerindra-nya, sekaligus Menteri Pertahanan.

Prabowo memiliki kemampuan memimpin. Sejauh ini Kemenhan dibawah kepemimpinannya, maupun Gerindra berjalan _on right track_, dan sebab itu wajar jika kemudian Petinggi Partai Gerindra kembali mencalonkan dia sebagai Calon Presiden untuk Pemilu tahun 2024. Pola pikirnya, seperti yang telah dikemukakan diatas, bercorak "orde baru", sebab itu polisi yang paling adalah golongan politik intrest yang paling takut dengan sosok ini jika jadi Presiden.

Pak SBY, dengan Partai Demokratnya pernah berjaya memimpin Indonesia sepuluh tahun, dan pada masa-masa itu PDIP boleh dikata "terpaksa puasa" sehingga wajar jika pergerakannya selalu dipantau oleh PDIP, dan sejauh ini PDIP cukup efektip menggerus pengaruh SBY. 

Ketiga figur ini kembali menyiapkan jejaring dan mesin politik mereka untuk tahun 2024. 

Megawati nampaknya "harus" memaksa Puab Maharani untuk dimajukan, dengan pertimbangan penyelamatan Partai. Bagi Megawati, tidak ada yang tidak bisa, kecuali bahwa dimasa tuanya dia tidak bisa melihat partainya diambil bukan oleh trah Sukarno. Bahwa Puan nanti hanya jadi Cawapres saja, nampaknya tidak masalah bagi Megawati, toh dia dulu juga pernah Wapres. 

Prabowo akan maju sendiri, dan terbuka ruang koalisi dengan siapa pun bagi Prabowo. Bisa pasangan dengan Puan, bisa juga dengan AHY. Tapi Prabowo akan "lebih aman" secara finansial menghadapi Pilpres jika pasangan dengan Puan. Pertama, pasti Jokowi tidak berani reshuflle kalau dia pasangan dengan Puan. Kedua, Jokowi dan Megawati tentunya, tidak akan mengunci sumber-sumber pembiayaan, terutama dari kalangan Konglomerat. Sekalipun para Konglomerat itu sebenarnya telah menyiap-nyiapkan Ganjar Pranowo.

Sebab itu, besar kemungkinannya Prabowo akan menerima Puan, sebagai pasangan untuk maju pada pilpres 2024.

SBY meskipun dari sisi finansial tidak lagi sekuat saat berkuasa, tapi talenta politiknya tidak bisa dipandang sebelah mata oleh Megawati dan Prabowo. SBY memahami dengan peta situasi politik dan aktor-aktor yang bermain. Tentu dia akan menikmati permainan ini dengan langkah-langkah strategiknya.

Kalau Prabowo jadi berpasangan dengan Puan, maka SBY mesti mencari pasangan yang tepat untuk AHY. Siapa? Belum jelas terbaca saat ini.

Tentu saja tahapan konsolidasi menghadapi Pilpres itu, dimulai dari tahapan konsolidasi elit politik. Para tokoh akan di rayu, diberi janji dan ancaman untuk bergabung atau tidak dalam barisan mereka. Para pengusaha terutama Konglomerat akan berembuk dikalangan mereka, lalu berbagi tugas, siapa membiayai siapa, namun siapa pun yang menang adalah kemenangan "bersama" dikalangan mereka. Siapapun Presidennya, mereka tetap oligharkinya.

Variable lain, nanti ditulis pada kesempatan yang lain, biar tidak kepanjangan.

Oleh: Hasanuddin

Penulis tinggal di Depok, Jawa Barat
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI