Bernasindonesia.com - Entah disadari atau tidak, aksi terorisme marak terjadi di Indonesia setelah pascareformasi. Sejak tahun 2000, diawali aksi teror bom yang terjadi di Kedutaan besar (Kedubes) Filipina pada tanggal 1 Agustus 2000, yang menyebabkan dua orang tewas termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday. dan 19 orang lainnya luka-luka, Lalu bom Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 13 September 2000, yang mengakibatkan15 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka, serta 104 mobil rusak berat, dan 57 rusak ringan.
Selanjutnya diakhir tahun 2000 tersebut terjadi rentetan serangan bom di malam Natal tanggal 24 Desember 2000, yang terjadi secara serentak di Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto, dan Mataram. Peristiwa-peristiwa teror tersebut dilatari motif yang berbeda. Kasus bom di Kedubes Filipina yang terjadi diduga berkaitan dengan gerakan Front Pembebasan Islam Moro (MLF) sebagai aksi balas dendam atas pembakaran kamp Abu Bakar di Mindanao, Filipina Selatan. Motif bom BEJ berkaitan dengan masalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Barulah aksi teror pada malam Natal yang bermotivasi agama.
Fenomena peristiwa teror bom awal reformasi tersebut pertama menujukan terjadinya pelemahan sistem keamanan nasional ketika pascareformasi. Sedangkan dari pola motif peristiwa bukan hanya berlatar belakang agama, karena dari tiga peristiwa, dua merupakan masalah Gerakan separatis di Aceh dan Filipina Selatan. Pelemahan sistem keamanan pascareformasi disebabkan juga karena krisis multidimensi berkepanjangan yang dialami Indonesia. Apalagi dijelaskan menurut Endars dan Sandler (2000) bahwa dari tahun 1960 hingga akhir tahun 1980 an terorisme banyak dimotivasi oleh nasionalisme, separatism, ideologi Marxist, rasisme, dan kesetaraan ekonomi.
Sedangkan maraknya aksi teror setelah tahun 1980an lebih disebabkan kontribusi dari berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Sovyet, sehingga muncul hegemoni global, yang sebenarnya sudah diperkirakan oleh Hendropriyono saat ia menjabat sebagai Pangdam Jaya.
Menurut Samuel P. Huntington dalam teorinya tentang Benturan Antar Peradaban, “kekuasaan (power) adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mengubah perilaku orang lain atau sekelompok lainnya, yang dilakukan secara persuasif, koersif, atau dengan teguran.
Bila dikaitkan dengan fenomena maraknya terorisme pasca perang dingin sesungguhnya sudah sangat menjelaskan bahwa benturan peradaban diawali oleh pemenang perang terhadap pihak yang dianggap sebagai lawan berikutnya. Dengan berakhirnya perang dingin arah kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat (AS) mulai beralih pada ancaman ideologi lainnya. Konsekuensi ini sebagai bagian dari teori kekuasaan (power) bagi suatu negara untuk menentukan bentuk dan sistem negara yang tepat atau ideal bagi masyarakat/komunitas global (Sidratahta Mukhtar 2021).
Kebijakan politik luar negeri AS mulai terbaca dari standar ganda yang diarahkan dalam menerapkan isu-isu demokrasi dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) pada konflik negara-negara di Timur Tengah, khususnya masalah konflik Israel dan Palestina. Ketidakkonsistenan inilah yang berkontribusi menyuburkan bibit-bibit radikalisme di dunia yang membawanya pada aksi terorisme di gedung World Trade Centre (WTC) dan Pentagon AS tanggal 11 September 2001.
Dari peristiwa tersebut banyak pihak yang merasa geram terhadap serangan ke wilayah sipil yang mengakibatkan sekitar 3000 ribu orang meninggal dunia dan merasa simpati terhadap para korban. Demikian tentunya menimbulkan kemarahan bagi AS yang kemudian mulai gencar melancarkan kebijakan counter terrorism secara represif.
Serangan terhadap Menara WTC dan Pentagon, sebagai pusat ekonomi dan pusat pertahanan AS yang ditengarai dilakukan oleh organisasi Al Qaeda dengan pimpinan Osama Bin Laden memicu munculnya pemahaman dan persepsi tentang terorisme yang dimotivasi oleh faktor Islam.
Kemudian aksi teror menjalar ke negara-negara lain, baik negara-negara barat, negara-negara Timur Tengah yang berkonflik dengan AS dan sekutunya, termasuk Indonesia yang hanya berselang dua tahun muncul terror bom dahsyat di Bali yang memakan korban 203 orang meninggal dunia yang Sebagian besar warga asing.
Counter terrorisme yang dilancarkan AS dengan mencoba membuat garis yang jelas antara kawan dan musuh sebagaimana ultimatum presiden Goerge Bush terhadap dunia global, “you are either with us, or with the terrorist”, yang intinya anda bersama kami atau anda bersama teroris. Ultimatum itu lah yang membuat paradigma dunia terbelenggu. Padahal paradigma tidak bisa dibedakan hanya dua pilihan. Terkadang cara semacam itu terbawa dalam masalah konflik politik di Indonesia, sebagaimana perang dengan radikalisme dan intoleransi, yang kemudian beredar populer di masyarakat Indonesia dengan slogan, “Kami Indonesia, Kami Pancasila”.
Para ahli sepakat bahwa terorisme sebagai aktivitas pemberontakan mengacaukan tatanan yang ada, guna memperoleh kekuasaan dan hak-hak politik kelompok teroris. Seperti halnya Israel menggunakan metode teror untuk mengusir orang-orang Palestina dari tanah kelahirannya, sebaliknya Palestina menghadapi Israel dengan menggunakan teror bom bunuh diri (istimata). Teorisme memiliki tujuan kekuasaan yang ditempuh melalui kekerasan.
Sebagaimana teori yang dikemukakan Muhammad Tito Karnavian bahwa dalam suatu perperangan maupun konflik, gerilya dan terror merupakan perlawanan yang dilakukan oleh pihak yang lemah. Dengan demikian aksi teror yang dilakukan pihak GAM dalam peristiwa bom BEJ dan Front MLF terhadap peristiwa bom Kedubes Filipina di Jakarta merupakan perlawanan pihak yang lemah dalam menghadapi kekuasaan.
Sesungguhnya telah dinyatakan dengan sangat jelas oleh Paul Wilkinson dalam (Sidratahta Mukhtar 2021), bahwa motivasi terorisme disebabkan ketidakadilan di bidang politik. Selain itu, kekecewaan mendalam dari kelompok yang merasa turut berjuang dalam kemerdekaan menjadi faktor pemicu bangkitnya radikalisme dan terorisme. Namun di Indonesia hal ini tidak boleh terjadi dan dibiarkan, karena Kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia dengan bentuk negara kesatuan republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Konsep ke-Indonesia-an dicirikan dengan keberagaman etnis, budaya, bahasa daerah, dan agama. Dengan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam sama saja akan menghilangkan unsur-unsur keberagaman yang menjadi trademark Indonesia di pentas dunia yang sejak lama telah dikenal hidup rukun. Namun diskursus yang mengangkat isu radikalisme dan intoleran bisa saja malah semakin memperkeruh dan membentuk rumpang kebhinekaan. Memahami terorisme dengan mengarahkan pada isu agama justru akan membentuk pada sentimen Islam phobia, hal ini akan memperparah konflik yang ada.
Apalagi sejarah dunia pernah mengalami perang antar agama yang dikenal dengan crusade (perang salib). Reminder ini bisa saja muncul kembali di kalangan tertentu, khususnya radikalisme di masing masing agama. Tidak diingkari bahwa setiap individu memiliki kepentingan, sehingga masing-masing anggota atau kelompok masyarakat memiliki sumbangan terhadap munculnya konflik. Sebagaimana struktural konflik menurut Karl Mark dan Max Weber, bahwa Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik di antara dan di dalam kelompok-kelompok yang bertentangan.
Dengan semakin menyimpangnya isu teroris menjadi isu agama, jurang konflik semakin terbentuk. Pemerintah pun secara tak sadar terbawa dengan isu tersebut dengan mengarah perhatian antisipasi terorisme dari perspektif radikalisme yang kemudian menimbulkan respon pro kontra di kalangan masyarakat yang kebetulan di Indonesia penduduk mayoritas adalah Muslim.
Namun beberapa kalangan non muslim pun tampak ada yang menyadari konflik ini di tengah terjadinya konflik politik yang bernuansa politik identitas. Apalagi dengan munculnya fenomena post-truth, perdebatan yang terjadi saat ini adalah rehetorika sebagaimana Sofisme maupun Schopenhauer yang bertentangan dengan proses dialektika Socrates yang mengutamakan episteme (pengetahuan).
Dalam penyelesaian konflik ada berbagai cara/pendekatan yang bisa dilakukan. Tidak harus semua bisa terlibat dalam urusan penyelesaian konflik. Bila tidak proporsional dan bebas nilai/kepentingan akan semakin menimbulkan prejudice dan pihak-pihak yang mulanya sebagai penengah justru akan terseret pada kubu pihak yang bertikai. Demikian juga peran penting media massa sangat diperlukan.
Saat ini dalam talkshow media justru cenderung mengadu rhetorika bukan dialektika. Media swasta yang dulunya diharapkan menjadi media yang fair, namun karena pimpinan media tersebut terlibat juga dalam pertarungan politik, maka masyarakat tidak dapat lagi mengharapkan objektivitas media massa.
Sedangkan penanganan counter terrorism yang dilakukan pemerintah harus dengan berbagai pendekatan yang efektif. Pemberantasan terhadap kelompok-kelompok teroris harus menjunjung tinggi hak asasi manusia sehingga tetap dapat mengundang simpati secara umum. Terhadap individu maupun kelompok-kelompok radikal juga harus ditindak tegas.
Selain menjalani hukuman, terhadap mereka harus menjalani program deradikalisasi yang secara prioritas benar-benar dapat memulihkan cara pandangan yang lebih moderat. Dan yang terpenting bagi pemerintah adalah membangun situasi dan kondisi pemerintahan yang legitimate, yang menjunjung tinggi hak-hak kebebasan berpendapat tidak terpatok pada pilihan yang sempit.
Oleh: Chaidir
(Kandidat Doktor Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian)