Polemik Toa Mesjid Tuai Aksi Berjilid-Jilid

| Selasa, 08 Maret 2022 | 09.02 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Pengaturan "toa azan" berujung pada polemik pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang memberikan penjelasan terkait aturan itu. Pernyataan Yaqut yang menjelaskan pengaturan volume suara azan di masjid atau musola dan terkait dengan gonggongan anjing menuai protes aksi massa dari kelompok PA 212.


Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif menyebut Yaqut selama ini bikin gaduh dengan pernyataan terkait ummat Islam. Terakhir, menurut dia, pengaturan suara di mesjid dianggap tidak tepat dan tidak bijak.

"Persoalan pengeras suara di mesjid dan mushola, secara keseluruhan ga ada masalah. Cuma waktu dan tahapan belum tepat. Pertama, bentar lagi Ramahan yang puluhan tahun meramaikan dengan pengajian, kultum, pakai pengeras suara. Aturan ini keluar tanpa ada proses sosialisasi," ujar Slamet dalam diskusi *#Safari24 Total Politik* dengan tema *"Polemik Toa Mesjid Tuai Aksi Berjilid-jilid"* pada 6 Maret 2022 di Bangi Kopi Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

PA 212 mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera mengeluarkan fatwa terkait pernyataan Yaqut yang mengaitkan aturan pengeras suara mesjid itu dengan suara gonggongan anjing. Menurut Slamet, pernyataan Yaqut itu ceroboh.

"Kecerobohannya itu muncul membandingkan sesuatu yang dianggap suci oleh kami dengan sesuatu yang dianggap najis. Kan ceroboh betul itu," kata Slamet.

Dengan MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernyataan Yaqut itu sebagai penodaan agama, kata Slamet, maka PA 212 akan menggunakan fatwa itu sebagai dasar laporan ke polisi.

"Kami minta fatwa dari MUI. Kami datang dialog dengan MUI supaya bisa mengeluarkan fatwa. Kalau fatwa MUI menyatakan ini penodaan agama maka kami akan menggunakan itu untuk memproses dan memenjarakan Yaqut. Polisi harus menerima laporan itu. Kalau soal itu terbukti atau tidak terbukti itu urusan pengadilan," ujar Slamet.

Menanggapi permintaan fatwa dari PA 212, Wakil Ketua Umum MUI Marsudi Syuhud menjelaskan proses penyusunan fatwa itu bisa berawal dari permintaan individu maupun organisasi. Namun, perlu ada tahapan-tahapan yang dilalui.

"Fatwa itu perjalanannya bisa dari permintaan individu atau permintaan organisasi yang terus naik pembahasannya. Misalnya itu cukup dibahas di daerah ya cukup di daerah, atau perlu dibahas di MUI Pusat," ujar Marsudi.

Marsudi mengatakan permintaan PA 212 yang disampaikan ke MUI itu nanti akan dibahas oleh banyak pihak dan dimusyawarahkan. Jadi MUI tidak bisa semena-mena mengeluarkan fatwa.

"Itu nanti yang bahas akan banyak pakar, pemikir, ahli yang melihat konten persoalan itu apakah akan masuk penodaan agama atau bukan pernyataan Yaqut. Nanti akan dibahas dan dimusyawarahkan. Jadi fatwa itu ga ujug-ujug," ujar Marsudi.

Marsudi melihat pengaturan pengeras suara azan ini sebenarnya diterima oleh sebagian masyarakat. Namun, dalam konteks menyampaikan penjelasan itu menggunakan bahasa yang ternyata memicu kesalahpahaman.

"Konteks Pak Menteri (Yaqut) menjelaskan kebijakannya yaitu mengatur bukan melarang. Kemudian ketika itu menjelaskan itu ada hal-hal yang perasaan bahasa itu dimaknai tidak sama dengan yang ngomong dan orang yang mendengarkan artinya bahasa itu tidak nyambung," ujarnya.

Menanggapi polemik pernyataan Yaqut, Marsudi menilai hukum yang mengatur salah dan benar sesuai dengan fakta. Namun, di atas hukum itu juga ada kebijaksanaan.

"Di atasnya hukum, ada wisdom, moral, ahlak. Fakta itu adalah pegangan hukum. Saya menganalogikan orang pincang. Sudah ngerti orang itu pincang, itu fakta, ya jangan dipanggil pincang. Itulah wisdom. Itu di atas hukum. Maka biar ga buang-buang power, tenaga, yang maslahatnya sama-sama memberi maaf," kata Marsudi.

Senada dengan Marsudi, Budayawan M. Sobary memandang hukum itu adalah mekanisme terbaik demokrasi dalam menyelesaikan persoalan. Namun di atas pemikiran kritis yang reflektif itu untuk menyelesaikan persoalan ini melalui jalur hukum, ada pemikiran kontemplatif, yakni menggunakan hati nurani.

"Saya ga memandang hukum itu yang terbaik, tapi hati nurani itu yang terbaik. Kalau kita memiliki pemikiran kontemplatif, itu mengapa kita sesama muslim mencurigai motif ketulusannya. Kalau bahasa kenabian, kita ga akan terlampau mudah mencurigai Ustaz (Slamet) memiliki kepentingan ini itu. Sebaliknya kita ga akan terlalu mudah mencurigai Gus Yaqut memiliki hal yang sama," kata Sobary.

Sobary menilai pernyataan Yaqut itu adalah kebijakan publik yang dikonotasikan dalam urusan bahasa. Namun, pernyataannya itu tidak bisa diterima oleh sebagian pihak.

"Karena tidak utuh, mestinya saya agak berpikir ada sesuatu, Gus Yaqut belum mencapai derajat Kiyai Cholil Bisri, Kiyai Mustofa Bisri, karena usia dan pergulatan. Kalau Kiyai Bisri itu lelucon. Meskipun belum seperti lelucon Gus Dur. Sehingga perbandingan antara tadi (pernyataan Gus Yaqut) yang sudah dibahas dianggap tidak layak jadi bisa dibalikan menjadi lelucon yang bisa diterima," ujar Sobary.
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI