Usulan Jabatan Presiden Diperpanjang, Bagaimana Nasib Kepala Daerah?

| Selasa, 01 Maret 2022 | 10.18 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Usulan penundaan Pemilu 2024 yang disampaikan beberapa ketua umum partai politik ramai diperbincangkan. Banyak pihak menolak usulan tersebut. Politikus PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, menegaskan sikap partainya menolak perpanjangan masa jabatan menjadi 3 periode.


"Sikap PDI Perjuangan yang disampaikan dalam pembekalan Bu Mega menekankan pada komitmen bernegara, patuh pada konstitusi. Itu tidak bisa ditawar. Prinsip PDI Perjuangan menolak perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode," kata Masinton dalam diskusi *#Safari24 Total Politik* dengan tema *"Usulan Jabatan Presiden Diperpanjang, Bagaimana Nasib Kepala Daerah?"* pada 27 Februari 2022 di Bangi Kopi Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Terkait usulan penundaan Pemilu, Masinton mengaku, PDI Perjuangan belum mengeluarkan sikap resmi secara kelembagaan. Tapi Sekjen PDI Perjuangan, kata Masinton, sudah menyampaikan partainya berkomitmen untuk patuh terhadap kontitusi.

Masinton menghargai usulan tersebut. Namun, dia menekankan usulan penundaan pemilu harus dilandasi pada konteks kebangsaan.

"Kita harus hindari jangan lagi ada kekuasaan yang absolut, tidak terbatas, karena kita masih menganut negara hukum. Kita harus saklek di situ. Usulan ini kita hargai sebagai usulan. Tapi tidak sekadar argumentasi politik," kata dia.

Kalau penundaan pemilihan presiden terjadi, menurut Masinton, akan berdampak terhadap pelaksanaan pemilihan legislatif yang harus dilakukan bersamaan. Karena tidak mungkin terjadi kekosongan lembaga legislatif.

"Pilpres, pileg itu satu kesatuan berbarengan pelaksanaannya. Kalau presiden berakhir 2024 maka secara bersamaan legislatif harus berbarengan. Kan ga mungkin legislatifnya kosong," ujar dia.

Masinton mengatakan sebenarnya penundaan pemilu memiliki preseden dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Pada masa Soeharto jadi presiden melalui Supersemar, dengan alasan stabilitas ekonomi dan politik, memundurkan Pemilu 1968 menjadi 1971. Kemudian pada saat B.J. Habibie mendapatkan mosi tidak percaya dari parlemen, Pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada 2002 dimajukan menjadi 1999.

"Menunda dan memajukan Pemilu itu bukan hal yang baru dalam konteks ketatanegaraan kita," kata Masinton.

Sementara Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menyebut penundaan Pemilu sama saja dengan perpanjangan masa jabatan presiden.

"Penundaan Pemilu adalah bungkus baru presiden 3 periode. Bedanya 3 periode harus berkeringat dulu dengan pemilu, tapi penundaan pemilu tanpa perlu berkeringat ikut pemilu," ujar Titi.

Menurut Titi, penundaan Pemilu hanya bisa dilakukan dengan amendemen konstitusi. Pasal 7 UUD 1945 mengatur mengenai periodisasi masa jabatan presiden/wakil presiden.

"Itu batasan konstitusinya," ia menegaskan.

Meski konstitusi bisa diubah, lanjut Titi, namun tidak ada alasan yang logis dan relevan secara konstitusi dan aturan kepemiluan. Alasan menjaga pertumbuhan ekonomi, kata dia, tidak logis untuk dijadikan alasan menunda Pemilu.

Penundaan Pemilu, menurut Titi, merupakan cara populer rezim otoritarian untuk memperpanjang masa jabatan dengan menghindari Pemilu.

"Dengan membaca argumen pejabat publik, kita melihat inkonsistensi. Padahal dulu bilang Pilkada tetap dilaksanakan untuk menggerakkan perekonomian. Tapi kemudian elit justru secara tidak bertanggungjawab membawa argumentasi perpanjangan masa jabatan karena Pemilu bisa mengancam pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Terkait kondisi darurat, menurut Titi, kedaruratan bisa berjenjang diusulkan oleh KPU apabila 40% wilayah di Indonesia tidak bisa menyelenggarakan Pemilu.

"Kedaruratan itu berjenjang diusulkan oleh KPU. Karena pasal 12 menyebut negara dalam keadaan bahaya ditetapkan Presiden. Tapi pendekatannya penyelenggara pemilu," ujar Titi.

Kalau elit politik secara terus-menerus mengembuskan narasi penundaan Pemilu ini, Titi khawatir ini akan membuat kekacauan politik.

"Kalau wacana ini terus dilanjutkan dan elit politik terus dinarasikan akan bahaya. Orang suka dengan kinerja Pak Jokowi. Tapi orang-orang ini punya komitmen terhadap demokrasi. Jadi ini dua hal berbeda. Kekacauan politik ini bila diteruskan bisa bahaya," ujarnya.

Sementara menurut Aktivis Sosial Geisz Chalifah menyebut, usulan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan menjadi 3 periode itu sama saja dengan pengkhianatan terhadap demokrasi dan reformasi. Kalau penundaan Pemilu terjadi tetapi tidak ada legitimasi maka akan sangat berbahaya.

"Walaupun ditunda tapi legitimasi ga ada akan sangat berbahaya kalau kita punya presiden tapi ga punya legitimasi. Dulu SBY menang dengan 67% satu putaran. Pada saat selesai dia cukup. Habibie pada saat mendapatkan mosi tidak percaya dia cukup. Kalau ini dilanjutkan apa bedanya dengan Soeharto," ujar Geisz.

*'Gula' Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Daerah*

Usulan perpanjangan masa jabatan Presiden bisa berdampak terhadap perpanjangan masa jabatan kepala daerah. Titi Anggraini mengkhawatirkan para kepala daerah juga mengusulkan perpanjangan masa jabatan.

"Bisa saja diberi 'gula-gula' untuk perpanjangan masa jabatan kepala daerah. Di sini secara simultan kita dihadapkan pada pelanggaran konstitusi secara berjamaah," kata Titi.

Geisz Chalifah menanggapi kekhawatiran Titi. Sebagai pendukung Anies Baswedan, Geisz menyampaikan sikap Anies akan tetap berhenti dari jabatan gubernur DKI pada 2022 meskipun ada ketentuan memperpanjang masa jabatan kepala daerah imbas dari usulan perpanjangan masa jabatan presiden.

"Anies sikapnya jelas akan tetap berhenti meskipun ada ketentuan memperpanjang masa jabatan kepala daerah. Anies sepakat untuk tetap mengikuti pilkada. Lebih baik Pilkada dinormalisasi," ujar Geisz.

Menanggapi Geisz, Titi mengatakan normalisasi Pilkada dengan digelar pada 2022 menjadi sikap Perludem.

"Saya kira itu pilihan berdemokrasi yang diambil kepala daerah. Kalau elit membuat pilihan berdemokrasi yang solid seperti ini semua jadi mudah," ujar Titi.

Sementara menurut Masinton Pasaribu, penyelenggaraan pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah dua rezim yang berbeda. Dinamika di daerah tidak akan berpengaruh ke dunia internasional. Sementara dinamika akibat ekses ketidakpastian disebabkan oleh perpanjangan masa jabatan presiden bisa berpengaruh kepada dunia internasional.

"Ini adalah dua rezim pemilu yang berbeda. Dinamikanya berbeda. Kalau dinamika di pusat ini berpengaruh ke dunia internasional. Kalau dikasih gula-gula itu tinggal pilihan saja, bisa diambil atau tidak. Jadi menurut saya tidak perlu diperpanjang kepala daerah karena rezimnya berbeda," ujar Masinton.

*#Safari24 Total Politik*
Total Politik adalah platform diskusi online maupun offline yang mengangkat diskusi politik yang aktual dan menjadi referensi jurnalis, akademisi, dan publik. Jelang Pemilu 2024, Total Politik menginisiasi program #Safari2024 yang memiliki visi untuk menaikkan satu oktaf perbincangan politik 2024, yang masih malu-malu menjadi lebih jelas dan gamblang, sehingga bisa menjadi referensi masyarakat dalam melihat fenomena politik kontestasi 2024 mendatang.
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI