Berpacu dengan Waktu

| Selasa, 29 Juli 2025 | 01.10 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Saudaraku, ada masa dalam hidup ketika pagi terasa kekal—langit luas, langkah ringan, dan waktu seolah tak punya ujung. Tapi seiring usia menua, kita mulai mendengar detak jam seperti ketukan palu yang mengabarkan kefanaan. Di titik ini, hidup tak lagi tampak sebagai jalan panjang yang terbentang tanpa batas, melainkan sebagai sekelebat cahaya di antara dua senyap. Seperti bianglala yang pernah mengangkasa namun perlahan menurun ke batas putarannya, kita menyadari: segalanya fana, dan waktu tak menoleh.


Betapa aneh perangai manusia: semakin renta raga, semakin rakus jiwa. Ketika kulit mengeriput dan langkah mulai gemetar, masih saja ada yang memekik haus akan kuasa, menggenggam harta dengan tangan gemetar seakan kematian bisa ditunda dengan rekening bank. Masih culas pada sesama, seakan tak cukup dosa yang dikoleksi sepanjang usia. Telah menapaki senja, tapi masih lihai menjegal kawan dan memungut remah dari meja orang lapar. Mereka menua, tapi tak membijak. Berkepala perak, tapi berselera serakah. Lupa, bahwa hidup tak diukur dari panjang umur, tapi dari kedalaman makna.

Berbeda dengan mereka yang eling dan waspada—yang mengerti bahwa menjelang senja, bukan kekuasaan yang perlu dipeluk, melainkan keikhlasan untuk melepas. Mereka tak sibuk memamerkan capaian, sebab tahu bahwa keagungan sejati terletak pada keberanian mendengar suara nurani, dan berkata benar, meski sunyi. Bagi mereka, hidup bukan soal membuktikan diri pada dunia, tapi tentang menorehkan kebaikan yang tinggal sebagai gema dalam ingatan sejarah.

Sebab kelak, ketika tubuh telah rebah dan nama tinggal di batu nisan, dunia tak akan mengingat seberapa tinggi dan lama jabatan yang pernah kau raih, atau seberapa rakus kau menimbun dunia. Dunia hanya mengenang: apakah kehadiranmu membuat hidup sesama menjadi lebih bermakna? Dan bila jawabnya tak ditemukan, sekuat apa pun engkau mencengkeram dunia, engkau tetap pulang dengan tangan hampa.

Maka, sebelum langkah berhenti, mari diam sejenak—mendengar bisikan nurani yang lama terabaikan. Masih ada waktu untuk mengalihkan hidup dari mengejar gengsi menjadi memberi arti. Jangan sampai malam datang, lentera jiwa padam.

Oleh: Yudi Latif


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI