Bernasindonesia.com - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah berada pada titik persimpangan. Dinamika politik nasional yang cepat berubah, tantangan elektoral yang semakin berat, serta melemahnya ikatan emosional antara partai dengan basis tradisionalnya, membuat masa depan PPP dipertaruhkan. Ditambah lagi adanya pukulan telak di Pemilu Serentak 2024 yang membuat partai bertanda gambar Ka’bah tidak lolos akibat tidak lolos parliamentary threshold (PT) paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional, membuat eksistensi dan citra PPP kian terpuruk.
Oleh karena itu, Muktamar PPP yang pelaksanaannya berlarut-larut dan kabarnya baru akan digelar pada Oktober 2025, bukan sekadar kalender, agenda rutin atau seremonial belaka, melainkan momentum penentuan arah dan masa depan: apakah PPP mampu bangkit sebagai kekuatan politik Islam moderat yang relevan atau tenggelam dalam bayang-bayang sejarah. Untuk itu, elit PPP harus menyadari tanggung jawab sejarahnya dengan cara menyelamatkan PPP dan mengembalikan marwah partai sebagai rumah besar umat Islam Indonesia, bukan sekadar kendaraan politik sesaat.
Dari Kesadaran ke Penguatan
Untuk mampu menjadikan Mukmatar PPP sebagai momentum kebangkitan dan sekaligus penyelamatan partai warisan fusi ulama, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, adanya kesadaran sejarah bahwa partai saat ini dalam kondisi terpuruk dengan berbagai alasan objektif. Salah satunya adalah hasil Pemilu Serentak 2024 dan insoliditas dalam berbagai aspek. Tanpa kesadaran akan kondisi objektif tersebut, maka Muktamar sulit dijadikan starting poin untuk melakukan pembaharuan secara fundamental dan menyeluruh.
Kedua, mengutamakan kepentingan partai, Bukan kepentingan pribadi. Elit partai harus menanggalkan ego kelompok dan pribadi serta faksionalisme berdasarkan kesejarahan, dan apalagi kepentingan politik sesaat. Muktamar bukan arena perebutan kursi semata, melainkan forum musyawarah untuk kepentingan lebih besar: kelangsungan partai dan perjuangan aspirasi umat.
Ketiga, kembali pada jati diri ideologis. PPP lahir dari semangat memperjuangkan nilai Islam dalam bingkai kebangsaan. Elit perlu menghidupkan kembali garis ideologis tersebut, agar PPP punya pembeda jelas dari partai lain. Tanpa adanya pembeda, maka massa akan cenderung memilih partai yang dikelola secara modern, dinamis dan atraktif. Langkah ini sekaligus menarik simpati generasi muda muslim.
Keempat, membangun kepemimpinan kolektif dan visioner. Ketua umum dan formatur terpilih hasil Muktamar harus lahir dari proses yang transparan, demokratis dan mengutamakan kapasitas, bukan hanya kompromi politik. Apalagi sampai cacat politik bawaan. PPP butuh pemimpin yang bisa merangkul semua faksi, menata manajemen partai, serta menggariskan visi jangka panjang.
Kelima, memperkuat basis sosial dan kultural. PPP harus kembali ke akarnya yakni: komunitas Islam pedesaan maupun perkotaan, kalangan Islam puritan, modern, tradisional, abangan, santri, aktivis organisasi keagamaan dan lain-lain. Dan Jangan lupa, PPP merupakan satu-satunya partai Islam yang didirikan oleh tokoh-tokoh Organisasi Keislaman besar yang saat ini masih eksis. Maka, elit partai perlu merumuskan strategi kultural yang membumikan PPP di hati umat.
Kepemimpinan, Transformasi dan Penguatan
Langkah lainnya adalah dengan melakukan pembaharuan kepemimpinan. Sebagai partai sejarah dan sangat berpengalaman, proses regenerasi atau suksesi kepemimpinan dalam tubuh PPP merupakan hal yang alamiah dan sering terjadi dengan berbagai dinamika, konflik dan turbulensi. Meski demikian, proses suksesi dan regenerasi PPP harus mampu mengonsolidasikan partai, bukan malah menghancurkan. Apalagi menyisakan konflik berkepanjangan. Maka, kehadiran suatu kepemimpinan yang mampu mempersatukan berbagai elemen dalam tubuh PPP menjadi suatu keniscayaan.
Saat ini masyarakat hidup di tengah-tengah transformasi sosial yang demikian cepat sebagai dampak dari kemajuan teknologi, khususnya teknologi digital. Transformasi tersebut berdampak pada perubahan perilaku pemilih. Kondisi ini harus menjadi bahan kajian dan timbangan partai dalam merumuskan kebijakan dan programnya manakala PPP ingin kembali mendapat simpati umat.
Tanpa melupakan atau bahkan menyingkirkan elit dan kader senior atau tua, anak muda yang umumnya melek digital perlu diberi peran nyata, bukan sekadar simbol. Pelibatan anak-anak muda dalam komposisi kepengurusan PPP paska muktamar akan membuat PPP lebih segar, responsif, dan tidak kehilangan relevansi.
Kesimpulannya, Muktamar PPP mendatang adalah momentum strategis dan sekaligus ujian sejarah. Bila elit PPP mampu menanggalkan kepentingan sesaat dan bersatu demi marwah partai, PPP masih bisa bangkit. Serta dapat kembali masuk ke parlemen sehingga perannya lebih terlihat strategis dan konkrit bagi kepentingan umat dan bangsa. Tetapi jika yang dikedepankan hanya perebutan kursi, maka sejarah bisa mencatat muktamar itu malah berpotensi makin memperkuat kemunduran. (*)
Oleh: Husin Yazid
(Direktur Eksekutif Indomatrik)