Bernasindonesia.com - Saudaraku, pagi merekah dari celah kaca dan baja, seperti nur pertama yang mencari bentuk di tubuh dunia. Asap dari gerobak makanan naik perlahan—menjadi dupa bagi altar jalanan. Dari segala penjuru, manusia mengalir seperti arus sungai menuju satu samudra: kerja. Di wajah mereka terpantul kesungguhan yang hening—ibadah tanpa nama, doa yang menitis dalam gerak.
Setiap langkah, setiap deru mesin, setiap ketukan jarum jam—semuanya adalah zikir yang disuarakan dengan cara duniawi. Kota berdengung bagai biara besar tanpa menara; loncengnya klakson, kidungnya napas manusia yang berpacu dengan waktu. Namun di balik riuh itu, ada diam yang lembut: pusat tenang tempat makna bersembunyi.
Gedung-gedung menjulang seperti tangan yang hendak menyentuh langit, sementara bayangan di trotoar adalah sujud yang tak sempat disadari. Para pekerja menunduk pada layar, mesin, dan harapan—tanpa tahu bahwa di balik kesibukan itu, mereka sedang menulis puisi keabadian di kertas fana kehidupan.
Kota yang tampak keras sejatinya lembut: ia berdenyut karena kasih yang tak terlihat. Seorang tukang sapu di subuh hari, seorang buruh di bawah lampu neon, seorang perawat di tepi malam—mereka semua rahib modern yang menjaga kesucian dunia dari kejatuhan.
Ketika senja turun, cahaya merambat di dinding-dinding beton seperti firman yang kembali ke asalnya. Langit melepuh jingga; waktu berlutut di hadapan dirinya sendiri. Di sana manusia menyadari: semua kerja akan purna, semua jerih akan lenyap, tapi tak ada nihilisme dalam ketulusan. Sebab ketulusan adalah cahaya yang tak padam; ia menembus dinding waktu, meninggalkan jejak di ruang yang tak mengenal akhir.
Malam pun tiba. Lampu-lampu kota menyala—bukan sekadar menolak gelap, tapi menegaskan bahwa terang bisa lahir dari tangan manusia yang bekerja dengan cinta. Dalam ritme malam, mesin berdengung seperti doa yang tak selesai. Dan di setiap denyut kota, kita mendengar satu pesan lembut:
bahwa hidup ini bukan sekadar untuk mencapai, melainkan menghadirkan; bahwa kerja, meski fana, adalah cara jiwa menyalakan makna; bahwa kota, sesungguhnya, adalah taman zikir dari mereka yang masih percaya pada cahaya berkah.
Oleh: Yudi Latif