Bernasindonesia.com - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta menilai tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang menyinggung santri, kiai, dan pesantren merupakan pelanggaran serius terhadap norma penyiaran dan prinsip tanggung jawab lembaga media. Kasus ini disebut menjadi peringatan penting bagi industri televisi di tengah persaingan dengan media digital.
Ketua KPID DKI Jakarta, Rizky Wahyuni, menegaskan bahwa dalam menghadapi era media baru, lembaga penyiaran harus tetap menjaga etika dan nilai moral.
“Persaingan dengan media digital bukan alasan untuk mengabaikan etika. Justru televisi harus menjadi penjaga nilai di tengah derasnya arus konten bebas di internet,” ujarnya di Jakarta
Rizky menilai lembaga penyiaran tidak seharusnya menyalin tren viral dari media sosial tanpa proses penyaringan etis. Ia menekankan, televisi memiliki tanggung jawab sosial dan hukum yang lebih besar dibandingkan media sosial.
Menurutnya, kualitas tayangan tidak cukup diukur dari tingginya rating dan share, tetapi juga dari tingkat kepercayaan publik.
KPID DKI Jakarta menilai program Xpose Uncensored melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 6 serta Standar Program Siaran (SPS) Pasal 16 ayat (1) dan (2) yang menekankan penghormatan terhadap nilai agama dan lembaga pendidikan.
“Konten tersebut jelas bertentangan dengan nilai keagamaan dan norma kesopanan publik. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi bentuk kelalaian terhadap tanggung jawab etik penyiaran,” tegas Rizky.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan internal di lembaga penyiaran. Banyak rumah produksi yang tidak memiliki dewan editorial atau tim kepatuhan yang memahami regulasi P3SPS. Akibatnya, konten yang tayang kerap lolos tanpa kontrol etis yang memadai.
Data KPID DKI Jakarta menunjukkan, Trans7 bukan kali pertama melakukan pelanggaran. Dalam periode 2022–2024, stasiun tersebut sudah beberapa kali menerima sanksi administratif atas pelanggaran isi siaran, terutama terkait norma kesopanan dan perlindungan anak.
Selain itu, berdasarkan laporan KPI Pusat 2024–2025, sekitar 60 persen aduan masyarakat terkait isi siaran berasal dari program hiburan dan infotainment yang mengandung kekerasan verbal, eksploitasi isu pribadi, atau pelanggaran etika.
Rizky menyebut, kondisi ini menggambarkan masih lemahnya sistem pengawasan internal di banyak stasiun televisi. Padahal, kata dia, setiap lembaga penyiaran wajib memastikan setiap konten telah melalui mekanisme kontrol dan peninjauan etis sebelum tayang.
Dalam Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) 2025 yang dirilis KPI Pusat, rata-rata nilai kualitas siaran nasional tercatat 3,29 dari skala 4, hanya sedikit di atas ambang batas minimum. Program sinetron, variety show, dan infotainment justru menempati kategori dengan nilai terendah.
“Data ini menunjukkan masih ada kesenjangan antara regulasi dan praktik di lapangan. Banyak lembaga penyiaran lebih mengejar rating daripada kualitas siaran. Padahal tujuan utama penyiaran adalah mencerdaskan publik dan memperkuat nilai kebangsaan,” ujarnya.
KPID DKI Jakarta mendorong lembaga penyiaran memperkuat mekanisme quality control, melakukan review pra-tayang, serta mengadakan pelatihan rutin terkait P3SPS dan etika siaran bagi tim produksi.
Kasus ini juga mendapat perhatian DPR RI. Dalam rapat bersama KPI dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi), DPR merekomendasikan audit menyeluruh terhadap izin siaran Trans7 untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi penyiaran.
Rizky mendukung langkah tersebut dan menilai audit bukan sekadar sanksi, melainkan bagian dari pembenahan sistem penyiaran nasional.
“Audit izin siaran penting agar lembaga penyiaran memiliki sistem pengawasan yang efektif, bukan hanya formalitas administratif. Ini momentum bagi industri penyiaran untuk berbenah,” tutup Rizky.