Satu Tahun Prabowo: Progresivitas Program dan Komplikasi Politik

| Kamis, 23 Oktober 2025 | 06.09 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dapat dilihat sebagai fase konsolidasi nasional. Pemerintah berfokus pada pembangunan fondasi kebijakan, perumusan program prioritas, penyusunan tim kabinet, serta langkah-langkah awal untuk mewujudkan janji-janji kampanye.


Arah kebijakan sangat jelas: *progresif-nasionalis.* Menekankan kedaulatan pangan, kemandirian energi, penguatan pertahanan, politik luar negeri bebas aktif, serta peningkatan kesejahteraan rakyat melalui program sosial berskala besar di bidang kesehatan dan pendidikan.

Namun, fase satu tahun pertama ini juga memperlihatkan masih banyak pekerjaan rumah. Terutama dalam hal koordinasi internal, stabilitas politik, dan efektivitas realisasi program agar hasilnya benar-benar dirasakan masyarakat secara menyeluruh.

Problem internal kabinet menonjol melalui beberapa kali _reshuffle_ sepanjang tahun pertama pemerintahan. Pergantian ini muncul dari tiga sumber utama:

_Pertama_, sebagai proses pembuktian kompetensi, di mana sejumlah pejabat tidak mampu memenuhi ekspektasi kinerja presiden. _Kedua,_ merupakan konsekuensi dari gesekan politik internal antar-kelompok dalam koalisi pendukung yang belum sepenuhnya solid. _Ketiga_, dapat pula dimaknai sebagai respon terhadap tekanan publik dan oposisi yang menuntut evaluasi terhadap figur-figur tertentu.

Situasi ini menunjukkan Presiden Prabowo belum sepenuhnya menemukan _*“the dream team”*_. Sebuah formasi kabinet yang mampu bekerja harmonis dan seirama dengan visi percepatan pembangunan yang diusungnya.

Kabinet masih berada dalam fase pencarian bentuk, antara kebutuhan akan loyalitas politik dan tuntutan profesionalisme teknokratis. Tantangan ke depan adalah menjadikan tim pemerintahan bukan sekadar representasi politik, tetapi juga mesin efektif untuk memacu kebijakan dan program nasional. Sesuai arah percepatan yang diinginkan presiden.

Dalam konteks politik nasional, gerakan oposisi tampak mendua. Mereka sering mengarahkan kritik kepada Wakil Presiden Gibran dan sejumlah figur kabinet yang dianggap kinerjanya belum optimal. Menariknya, oposisi enggan berhadapan langsung dengan Presiden Prabowo.

Pola ini menunjukkan munculnya *“oposisi selektif”*. Menyerang pada tingkat teknis dan personal, tetapi menghindari konfrontasi frontal terhadap pusat kekuasaan. Fenomena ini dapat dibaca sebagai reposisi politik. Sebagian kelompok oposisi berusaha menjaga ruang tawar untuk tetap dapat masuk ke lingkar kekuasaan pada momentum berikutnya.

Gerakan oposisi semakin meredup setelah beberapa tokoh memperoleh pengampunan politik. Seperti Tomb Lembong mendapatkan abolisi dan Hasto yang menerima amnesti. Sejak saat itu, daya kritis oposisi melemah; kritik yang tersisa lebih bersifat simbolik ketimbang strategis.

Sejumlah program unggulan pemerintahan juga menuai kritik. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diapresiasi luas karena menyentuh masyarakat bawah. Akan tetapi menghadapi persoalan teknis. Sejumlah kasus keracunan massal di beberapa daerah menimbulkan pertanyaan serius mengenai kesiapan logistik, standar pengawasan kualitas, dan koordinasi lintas kementerian.

Di sisi lain, agenda pemberantasan korupsi dinilai perlu percepatan dan keberanian politik lebih besar. Publik menyoroti terhentinya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU-PA) yang semula diharapkan menjadi terobosan penting dalam pemulihan keuangan negara dan pencegahan korupsi sistemik. Kemandekan itu menimbulkan kesan bahwa komitmen antikorupsi pemerintah masih menghadapi tarik-menarik kepentingan politik dan hukum.

Situasi sosial juga sempat memanas pada Agustus 2025, ketika terjadi *"amuk demonstran"* di beberapa kota besar. Aksi ini dipicu oleh tekanan ekonomi dan ketidakpuasan terhadap kebijakan fiskal yang dinilai terlalu ketat. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan mengakui kebijakan pengendalian belanja negara turut memperlambat pertumbuhan ekonomi (menurun ke 4,7% pada kuartal II 2025) dan menekan daya beli masyarakat.

Ketegangan tersebut menjadi pengingat bahwa stabilitas politik dan sosial sangat bergantung pada kepekaan pemerintah menyeimbangkan kebijakan ekonomi makro dengan kebutuhan dasar rakyat.

Walaupun dililit banyak kritik, capaian penting pemerintahan Presiden Prabowo perlu dicatat. Diplomasi luar negeri Presiden Prabowo memperoleh apresiasi luas. Indonesia berperan aktif dalam mendorong gencatan senjata di Gaza, dan disambut positif dunia internasional. Peran itu meningkatkan posisi Indonesia di forum global.

Pada bidang ketahanan pangan, cadangan beras nasional meningkat hingga 3,5 juta ton pada September 2025. Tertinggi dalam lima tahun terakhir. Berkat ekspansi lahan produktif dan optimalisasi bantuan pupuk bersubsidi. 

Sementara itu, modernisasi pertahanan dan konsolidasi alutsista berhasil memperkuat posisi Indonesia dalam kerja sama keamanan kawasan.

Pada tingkat akar rumput, program MBG tetap mendapat apresiasi luas. Banyak masyarakat di daerah mengakui dampaknya dalam meningkatkan gizi anak sekolah, meskipun pelaksanaannya masih menghadapi kendala distribusi dan pengawasan.

Memasuki tahun kedua pemerintahan, tantangan yang dihadapi bukan lagi persoalan visi. Melainkan kemampuan menjaga konsistensi pelaksanaan dan kepercayaan publik. 


*Perlu peningatan Transparansi dan akuntabilitas*. 

Program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan agenda swasembada pangan harus dijalankan dengan sistem pengawasan terbuka, berbasis data, dan mudah diakses publik. Tanpa transparansi dan laporan kinerja yang jelas, program berisiko kehilangan legitimasi sosial dan hanya menjadi proyek administratif.



*Perlu peningkatan koordinasi kabinet dan pembagian tugas.*

 Untuk mencegah kembali terjadinya “anggota kabinet berguguran” akibat gesekan politik atau kinerja yang lemah. Diperlukan peta kerja lintas kementerian yang lebih sistematis, target yang terukur, dan mekanisme evaluasi yang objektif.


*Komunikasi publik.*

Pemerintah perlu membangun komunikasi yang partisipatif, bukan sekadar _*top-down*_. Publik harus merasa dilibatkan dalam proses kebijakan agar tidak muncul kesan bahwa program hanyalah *"ritual administratif"* atau sekadar angka statistik.

*Menangani hambatan eksternal.* 

Pemerintah harus tetap waspada terhadap tekanan global: inflasi internasional (3,8% rata-rata 2025), potensi krisis pangan akibat El NiƱo, fluktuasi harga energi, dan ketegangan geopolitik  embang Indo-Pasifik. Semua faktor ini dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan pencapaian target  embangunan nasional.

Respons yang adaptif, berbasis data, dan sensitif terhadap realitas sosial menjadi keharusan. Agar kebijakan nasional tetap tangguh dan relevan menghadapi perubahan global yang cepat.


Oleh: Abdul Rohman Sukardi 


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI