Bernasindonesia.com - Percakapan publik kita sering memperdengarkan klaim “NU _*“dikuyo-kuyo”*_ sepanjang Orde Baru (Orba)”. Klaim itu terasa meyakinkan jika dilihat dari permukaan. Seperti pembatasan politik, fusi partai, kontrol negara terhadap Islam.
Ketika kita masuk lebih dalam, membaca kembali sejarah dengan ketenangan, menambahkan data-data yang jarang terangkat: hubungan NU dan negara pada masa itu tampak lebih kaya. Lebih berlapis. Tidak sesederhana relasi antagonistik.
Faktanya beberapa tokoh NU—termasuk KH. Achmad Shiddiq—duduk sangat dekat dengan Presiden Soeharto dalam proses penerimaan Asas Tunggal Pancasila tahun 1984. Menunjukkan relasi NU-Orde Baru itu tidak hitam-putih.
Ada dinamika negosiasi, kedekatan kultural, sekaligus keterbatasan struktural yang bekerja bersamaan. Di titik inilah, membaca sejarah membutuhkan lebih dari sekadar kesimpulan emosional. Perlu ketelitian dan kesediaan memahami konteks.
_Pertama_, adanya jejak non-kooperasi terhadap kolonial. Para kiai NU masa kolonial menolak sekolah Belanda dan mempertahankan pendidikan pesantren.
Sikap ini tidak hanya moral, akan tetapi juga politis. Data kolonial menunjukkan tahun 1930-an, lebih 90% pegawai administrasi pribumi adalah lulusan sekolah formal kolonial (HIS, MULO, AMS). Bukan pesantren. Karena itu, ketika Indonesia merdeka 1945, dan ketika negara membutuhkan birokrat modern dalam jumlah besar, lulusan pesantren tidak berada dalam jalur rekrutmen tersebut.
Ini konsekuensi historis yang sering dilupakan. NU tidak menjadi pemasok utama SDM birokrasi bukan karena ditekan. Melainkan mereka tidak berada dalam sistem pendidikan formal kolonial yang membentuk birokrasi modern. Pilihan non-kooperasi itu benar secara moral. Akan tetapi ia membawa dampak struktural yang panjang.
_Kedua_, transformasi pendidikan NU oleh Orde Baru. Kritik kita terhadap kontrol politik Orde Baru sering membuat kita lupa bahwa rezim ini juga membuka ruang transformasi pendidikan Islam. Data kebijakan mencatat SKB Tiga Menteri 1975 menyetarakan madrasah (MI, MTs, MA) dengan sekolah umum. Tahun 1980-an, Departemen Agama mendirikan madrasah unggulan, seperti Madrasah Aliyah Model (MAM). Menggabungkan kurikulum agama dan umum.
Jumlah madrasah meningkat pesat: 13.000 pada awal 1970-an, menjadi lebih 36.000 madrasah pada awal 1990-an. Transformasi ini melahirkan generasi santri baru. Fasih kitab kuning, juga akrab dengan fisika, matematika, atau bahasa Inggris. Generasi inilah yang kemudian menjadi kelas menengah terdidik NU pada era Reformasi. Sering kali, perubahan-perubahan besar justru dimulai dari kebijakan yang tampak teknis dan sunyi.
_Ketiga_, sistem politik konsensus dengan penyederhanaan partai. Pada masa Orde Baru (1966–1998), kekuatan massa hampir tidak memiliki arti politik. Sistem proporsional tertutup dan dominasi Golkar membuat partisipasi politik ditentukan sejumlah kecil elite. Kebijakan _*floating mass*_ (1971–1985) secara eksplisit melarang organisasi keagamaan melakukan aktivitas politik di akar rumput.
Pada situasi seperti ini, NU dengan puluhan juta anggota tetap tidak bisa mengonversi massa-nya menjadi akses kekuasaan. Ini bukan karena negara membenci NU. Melainkan desain politik Orde Baru menutup jalan bagi semua kelompok berbasis massa. Termasuk NU. Sedikitnya NU di pusat kekuasaan adalah hasil struktur politik, bukan permusuhan tunggal.
Gus Dur sering dibaca sebagai simbol oposisi terhadap Orde Baru. Akan tetapi ketika kita melihat lebih dekat, ada dualitas menarik. Pada satu sisi, Gus Dur berbicara tentang demokrasi, pluralisme, dan kebebasan sipil. Pada sisi lain Gus Dur beberapa kali bertemu Presiden Soeharto secara pribadi. Ia mendapat akses informal ke lingkar elite tertentu.
Kritiknya tidak selalu bermakna permusuhan total, akan tetapi sering menjadi strategi negosiasi. Dalam banyak rezim yang dianggap otoriter, suara oposisi justru menjadi jalan memasuki lingkaran tawar-menawar. Gus Dur memahami logika ini, dan memainkannya dengan cara unik. Sebuah perpaduan antara moralitas pesantren dan kecerdasan membaca struktur kekuasaan. Konteksnya adalah tawar menawar untuk transformasi struktural warga NU dalam berbangsa dan bernegara.
Jika pada masa Orde Baru NU terlihat jauh dari kekuasaan, pada masa Reformasi (1998–sekarang) NU tampak sangat dekat. Fenomena ini sering ditafsirkan sebagai *“NU kini haus kekuasaan”.* Sedikit yang memahami bahwa itu konsekuensi munculnya kelas menengah terdidik NU.
Transformasi pendidikan sejak 1970-an mulai berbuah pada awal 2000-an. Data Kemenag dan BPS menunjukkan kenaikan signifikan lulusan madrasah dan PTAI meningkat dari ±160.000 (1990) menjadi ±700.000 (2010). Lulusan MA dan pesantren modern semakin banyak masuk perguruan tinggi umum.
Dua dekade terahir lahir generasi baru NU: santri yang sarjana, magister, doktor, bahkan profesor. Kelas menengah santri ini kemudian masuk birokrasi, kampus, partai politik, dan lembaga negara. Kehadiran mereka membuat NU terlihat “mendekati kekuasaan”, padahal yang berubah adalah kualitas SDM-nya.
Selain itu juga adanya konsekuensi perubahan sistem politik. Setelah reformasi, Indonesia beralih ke sistem proporsional terbuka. Suara individu pemilih lebih menentukan. Jaringan sosial pesantren menjadi aset elektoral langsung. Kelompok dengan massa besar seperti NU menjadi magnet politik.
Dengan basis massa sekitar 40–50 juta warga, (berdasarkan estimasi berbagai survei), kader NU mudah masuk gelanggang politik. Kemudian masuk ke pemerintahan. Bukan karena NU berubah. Akan tetapi karena struktur sistem politik kini membutuhkan massa.
Berdasarkan data-data itu, perjalanan NU antara Orde Baru dan Reformasi bukanlah kisah tentang organisasi yang tertindas, lalu tiba-tiba bangkit. Ia lebih menyerupai sejarah panjang tentang pilihan moral, adaptasi struktural, transformasi pendidikan, dan perubahan sistem politik yang memberi ruang berbeda dari masa ke masa.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi

