Bernasindonesia.com - Ramadhan selalu datang dengan caranya sendiri. Ia tidak pernah menunggu kesiapan manusia. Ia tidak menunda kedatangannya hanya karena negara belum selesai membangun, atau karena administrasi masih berproses.
Ramadhan datang tepat waktu, sementara manusia sering kali tertinggal.
Menjelang Ramadhan tahun ini, banyak gampong di Aceh masih bergulat dengan dampak bencana.
Banjir, luapan sungai, hujan ekstrem, dan kerusakan rumah meninggalkan jejak yang tidak sederhana.
Bagi sebagian orang, itu hanya angka dan laporan.
Aceh Kembali Diterjang Banjir, Rumah Kembali Berlumpur, Satu Orang Meninggal Terseret Arus
Pengamat Soroti Peran Sentral Mendagri dalam Percepatan Penanganan Bencana Sumatera
Tetapi bagi perempuan dan anak-anak, itu adalah soal paling dasar: di mana mereka akan tidur dengan aman, bermartabat, dan terlindungi.
Pemerintah tentu bekerja.
Rencana pembangunan hunian sementara ( huntara) telah disusun.
Anggaran dibicarakan. Lokasi dipetakan.
Namun kita semua tahu satu hal: waktu sosial tidak selalu sejalan dengan waktu birokrasi.
Huntara tidak selalu bisa berdiri secepat kebutuhan manusia yang kehilangan rumahnya hari ini.
Di tengah kegelisahan itulah, sebuah percakapan sederhana justru melahirkan gagasan yang terasa lebih jujur, lebih membumi, dan lebih Aceh.
Percakapan itu datang dari seorang anak muda asal Aceh Tenggara: Andi Harianto Sinulingga.
Kami tidak sedang berdiskusi di forum resmi.
Tidak ada podium, tidak ada moderator.
Hanya percakapan tentang bencana, tentang Ramadhan yang semakin dekat, dan tentang kegelisahan melihat masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
“Bang,” kata Andi pelan, “Ramadhan ini sebentar lagi. Tapi di banyak kampung terdampak bencana, orang masih hidup dalam ketidakpastian. Terutama perempuan dan anak.”
Kalimat itu sederhana. Tapi berat.
Andi tidak berbicara dengan nada aktivis yang marah.
Ia berbicara seperti seseorang yang terbiasa berpikir panjang, runtut, dan tenang.
Mungkin itulah yang membuat gagasannya terasa matang.
Andi datang dari keluarga terpandang di Aceh Tenggara.
Ibunya berasal dari keluarga terdidik dan berpandangan luas sejak masa Belanda.
Ayahnya muslim taat, idealis, kader PNI nasionalis tulen.
Secara historis, jalur politik yang “wajar” bagi anak seperti dia adalah GMNI.
Namun ketika kuliah, Andi justru memilih HMI.
Bukan karena ikut arus, melainkan karena pilihan ideologis yang disadari betul.
Di dunia politik praktis, jalurnya pun tidak biasa.
Ia menjadi bagian dari Golkar, bahkan masuk ke jajaran pengurus pusat.
Ia berdiri di barisan depan ketika Aburizal Bakrie diturunkan dari kursi Ketua DPP Golkar.
Ia secara terbuka mendukung Anies Baswedan dalam Pilpres yang lalu, tetapi tetap tidak dikeluarkan dari Golkar.
*Bukan sekadar tempat ibadah*
Bagi Andi, posisi politik bukan soal aman atau nyaman, melainkan soal konsistensi sikap.
Cara berpikir seperti itulah yang ia bawa ketika membicarakan Aceh, bencana, dan Ramadhan.
“Kalau kita terus menunggu huntara selesai dibangun,” katanya lagi, “Ramadhan akan lewat duluan.”
Saya mengangguk. Itu kenyataan yang sulit dibantah.
Lalu ia mengajukan pertanyaan yang justru membuka ruang refleksi lebih luas.
“Bang, di Aceh, bangunan apa yang sejak dulu paling siap menampung orang dalam keadaan genting?”
Jawabannya nyaris refleks: meunasah.
Ia tersenyum. Seolah percakapan itu menemukan titik temu.
Meunasah dalam masyarakat Aceh bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah jantung gampong.
Tempat belajar mengaji, bermusyawarah, mengatur urusan adat, menyelesaikan konflik, dan dalam banyak situasi krisis, menjadi ruang perlindungan.
Dalam berbagai peristiwa bencana, kita sering menyaksikan satu kenyataan yang nyaris simbolik: rumah warga rusak atau terendam, tetapi meunasah tetap berdiri.
Tentu ada penjelasan teknis -- lokasi lebih tinggi, pondasi lebih kuat, perawatan kolektif.
Namun dibalik itu, ada makna sosial yang lebih dalam: meunasah selalu diposisikan sebagai bangunan paling penting di gampong.
“Kenapa kita seolah lupa fungsi itu?” tanya Andi.
Ia tidak sedang mengajak mengganti peran negara.
Itu ia tegaskan berulang kali.
*Mengembalikan meunasah ke fungsi aslinya*
Ia justru ingin mengisi ruang waktu yang sering luput dari perhatian: masa tunggu-- masa di mana masyarakat tidak bisa menunggu terlalu lama, sementara kebijakan membutuhkan proses.
“Ini bukan soal negara absen,” katanya. “Ini soal masyarakat bertahan.”
Gagasan Andi sederhana tetapi kuat: menjadikan meunasah sebagai huntara sementara berbasis komunitas, terutama bagi perempuan dan anak, menjelang dan selama Ramadhan.
Bukan sembarang membuka ruang. Bukan tanpa aturan.
Tetapi dengan pengaturan yang jelas, terukur, dan bermartabat: ruang terpisah, perlindungan privasi, sanitasi dasar, serta keterlibatan aparatur gampong dan relawan.
Dalam konteks Aceh, gagasan ini bukan sesuatu yang asing.
Justru ia terasa seperti mengembalikan meunasah ke fungsi aslinya.
Ramadhan dalam masyarakat Aceh bukan hanya ritual ibadah. Ia adalah bulan sosial.
Bulan di mana empati tidak cukup diucapkan, tetapi harus diwujudkan.
Bulan di mana lapar dan haus menjadi pengingat bahwa ada orang lain yang hidup dalam kekurangan, ketidakpastian, dan kerentanan.
“Ramadhan itu bulan memuliakan manusia,” kata Andi. “Kalau di bulan itu perempuan dan anak masih tidur tanpa rasa aman, kita sedang kehilangan makna Ramadhan itu sendiri.”
Kalimat itu menghantam kesadaran saya.
Aceh memiliki falsafah yang sering kita kutip, tetapi jarang kita uji dalam situasi krisis kata Andi :
Adat ngon syariat lagee zat ngon sifeut.
Adat dan syariat seperti zat dan sifat - tidak terpisahkan.
Jika syariat menuntut perlindungan terhadap yang lemah, maka adat seharusnya menyediakan ruangnya.
Dan dalam struktur sosial Aceh, ruang itu bernama meunasah.
Tentu, ada kekhawatiran. Ada yang bertanya: apakah pantas meunasah dijadikan hunian sementara? Apakah tidak mengganggu fungsi ibadah? Pertanyaan itu sah.
Tetapi sejarah Aceh menjawabnya dengan tenang. Meunasah selalu hidup karena fleksibilitas sosialnya, bukan karena kekakuan fungsinya.
Justru dengan pengaturan yang bijak, fungsi ibadah tidak hilang. Ia hidup berdampingan dengan fungsi kemanusiaan.
Dan bukankah itu inti dari ajaran agama itu sendiri?
Gagasan ini juga tidak menafikan pentingnya huntara dan hunian tetap.
Negara tetap wajib hadir. Pembangunan tetap harus berjalan. Tetapi sementara itu berlangsung, masyarakat tidak boleh dibiarkan menggantung.
*Bencana sudah lebih dulu hadir*
Menjelang Ramadhan, pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukan hanya soal kesiapan anggaran atau progres pembangunan. Tetapi pertanyaan yang lebih mendasar:
Jika bukan meunasah, ruang apa lagi yang paling dekat dengan masyarakat?
Jika bukan sekarang, kapan lagi kepedulian itu diterjemahkan menjadi tindakan?
Jika perempuan dan anak tidak kita dahulukan, nilai apa yang sebenarnya sedang kita jaga?
Percakapan dengan Andi Sinulingga berakhir tanpa deklarasi besar.
Tidak ada manifesto.
Tidak ada seruan keras.
Tetapi dari sanalah gagasan ini lahir -- dan layak ditulis.
Karena sering kali, ide paling relevan justru tidak lahir dari ruang rapat atau seminar, melainkan dari percakapan jujur dengan anak muda yang berpikir lurus dan berdiri tegak.
Ramadhan akan datang.
Bencana sudah lebih dulu hadir.
Huntara mungkin belum selesai dibangun.
Tetapi di Aceh, sejak dulu, selalu ada satu pintu yang tidak pernah benar-benar tertutup.
Pintu itu bernama meunasah.
Dan mungkin, di situlah kita diuji: apakah kita memilih menunggu, atau memilih membuka pintu.
Oleh Humam Hamid
Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

