Bernasindonesia.com - Dunia modern sedang krisis spiritualitas. Semakin lama semakin dalam. Kemajuan teknologi, derasnya arus informasi, dan kehidupan serba cepat menjadikan manusia kehilangan pusat ketenangan batin.
Data global menunjukkan persoalan spiritual hari ini bukan sekadar masalah individu. Tetapi sudah menjadi persoalan sosial. Mempengaruhi kesehatan mental, relasi sosial, dan moralitas publik.
*WHO* mencatat lonjakan gangguan mental global. *Gallup–Meta* menegaskan epidemi kesepian menjangkiti sepertiga populasi dunia. *World Happiness Report* menggambarkan merosotnya kebahagiaan generasi muda akibat hilangnya makna hidup. *Pew Research* menyoroti kaburnya standar moral public. *McKinsey* menunjukkan kuatnya budaya konsumtif-materialistik. *UNODC* menampilkan meningkatnya kejahatan digital sebagai cerminan degradasi etika sosial.
Islam merupakan seperangkat nilai komprehensif bersumber wahyu. Menyediakan solusi hidup, termasuk solusi krisis spiritualitas.
Berikut riset digital sepuluh daftar teratas krisis spiritualitas global. Beserta tawaran solusinya dalam Islam.
_Pertama_, *kekosongan makna hidup.*
WHO mencatat lebih 280 juta orang depresi. Ipsos (2023) menyebut 45% generasi Z merasa hidupnya hampa. Tidak memiliki arah. Membuat mudah cemas, mudah putus asa, dan kehilangan daya hidup.
Islam menegaskan orientasi eksistensial manusia ada dua saling melengkapi. _Pertama_, manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah Swt. Mengarahkan seluruh pikiran, hati, dan perbuatannya sebagai bentuk penghambaan tulus (QS: Adz-Dzariyat ayat 56). _Kedua_, manusia diberi mandat sebagai khalifah di bumi. Mengelola, menjaga, dan memakmurkan dunia sesuai batasan moral dan hukum ilahi (QS: Al-Baqarah ayat 30 dan QS Hud ayat 61).
_Kedua_, *krisis moral akibat relativisme nilai*.
*UNODC* (2022) menunjukkan data peningkatan kejahatan digital, penipuan, kekerasan, dan perilaku amoral di banyak negara. Tanpa standar nilai, masyarakat terombang-ambing budaya populer. Islam menawarkan moralitas berbasis wahyu. Nabi SAW bersabda: _“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”_ Pendidikan akhlak Qur’ani—kejujuran, amanah, _iffah_ (kontrol diri), _adab_, dan kasih sayang—menjadi kunci membangun stabilitas moral masyarakat. Standar nilainya jelas: wahyu.
_Ketiga_, *materialisme dan gaya hidup konsumtif*.
_World Economic Forum_ menemukan masyarakat urban menghabiskan 30–40% pendapatan untuk gaya hidup konsumtif. Stres finansial meningkat. Rasa puas hidup menurun. Islam menanamkan _zuhud, qana’ah_, dan manajemen harta yang sehat. Hadis Nabi SAW menyebut: _“Kaya adalah kaya hati.”_ _*Halal life style*_ dapat mengembalikan keseimbangan dalam mengelola kebutuhan hidup.
_Keempat_, *keterasingan spiritual di era digital.*
*_Harvard Study of Adult Development_* (2022) mencatat rasa kesepian berada pada titik tertinggi dalam 85 tahun penelitian. Meskipun terhubung secara digital, manusia kehilangan kedekatan emosional dan kedalaman spiritual. Islam menghidupkan hubungan batin melalui dzikr, tafakkur, dan tadabbur. _“Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”_ (QS. Ar-Ra’d: 28).
_Kelima_, *hilangnya keheningan batin akibat ledakan informasi.*
Penelitian UC San Diego (2021): manusia modern menerima rata-rata 74 GB informasi per hari. Memicu overstimulasi mental. Kelelahan kognitif, dan hilangnya ruang refleksi batin. Tradisi spiritual Islam menyediakan mekanisme *_deceleration_* (perlambatan batin) yang sangat relevan. Konsep dzikir, puasa dan pengendalian diri merupakan bagian _tazkiyatun nafs_ (penyucian jiwa).
Islam mengajarkan _ášuma’ninah_ dalam shalat. Keadaan tenang dan hadirnya hati di setiap gerakan dan bacaan. Dilakukan 17 kali sehari sebagai ritme pemulihan batin yang konsisten. Ditambah dzikir yang menenangkan hati _—“Ala bi dzikrillahi tatma’innul qulub”._ Praktik-praktik ini menciptakan ruang hening yang stabil, membantu manusia terbebas dari kebisingan batin. Mengembalikan kejernihan spiritual di tengah banjir informasi dunia modern.
_Keenam_, *ketergantungan pada validasi eksternal.*
Menurut APA, 65% remaja mengalami kecemasan karena tekanan sosial media. Mereka semakin mencari pengakuan publik, bukan keteguhan diri. Islam memutus rantai keterikatan ini melalui ikhlas dan keteguhan niat. _“Allah melihat hati dan amal kalian.”_ (HR. Muslim). Kesadaran bahwa nilai manusia berasal dari Allah, bukan manusia, membantu membangun kemandirian spiritual.
_Ketujuh_, *fanatisme dan ekstremisme.*
UNDP (2023): ekstremisme tumbuh dari ketidaktahuan agama dan kebutuhan identitas yang tidak terpenuhi. Lebih 40% pelaku direkrut dari kelompok minim pendidikan keagamaan dan mengalami krisis makna hidup.
Radikalisme bukan semata persoalan teologis. Tetapi juga kegagalan menyediakan ruang identitas yang sehat.
Islam menawarkan solusi _*wasathiyah*_. Prinsip moderasi yang menegaskan jalan tengah—tidak berlebih dan tidak melampaui batas—adalah jalan keselamatan.
_Kedelapan,_ penyalahgunaan agama untuk kepentingan duniawi.
*_Pew Research Center_* menunjukkan menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi keagamaan di banyak negara akibat politisasi agama. Islam menegaskan agama harus dijaga kesuciannya. Integritas ulama, adab ilmu, dan kejujuran menjadi fondasi agar agama kembali dipersaksikan sebagai petunjuk. Bukan alat kepentingan.
_Kesembilan_, *ritualisme tanpa makna.*
*Gallup International* menemukan banyak orang beribadah tidak merasakan kedalaman spiritual. Ritual kehilangan daya transformasinya. Islam mengajarkan ibadah disertai adab hati, dan kesadaran tujuan. Agar ruh ibadah kembali hidup. QS. Al-Ankabut: 45 : _“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.”._
_Kesepuluh_, *menurunnya kepedulian sosial.*
_World Economic Forum_ (2022) mencatat meningkatnya individualisme akibat urbanisasi dan ekonomi kompetitif. Islam menegakkan solidaritas sosial. _*“Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti dirinya sendiri.”*_ (HR. Bukhari). Penguatan filantropi (zakat, infaq, sedekah, wakaf) menjadi sarana menghidupkan kembali empati dan ukhuwah.
Krisis spiritual di atas merupakan tantangan para ulama. Ia bukan hanya penyampai dakwah. Tetapi juga diagnostik spiritual yang mampu memahami luka batin masyarakat.
Dengan memetakan prioritas problem—makna hidup, krisis moral, keterasingan, materialisme, dan individualisme—ulama dapat menyusun strategi dakwah yang tepat sasaran, relevan, dan mampu menjawab tantangan zaman.
Ketika ulama mampu membaca realitas spiritual umat, dakwah Islam akan hadir bukan hanya sebagai ceramah. Tetapi sebagai penyembuhan, bimbingan, dan cahaya bagi masyarakat global yang sedang kehausan makna hidup.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi

