Bernasindonesia.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengakui, salah satu bahasan yang disampaikan saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (11/11) pagi, adalah mengenai penyampaian Rancangan Peraturan KPU yang salah satunya masih mengusulkan larangan pencalonan terhadap mantan terpidana korupsi untuk ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Pada saat Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres) kemarin Pemilu, KPU memasukkan itu dan kemudian di Judicial Review di Mahkamah Agung dibatalkan terkait yang narapidana korupsi tetapi yang bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak itu tidak dibatalkan terkait hanya korupsi,” terang Arief dilansir dari laman resmi setkab.
Kemudian kenapa sekarang sudah ada pengalaman itu kok masih mengusulkan, menurut Ketua KPU itu, karena ada fakta baru yang dulu menjadi argumentasi dan sekarang patah sebetulnya argumentasi itu.
Pertama, ungkap Arief, KPU ndak usah mengatur begitu, serahkan saja kepada pemilih, kepada masyarakat. Faktanya, ada calon yang sudah ditangkap, sudah ditahan, tapi terpilih juga.
"Lah padahal orang yang sudah ditahan ketika terpilih dia kan tidak bisa memerintah, yang memerintahkan kemudian orang lain karena digantikan oleh orang lain. Jadi sebetulnya apa yang dipilih oleh pemilih kemudian menjadi sia-sia karena yang memerintah bukan yang dipilih tapi orang lain,” ungkap Arief seraya menunjuk yang terjadi di Tulungagung dan Maluku Utara, pemilihan Gubernur Maluku Utara.
Yang kedua ada argumentasi kalau sudah ditahan dia sudah menjalani kan sudah selesai, sudah tobat, tidak akan terjadi lagi. Tapi faktanya, menurut KPU, Kudus itu kemudian sudah pernah ditahan, sudah bebas, nyalon lagi, terpilih, korupsi lagi.
“Nah atas dasar 2 fakta ini yang kami menyebutnya sebagai novum ini, maka kami mengusulkan ini tetap diatur di Pemilihan Kepala Daerah,” terang Arief.
Argumentasi berikutnya adalah Pileg itu kan mewakili semua kelompok, ya sudahlah siapapun kelompok apapun tetap harus bisa diwakili. Tetapi Pemilihan Kepala Daerah itu kan hanya memilih 1 orang untuk menjadi pemimpin bagi semuanya, maka menurut Arief, KPU ingin 1 orang itu betul-betul mampu menjalankan tugasnya dengan baik sekaligus menjadi contoh yang baik.
“Salah salah satunya adalah punya rekam jejak yang baik, itu mengapa kami kemudian masih mengusulkan di dalam pemilihan kepala daerah,” ujar Arief seraya menambahkan, bahwa perdebatan saat ini sebetulnya sudah tidak sekeras dulu lagi.
Tapi, lanjut Ketua KPU itu, pihaknya masih akan melakukan pembahasan lagi bersama DPR dan pemerintah di Komisi 2.
“Ya sekarang karena undang-undang belum waktunya direvisi, belum ada jadwal yang sudah ada jadwalnya PKPU (Peraturan KPU) maka kita masukkan dulu ke PKPU,” ucap Arief.
Soal kemungkinan pilkada dilakukan kembali melalui DPRD, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, kalau soal pilihan sistem, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pembuat Undang-Undang, Pemerintah dan DPR yang punya kewenangan untuk itu.
“Tapi pedoman pada Undang-Undang yang berlaku, pemilihan sampai hari ini masih dilakukan secara langsung. Nanti soal evaluasi yang sistem itu biar pembuat Undang-Undang yang memutuskan,” ujar Arief. (BSI)
“Pada saat Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres) kemarin Pemilu, KPU memasukkan itu dan kemudian di Judicial Review di Mahkamah Agung dibatalkan terkait yang narapidana korupsi tetapi yang bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak itu tidak dibatalkan terkait hanya korupsi,” terang Arief dilansir dari laman resmi setkab.
Kemudian kenapa sekarang sudah ada pengalaman itu kok masih mengusulkan, menurut Ketua KPU itu, karena ada fakta baru yang dulu menjadi argumentasi dan sekarang patah sebetulnya argumentasi itu.
Pertama, ungkap Arief, KPU ndak usah mengatur begitu, serahkan saja kepada pemilih, kepada masyarakat. Faktanya, ada calon yang sudah ditangkap, sudah ditahan, tapi terpilih juga.
"Lah padahal orang yang sudah ditahan ketika terpilih dia kan tidak bisa memerintah, yang memerintahkan kemudian orang lain karena digantikan oleh orang lain. Jadi sebetulnya apa yang dipilih oleh pemilih kemudian menjadi sia-sia karena yang memerintah bukan yang dipilih tapi orang lain,” ungkap Arief seraya menunjuk yang terjadi di Tulungagung dan Maluku Utara, pemilihan Gubernur Maluku Utara.
Yang kedua ada argumentasi kalau sudah ditahan dia sudah menjalani kan sudah selesai, sudah tobat, tidak akan terjadi lagi. Tapi faktanya, menurut KPU, Kudus itu kemudian sudah pernah ditahan, sudah bebas, nyalon lagi, terpilih, korupsi lagi.
“Nah atas dasar 2 fakta ini yang kami menyebutnya sebagai novum ini, maka kami mengusulkan ini tetap diatur di Pemilihan Kepala Daerah,” terang Arief.
Argumentasi berikutnya adalah Pileg itu kan mewakili semua kelompok, ya sudahlah siapapun kelompok apapun tetap harus bisa diwakili. Tetapi Pemilihan Kepala Daerah itu kan hanya memilih 1 orang untuk menjadi pemimpin bagi semuanya, maka menurut Arief, KPU ingin 1 orang itu betul-betul mampu menjalankan tugasnya dengan baik sekaligus menjadi contoh yang baik.
“Salah salah satunya adalah punya rekam jejak yang baik, itu mengapa kami kemudian masih mengusulkan di dalam pemilihan kepala daerah,” ujar Arief seraya menambahkan, bahwa perdebatan saat ini sebetulnya sudah tidak sekeras dulu lagi.
Tapi, lanjut Ketua KPU itu, pihaknya masih akan melakukan pembahasan lagi bersama DPR dan pemerintah di Komisi 2.
“Ya sekarang karena undang-undang belum waktunya direvisi, belum ada jadwal yang sudah ada jadwalnya PKPU (Peraturan KPU) maka kita masukkan dulu ke PKPU,” ucap Arief.
Soal kemungkinan pilkada dilakukan kembali melalui DPRD, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, kalau soal pilihan sistem, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pembuat Undang-Undang, Pemerintah dan DPR yang punya kewenangan untuk itu.
“Tapi pedoman pada Undang-Undang yang berlaku, pemilihan sampai hari ini masih dilakukan secara langsung. Nanti soal evaluasi yang sistem itu biar pembuat Undang-Undang yang memutuskan,” ujar Arief. (BSI)